Sabtu, 09 Juni 2012

Sebuah Pertemuan

Setelah sekian lama menghilang
Kembali bertemu dirimu dalam tualang
Duhai Kamaratih yang didamba pulang

Membolak-balik lembaran sejarah
Ikhtiar menggapai aneka arah
Agar tak menjadi usang sejumput kisah

Butir-butir harap yang tersemai
Tersembul pohon rindu yang tegak berdiri
Menggelegak menjulang tinggi

Sang bayu membelai dalam desau
Padu padan lantunan notasi lagu
Mengguncang menghempas segala penjuru

Berderap langkah tegap sang Kamajaya
Lantang menantang tatap pandang semesta
Pamrih pengisi kekosongan dalam jiwa


******* 

Dante Che, 02 / 06 / 2012

Kisah Tentang Kehilangan Handphone

Dini hari menjelang subuh, ada yang mengendap datang. Di halaman, gerbang tak terkunci. Suasana hening sepi, pertanda para penghuninya sedang dibuai mimpi dalam lelap tidur. Keadaan yang damai dan tenang seperti itu, rupanya menggoda insan yang lewat untuk mendongakkan kepala melihat-lihat keadaan di dalam, sekedar iseng-iseng mengamati atau bahkan untuk maksud-maksud tertentu yang lebih khusus dan serius.

Itulah yang terjadi pada pagi hari 19 Mei itu. Dewo Dawo, seorang anak kost-kostan yang sedang dalam kesulitan keuangan, mencoba bermusafir ria dari satu ke lain tongkrongan, mencari sedikit pengganjal perut dari kawan-kawan yang mungkin berbaik hati membagi rejeki.

Sampailah ia di depan kostnya Etus Atus, kawan sefakultasnya yang berasal dari kepulauan Sunda Kecil. Gerbang kost yang tak terkunci, suasanan kompleks yang tenang, dan keadaan kost yang sepi, memudahkan Dewo Dawo untuk dengan bebas mendatangi kamar kawannya di lantai dua. Tekadnya sudah bulat. Ia akan berpura-pura datang berkunjung atau meminjam buku, kemudian meminjam uang.

Sesampainya di depan kamar Etus, didapatinya kamar dalam keadaan terbuka.Etus sendiri telah lelap tertidur dengan sebuah buku tebal masih terhampar terbuka di hadapannya. Kamar tampak rapi, walau beberapa buku, baju, dan gelas bekas minum teh tampak belum dibereskan. Mungkin Etus ketiduran, begitulah Dewo mencoba menerka-nerka. Di samping bantal pembaringan, tepat di depan pintu, dilihatnya ada tiga buah handphone teronggok pasrah.

Rasa lapar yang membuncah, mendorongnya untuk segera membangunkan Etus dari nikmatnya lelapan. Akan tetapi, sejurus kemudian, ia tampak ragu. Mendadak pikiran liarnya bergemuruh, menghujam nurani mengobrak-abrik logika. Kesempatan emas yang terbentang telah melahirkan ide brilian mengatasi krisis yang dialaminya.

Diredamnya teriakan rasa bersalah dalam dirinya, disingkirkannya sentimen kesetiakawanan. Segera dengan gesit ia mengambil dua dari tiga handphone tersebut, yang dianggapnya paling gres, dan dengan gesit pula segera meninggalkan kamar dan kost kawannya tersebut. Semuanya berlangsung cepat, dan keadaan tetap hening sepi, tenang dan damai.

Segera Dewo Dawo menjualnya pada orang yang mampu menebusnya, berapapun harganya. Ia membutuhkan uang dalam waktu cepat. Malam nanti ada pertandingan final Liga Champions antara Bayern Muenchen vs Chelsea. Walau bukan penggemar fanatik sepakbola, ia juga butuh dana untuk terlibat dalam euforia masal ini.

Satu dua hari berjalan setelah kejadian tersebut, Dewo Dawo tak melihat adanya tanda-tanda adanya respon di kalangan kawan-kawannya atas kehilangan handphone yang dialami oleh Etus Atus. Kawan-kawannya pun tampak tenang-tenang saja, sambil menduga jangan-jangan kedua handphone tersebut justru dijual oleh Etus Atus sendiri.

Dengan demikian, Dewo Dawo merasa aman. Tak ada yang mengetahui perbuatannya. Itu telah menjadi rahasia dalam penggalan sejarah. Apalagi dilihatnya Etus Atus tampak bersikap baik-baik dan wajar sebagaimana biasa kepadanya.

Dalam kegelapan aksinya, ia lupa pada bumi tempatnya berpijak, pada langit yang diterangi rembulan tempatnya bernaung, menjadi saksi, juga dalam keadaan hening sepi, tenang, dan damai. Akan selalu ada mata yang memandang, mengamati segala gerak-gerik tingkah laku setiap makhluk. Baik yang hanya iseng-iseng ataupun yang punya maksud khusus dan serius.

Mendengar penuturan dari semua saksi mata maupun sukma, Etus Atus tampak tenang dan tak terburu-buru meresponnya. Ia tahu bahwa handphone-nya telah dijual, tapi sim card masih disimpan oleh Dewo Dawo. Rupanya kawannya Dewo Dawo itu tak tega untuk membuang sim card tersebut, dan masih mencari-cari peluang untuk mengembalikan sim card tersebut.

Etus hanya berharap bahwa tak perlu mengganti rugi handphone tersebut, tapi segeralah kembalikan sim card-nya, karena ia sangat membutuhkan. Selebihnya, biar bagaimanapun, mereka tetaplah kawan.


******* 

Dante Che, 31 / 05 / 2012

Minggu, 27 Mei 2012

Pentakosta Pagi Bersama Pelopor Epenisme

Mentari masih mengitari sisi bumi, tanpa lelah memancarkan keperkasaan sinarnya ke segala penjuru jagat, menyisakan bias-biasnya, residu pertarungan angkasa dengan pekat gelapnya mega-mega berlapis-lapis langit. Di balik julangan tinggi gedung-gedung kota metropolis, di pojokan bangunan-bangunan berdarah warisan kota pahlawan, dua anak manusia merenda asa meletupkan vitalitas dalam gairah kawula muda yang membakar menyala-nyala.

Hari minggu pagi ini, umat kristiani merayakan hari raya pentakosta. Hari raya yang panjang kisahnya dengan benturan pergumulan sosiologis di tempat kelahirannya. Mulai dari kemunculan Kristiani, pengikut Kristus, yang berbenturan dengan dua budaya mapan yang telah ada sebelumnya, budaya Yahudi dan budaya Yunani hingga persoalan teologis yang melingkupinya, dan tentu saja ancaman kekuasaan politik dengan segala macam perangkat regulasi beserta alat pemaksanya.

Konon, roh kudus yang turun dalam bentuk api pada hari Pentakosta inilah yang membuat para jemaat awal Kristiani ini tercerahkan kesadaraannya, dapat bercakap-cakap dalam berbagai bahasa, dan merekrut pengikut-pengikut baru dari berbagai belahan ras. Api yang tentu saja tak jauh beda racikannya dengan api yang sedang bercumbu dengan ujung lintingan sigaret subuh ini, membakar tembakau, penghangat raga menanti terbitnya fajar. Api yang sama juga yang dibawa Promotheus atau John Walker.

Mereka tak mengenal Promotheus, sang pembawa api utusan para dewa Olympus. Juga mereka sama sekali tak mengenal John Walker, si kimiawan asal Inggris yang mencampurkan potas dan antimon hingga menghasilkan korek api gesek untuk pertama kali. Dalam pelajaran di sekolah menengah, mereka tahu bahwa api dihasilkan dari oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi, yang menghasilkan panas, cahaya, dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya.

Kontradiksi itu tak mereka persoalkan, mungkin juga telah dilupakan. Mereka punya pegangan baru, namanya epenisme. Sebuah pegangan ala anak-anak anarki, yang bersemai di warung pojok alias wapo yang juga kadang-kadang disebut sebagai rumah tua. Wapo atau rumah tua inilah yang sehari-hari menjadi base-camp anak-anak wapo yang biasa disingkat AW, mirip sebuah tempat makan cepat saji asal negeri dedengkotnya kapitalisme, USA.

Subuh yang hening, sepi. Epenisme ala wapo sedang membawa mereka menapaktilasi jejak langkah sejak kali pertama bertualang ke Jawadwipa ini. Yang seorang berasal dari Sunda Kecil, dan yang satunya lagi berasal dari Mameluk. Dua negeri yang di masa lalu, sebelum kedatangan Olanda dan Jepun,  pernah menjadi perebutan daerah koloni antara Peranggi dan Ispanya, karena kekayaan cendana dan rempah-rempahnya.

Epenisme bisa lahir-tumbuh dan mekar, menjalar ke berbagai ras, terangkai menjadi gugusan kelindan, karena ternyata disatukan oleh pandangannya yang tak ingin dikuasai oleh siapapun, juga tak ingin menguasai siapapun. Hidup bebas seturut jatidiri dan kemauannya sendiri. Mereka sepakat bahwa hidup itu sederhana, sedangkan yang rumit adalah tafsiran-tafsirannya.

Sejauh tangan menggapai, kaki melangkah, mata memandang, nyatalah bahwa kaum epenisme jauh lebih banyak jumlahnya daripada kaum inteletual yang memberikan cap stempel individualistik atau semau gue pada mereka. Kaum intelektual, lebih-lebih 'intelektual-urban', selain kalah kuantitas juga lebih daripada itu, sama sekali tak lebih baik secara kualitas, malah lebih banyak yang gagap menghadapi modernitas dalam praksis. Siangnya berteriak melawan Imperialisme ataupun feodalisme dan malamnya keluyuran menjajal dunia gemerlap alias dugem sembari mencari kupu-kupu malam, bahkan banyak yang melacurkan prinsipnya demi watak oportunisnya.

Begitulah yang terjadi, subuh itu, mereka pulang dari acara in the hoy-nya. Kaum intelektual yang menjadi anggota Gereja, segera bersiap merayakan pentakosta. Dan yang bukan anggota Gereja pun berkumpul, bersiap-siap merayakan peringatan hari ulang tahun idola mereka, Ibnu Khaldun sang filsuf asal Tunisia, dengan menggelar diskusi di lobby kampus. Undangan diskusi mereka yang seharusnya bisa diletakan sebagai pembawa api pencerahan kesadaran, justru malah membuyarkan acara napaktilas kedua anarkis epenisme itu.

Hiruk pikuk muncul dari arah pasar tradisional, pertanda telah bangkitnya penghuni kolong langit dari buaian malam. Perlahan sang Apollo menampakan rupanya dari balik kabut pagi, kaum epenisme pun pamit, wapo pun kembali sepi, merindui senja segera datang membawa malam, karena malam adalah sahabat kaum epenisme.

Terima kasih untuk kaum epenisme, karena pernah diizinkan untuk numpang nongkrong. Selamat hari raya Pentakosta buat yang merayakan! 

*******

Dante Che, 27 / 05 /2012

Senin, 16 April 2012

Selamat Ulang Tahun!

Fajar masih bergulat dengan pekat rimbunnya Pipodo, berusaha menaklukkan dingin yang seolah-olah abadi menyelimuti kota kecil Bajawa. Inerie di selatan dan Inelika di utara setia mengapiti, memayungi lembah kota di daerah pegunungan yang terletak kurang lebih 1.100 m di atas permukaan laut ini.


Puncak-puncak Wolongadha menjadi pemantul sedikit kehangatan dari sang surya, menghalau para kawula yang masih asyik menggolekkan diri dalam kain panas (selimut) di tempat tidur atau rutinitas pagi hari; duduk-duduk melingkari tungku api sambil menikmati kopi Bajawa.

Itu selasa pagi pukul 09.15 wita- 17 april tahun 1990, tentu ada yang harus bangun pagi-pagi untuk pergi dheso sapi atau loka ngana, berangkat ke sekolah atau pergi kerja, ataupun sekedar ngeu nata atau weghi ulu, dan macam-macam lainnya. Di sana-sini, beberapa keluarga tampak masih asyik terlelap dalam epik romantisisme berkumpul dengan keluarga besar masing-masing, walau pesta paskah telah lewat seminggu.

Sementara itu, di RSUD Bajawa, tangis bayi memecahkan kesyahduan pagi, membahana memenuhi lembah. Tak jelas motifnya menangis. Yang jelas, tak ada yang mencubit atau memarahinya. Mungkin karena dingin atau karena kenyamanannya selama 9 bulan dalam kandungan harus berakhir. Atau jangan-jangan ada janjian di antara para bayi untuk menciptakan tren menangis saat dilahirkan, dan hanya sesama bayi saja yang mengerti. Entahlah!

Konon, setelah melalui pendiskusian, mungkin juga perdebatan terhadap beberapa opsi yang diajukan, si bayi campuran Turekisa-Mangulewa yang baru lahir itu diberi nama Juanito Cletino Gurado Delano. Jelas tanpa melalui voting, karena sudah ada mekanismenya tersendiri bernama Soro Fena, alias bersin saat pertama kali diberikan nama.

Berdasarkan kepercayaan turun temurun yang diwariskan nenek moyang, kalau bayi bersin atau buang air tepat ketika diberikan sesuatu nama, itu artinya si bayi setuju dengan nama tersebut.

Tentu saja mekanisme ini lain dengan bayi yang sehari sebelumnya juga baru memekikkan tangis pertamanya di dunia. 4 selat ke arah barat kota Bajawa, di tengah-tengah hiruk-pikuk kota Jakarta tepatnya. Juga tak jelas apa motifnya menangis, karena toh tak ada bukit atau pepohonan rimbun yang menghalangi sang surya, tak ada dingin abadi di kota metropolis tersebut. Gedung-gedung pencakar langit yang dibangun di atas penggusuran, darah, dan air mata kaum marjinal pun tampaknya tak menciptakan kepengapan bagi yang mendiaminya.

Yang jelas, juga tak ada voting di sini. Entah bagaimana mekanismenya. Besar kemungkinan, nama tersebut telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Maka jadilah si bayi diberi nama Nia Ramadhani.

Makin bergeser ke arah barat kota Bajawa, melewati 2 samudera, di kota Harlow, Essex-Inggris, seorang gadis remaja bernama Victoria Adams sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke-16. Rambut hitam panjang berpadu kulit cokelat, cemerlang dalam balutan tawa ria Barbeque Party. Tentu ada banyak gadis Bajawa yang lebih cantik daripadanya.


Seandainya nenek moyangnya lebih lama menjajah Hindia (Indonesia), mungkin rutinitas pagi di Bajawa adalah memadukan kopi dengan barbeque, atau Stadion Lebijaga dipermak menjadi stadion dengan kapasitas besar dan PSN Ngada menjadi salah satu raksasa sepakbola, dan Bajawa dipenuhi dengan mansion-mansion mewah para pesepakbola atau selebriti di kampung Bena. Tenunan-tenunan ikat disulap jadi kiblat mode. Mungkin.

Terlalu rumit kalau mengandai-andaikan sejarah. Yang pasti, tadi barusan, kurang lebih pukul 17.30-an wib, Bu Laksmi, sang pemilik kios di kompleks melahirkan anaknya dengan selamat. Konon, nama panggilannya adalah Emka. Juga dengan tangisan, beriring berpadu dengan suara azhan dari surau yang mengepung dari 3 jurusan, pemberian nama untuk Emka memakai mekanisme voting.

Selamat ulang tahun untuk Nia Ramadhani & Victoria Adams!
Selamat datang di dunia tangis & tawa untuk Emka!

(NB : Notes iseng-iseng)

*******

Dante Che, 16 / 04 / 2012

Rabu, 04 April 2012

BBM

Akhir-akhir ini, sebagian besar anak negeri larut ribut dalam pro kontra wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Melalui BlackBerry Messenger (BBM), elit-elit menebar kicau bangkitkan provokasi. Bambang Boediono Mundur (BBM) menjadi salah satu seruan yang marak, bersanding dengan asa para sepakbola mania; Barca Bantai Milan (BBM) agar terwujud final idaman Barca Battle Madrid (BBM).

Rakyat Benar-Benar Marah (BBM), berhadapan dengan pemerintah yang tampaknya Benar-Benar Manja (BBM), juga kelakuan parpol-parpol di gedung dewan  perwakilan rakyat yang Bikin Bingung Masyarakat (BBM). Susunan kabinet yang lebih tepatnya disebut Birokrasi Bongkar Muat (BBM), menjadi semakin dramatis dengan tarik ulur subsidi yang konon akan dipergunakan sebagai Bantuan Buat Masyarakat (BBM).

Kompromi, deal-dealan, ataupun dagelan yang elit-elit tampilkan, makin tak mampu menyembunyikan wajah mereka yang sebenarnya; Bandit-Bandit Maling (BBM). Perlawanan di mana-mana, Bara Berkobar Menyala (BBM), protes datang dari berbagai kalangan. Rakyat turun ke jalan Berlawan Bersama Mahasiswa (BBM), juga pemogokan , Buruh Bangkit Menggugat (BBM).

Kini keputusan kenaikan harga untuk sementara ditunda, tetapi represifitas Begundal-Begundal Militer (BBM) menyisakan soal. Maka, kepada seluruh rakyat negeri, marilah Berbareng Bergerak Melawan (BBM)!


*******

Dante Che, 04 / 04 / 2012

Jumat, 30 Maret 2012

Rakyat Melawan Tirani

Penguasa berkoar tentang statistika dan janji-janji
Raut meyakinkan dalam balutan senyum yang mengilusi
Menciptakan manajemen konflik dalam berbagai opini

Aparat militer tak ubahnya zombi
Alat rezim untuk menjaga supremasi
Agar kekuatan modal tetap menghegemoni

Rakyat dihadapkan dengan TNI-Polri
Perlengkapan perang versus perlengkapan aksi
Selongsongan peluru menghajar pekikan orasi


Sebagian elit lainnya mencoba manfaatkan situasi
Kembali berusaha membangun kampanye citra diri
Seolah membela gerakan yang sedang teradikalisasi

Rakyat tak boleh lagi sampai dibodohi
Harus berani percaya dengan kekuatan sendiri
Menggugat kemanusiaan yang terus dibantai

Gugus kelindan jaringan yang terangkai
Derapkan langkah satukan nurani
Bergerak maju menggempur tirani!

*******


Dante Che, 30 / 03 / 2012

Kamis, 29 Maret 2012

Dialog Dalam Barisan Demonstrasi

"Dalam bertarung, para pejuang rela berkorban, mati-matian, militan; para pemberani memenangkannya; dan para pecundang menguasainya. Coba kamu ingat, apa yang partai ini lakukan saat ibu pimpinan mereka menjadi penguasa negeri ini. Bukankah mereka tenang-tenang saja saat ibu pimpinan mereka menjual aset-aset nasional ke pihak asing? Bukankah saat berkuasa dulu, ibu pimpinan mereka berkali-kali menaikkan harga BBM, mensahkan UU no 13 tahun 2003 yang sangat merugikan kaum buruh, membebaskan koruptor-koruptor besar, tak berani mengadili para jenderal pelanggar HAM, tak berani mengusut kejahatan-kejahatan Orba, dsbnya. Mereka ini jelas bukan petarung, pejuang, atau pemberani. Mereka hanyalah lingkaran pecundang yang ingin memanfaatkan situasi dan wacana kenaikan BBM kali ini", Keithy membuka percakapan menghilangkan rasa bosan yang sejak tadi melanda.

"Kamu jelas bukan sosok pemaaf. Yang kedua, kamu harus paham bahwa materi itu selalu berubah, berdialektika. Yang dahulu kawan sekarang bisa jadi lawan, begitupula sebaliknya, yang dahulu lawan sekarang bisa jadi kawan. Di kelompok para elit sana juga ada perpecahan, juga ada faksi-faksi", Sishee menimpali sambil tetap asyik mengamati metode aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh Partai Dekrit Ibu Pimpinan.

Saat itu, belum genap tiga perempatnya senja, tapi Keithy sudah gerah berada di tengah hiruk-pikuk aksi demonstrasi yang lebih menyerupai rangkaian acara kampanye ini. Sementara aksinya konon bakal berlangsung hingga malam menjelang. "Kaum gerakan tak boleh kekiri-kirian, tak boleh berlaku elitis. Harus menghampiri kaum ekonomis, moralis, bahkan yang reaksioner sekalipun. Karena tak ada gerakan yang besar yang tak politis", lanjut Sishee di sela-sela dentuman musik dangdut yang mengalun dari mobil komando. Tampak pula para kader-kader dan simpatisan yang berkaraoke, asyik berjoget ria sambil memaki-maki ketua DPRD (dewan pimpinan rok-mini daerah), Gubernur, dan Presiden yang kebetulan berlatarbelakang dari Partai Duit. Bahkan Walikota perempuan yang mereka usung dan menangkan dalam pilkada-pun dimaki-maki karena tak mau menemui mereka. Beberapa Polwan cantik tampak berusaha untuk tidak salah tingkah, saat jadi sasaran godaan massa aksi, yang didominasi kaum pria.

"Tapi begini Sishee, orang-orang selalu menjadi korban tipu muslihat atau sering menipu diri dalam kehidupan politiknya, dan mereka akan terus menerus bersikap demikian bila mereka tidak berhasil memahami kepentingan-kepentingan klas di balik tabir moral, agama, sosial-politik, deklarasi-deklarasi, dan janji-janji".  Sishee tersenyum, mengangkat bahu, sejurus kemudian, tampak teringat sesuatu. "Ah Keithy, itu kan kata-katanya Vladimir Lenin tentang prinsip metodologi Marxisme yang paling mendasar, tentang pendekatan klas. Yang mengasumsikan bahwa masyarakat terbagi ke dalam klas-klas".

Maka, mulailah dua sahabat yang bolos kuliah untuk ikut demonstrasi itu tenggelam dalam debat tentang berbagai hal yang mereka baca ataupun pelajari sendiri. "Begini Sishee, benar bahwa di antara kaum elit-pun ada perpecahan, persaingan, ataupun faksi-faksi. Tapi berbeda dengan faksi-faksi dalam kaum gerakan yang punya perspektif anti imperialisme asing dan menolak sisa-sisa feodalisme, elit-elit kita kan tak lebih dari borjuasi komprador. Bermental pengecut sejak kemunculannya, progresif saat tertekan, dan konservatif saat memimpin. Sebelum berkuasa, ibu Megawereng muncul sebagai sosok yang dizolimi pak Hartomcat. Setelah turun dari kekuasaan, malah menuduh Jend (Purn) SiBuaYa menusuknya dari belakang. Itu politik Sishee, tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Mereka sama-sama berkepentingan terhadap berlangsungnya hegemoni kapitalisme dan mendapatkan ceceran kekuasaan. Pro-kontra kenaikan BBM tak lebih dari upaya kampanye merebut simpati rakyat, atau yang lebih parah lagi, seperti biasa, adalah media pengalihan isu. Mulai dari persoalan peradilan para tersangka korupsi, pilkada di daerah pusat kekuasaan, dll. Sebagaimana yang Don Corleone katakan, di balik setiap keuntungan yang besar, terdapat kejahatan yang besar".

Saat Keithy sedang panjang lebar memberikan penjelasannya pada Sishee, tampak beberapa kader Partai Dekrit Ibu Pimpinan sedang membagi-bagikan nasi bungkus, tahu isi, dan minuman kepada massa aksi yang sejak beberapa menit lalu mulai berkurang drastis, ditinggal pulang.  Belakangan diketahui kalau ternyata banyak yang lapar, sebagian lagi beralasan ngantuk, dan beberapa punya agenda lain. Dari atas mobil komando, sang orator mewanti-wanti massa aksi agar jangan ikut-ikutan pulang, karena makanan untuk alas perut sudah datang.

"Nah Sishee coba kamu lihat. Seumur-umur ikut aksi, baru kali ini ada aksi yang bagi-bagi nasi bungkus tanpa kita urunan sebelumnya". Sishee tampak sedikit kesal, " Keithy, kita ke sini kan bukan untuk mengamati pembagian makanannya. Kita kan bersolidaritas. Ini partai oligarkis, yah kita-pun sama-sama tahu. Tapi coba kamu ingat-ingat, setelah PKI (Partai Komunis Indonesia), belum ada lagi partai besar yang punya basis massa banyak yang memakai politik mobilisasi massa. Partai-partai besar kan selalu berkompromi, penyelesaian dengan jalan deal-dealan. Ada partai besar memobilisasi basis massa dengan tuntutan menolak kenaikan BBM seperti ini tentulah sebuah kemajuan, dan patut diapresiasi. Kita harus bisa mengambil manfaat dari radikalisasi isu kenaikan BBM ini".

"Hey Sishee, sebelum ini kan ada Partai Keongracun Selamat yang juga memakai politik mobilisasi massa, menyerukan jihad melawan Yahudi. Tapi mobilisasi massanya Partai Keongracun Selamat dengan Partai Dekrit Ibu Pimpinan ini berbeda dengan politik mobilisasi massanya PKI. PKI adalah partai modern pertama di Indonesia yang sejak kemunculannya tetap konsisten melawan kolonialisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme. Memimpin perjuangan berbagai organisasi kaum progresif revolusioner yang terorganisir dan terpimpin, yang terdiri dari klas buruh, kaum tani, mahasiswa, pemuda, seniman, dan kaum perempuan. PKI juga tercatat sebagai organisasi politik pertama yang melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kolonial. Caat itu: massa yang terorganisir dan terpimpin, bukan massa mobilisir seperti ini", sahut Keithy berapi-api.

"Iya tapi semua kan butuh proses, Keithy. Harus selalu sabar dan cerdik memasok kesadaran sejati dalam setiap panggung yang disediakan". Keithy tak mengindahkan celetukan Sishee, terus melanjutkan, "Januari lalu ibu Megawereng menganjurkan pemerintah menaikan harga BBM. Tapi beberapa minggu lalu, malah mengecam wacana kenaikan harga BBM yang digulirkan pemerintah, dan sekarang justru meneken tanda tangan yang berisi seruan melarang kader-kader Partai Dekrit Ibu Pimpinan terlibat dalam aksi demontrasi menolak kenaikan BBM. Di bawah radikal, kok di atas malah main MoU-an".

"Iya Keithy, semoga kaum gerakan bisa menjadi alternatif menuju perubahan yang lebih baik di negeri ini, tanpa perlu merusak lampu merah, mobil dinas, tanki, fasilitas umum, atau ketentraman warga." Senja telah turun menghampiri, keduanya makin jauh dari barisan massa aksi, hanya lagu iwak peyek yang masih samar-samar terdengar. SPBU yang baru dilewati-pun tampak sepi, hanya satu-dua kendaraan yang singgah untuk mengisi bahan bakar. Tak ada antrian panjang seperti yang heboh diberitakan di media massa. Kota Showrockboyo tetap seperti sediakala.

[Note: Kesamaan atau kemiripan nama, peristiwa, lokasi, maupun momen hanyalah kebetulan semata,- tanpa ada kesengajaan.:)]


******* 

Dante Che, 28/ 03/ 2012

Minggu, 25 Maret 2012

Sepak-Bola Modern

Permainan purba turun temurun
Berbalut melodi dramatik yang mengalun

Sejak masa Chao-Chao di pertempuran bukit merah
Hingga masa modern yang berdarah-darah

Berubah berkembang seiring lintasan benua
Berebut klaim pemilik sah di bawah semesta

Cikal bakal, penemu, sekaligus maestro
Bak gladiator jaman Romawi kuno

Para prajurit beradu tangkas
Kerja sama sebelas melawan sebelas

Gemuruh gegap gempita suporter
Mengiringi tiupan peluit sang arbiter

Dewa dewi pantas blingsatan
Kawula telah mulai beralih pemujaan

Lapangan hijau melahirkan banyak penyelamat
Dalam aksi-aksi menawan nan memikat

Pele, Maradona, Zidane, hingga Messi
Kepada merekalah dialamatkan novena dan devosi

Akhir pekan peringatan penciptaan alam
Kapital berputar kencang tak kenal siang-malam

Sebutir bola mungil yang liar menggelinding
Menghadirkan berbagai kenikmatan dalam gemerincing

*******

Dante Che, 25 / 03 / 2012

Kamis, 22 Maret 2012

Bukan Sebuah Ratapan Prihatin

Kami takkan berunding dengan maling di rumah kami sendiri, begitulah guratan seruan Tan Malaka pada kolonialisme dan fasisme yang menjajah Indonesia kala itu. Kini memang tak ada lagi para kompeni berambut api yang seenaknya memerintah kerja rodi atau para prajurit cebol yang semena-mena menyiksa pekerja romusha. Van den Bosch ataupun Hirohito telah lama mati, tapi warisan ide-ide mereka tentang eksploitasi negeri jajahan kini telah hadir dalam kemasan baru yang berbeda. Konon sopan, beretika-moral, dan sesuai dengan beragam tetek bengek regulasi.

Para pemimpin negeri masa kini lebih asyik dalam selubung demokrasi elitisme yang mereka ciptakan sendiri. Lima tahun sekali mendekati rakyat dengan macam-macam janji, selebihnya tiap hari memenuhi layar media elektronik ataupun menjadi berita di media cetak, sok mengutuki sistem tanpa memberikan jalan keluar yang konkrit dan sejati bagi rakyat.

Tan tentu saja bukan orang yang suka berputus asa, lebay, atau suka curhat pada publik. Tetapi, kalau menyaksikan situasi saat ini, paling tidak akan sungguh terperangah. Sebelum wafat, dia masih menyaksikan dan mendengar ada pemimpin negeri bekas jajahan yang berani menyerukan dan menegakkan kedaulatan politik, ekonomi yang berdikari, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Berani menolak dominasi modal asing, berani bilang pada negeri imperialisme; go to hell with your aid, atau kata-kata; Inggris kita linggis-Amerika kita seterika, dll.

Elit-elit sekarang seolah-olah lupa pada sejarah bangsanya sendiri. Lebih memilih berkolaborasi, berkompromi, atau menjadi komprador-calo hegemoni modal asing, ketimbang mendukung atau mendorong progresifitas rakyat yang sedang marak di mana-mana. Kalaupun saat ini ada elit yang terlibat dalam aksi-aksi massa rakyat, toh tak lebih, hanya dipakai sebagai posisi tawar berebut ceceran kekuasaan.

Sehingga, rakyat haruslah belajar berorganisasi dan berpolitik, mendirikan lebih banyak organisasi-organisasi kerakyatan, rakyat haruslah punya kepercayaan diri untuk tidak lagi percaya pada elit-elit komprador, agar perjuangan rakyat yang tulus dan militan tidak sia-sia dan hanya sekedar tumpangan kaum oportunis.

Rakyat haruslah mempelajari kembali sejarah bangsanya secara lurus, bahwa negara ini terbentuk karena perjuangan rakyat, bukan hadiah dari siapapun. Tidak boleh lagi lupa, atau seolah-olah lupa. Seperti yang Milan Kundera tulis, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.


*******

Dante Che, 22 / 03 / 2012

Rabu, 21 Maret 2012

Jogging Pagi

Lembaran hari baru dibuka
Sejuknya udara pagi menerpa
Sisa-sisa kantuk hilang sirna
Segar memupuk asa
Memacu gerak menatap cakrawala
Walau nafas tersengal satu-dua
Desahan nafas menyesaki rongga dada
Kadang menafikan fakta sebagai insomnia
Arungi lingkaran jalanan kota
Deretan pepohonan sepanjang jalan raya
Padu padanan penyehat raga
Menikmati pagi dan sejuk-segarnya udara
Yang sungguh sangat mahal harga
Bersemangatlah senantiasa!

*******

Dante Che, 22 / 03 / 2012

Cerpen Tanpa Dialog

Pengunjung mulai tampak penuh ketika Juan dan Evita memasuki kafe ini. Kafe bernama X-tra Large. Nama yang mirip dengan brand sebuah kartu seluler yang sedang tren, kartu seluler tersebut yang juga kebetulan menjadi media berkomunikasi Juan dan Evita hingga akhirnya janjian untuk bertemu di kafe yang terletak di pinggiran kota yang cukup panas ini. Kota yang beberapa waktu lalu baru saja menghentakkan pentas nasional dengan menampilkan kecerdasan dan kreatifitas anak-anak SMK dalam membuat mobil.Yang entah kenapa pula, ditolak sebagai mobil nasional dan tak bisa diproduksi massal.


Juan dan Evita yang ini tentu saja bukan Juan dan Evita Peron, pasangan beken dari Argentina, negara favorit mereka setelah Indonesia, karena trinitasnya; Evita, Maradona, dan Che Guevara. Juan dan Evita Peron yang legendaris itu, kini tinggalah menjadi legenda yang dikenang sebagai pemimpin yang membela kepentingan rakyat marginal, yang berkuasa pada dekade 1940-an sampai 1970-an. Juan dan Evita Peron tentu saja adalah idola mereka, tepatnya sejak mereka duduk di kelas 1 SD, medio tahun 1996. Tahun di mana film Evita yang dibintangi Madonna, Antonio Banderas, dan Jonathan Pryce laku keras di pasaran. Walau kini Argentina telah memiliki pasangan baru dan menjadi pemimpin yang membela kepentingan rakyat dalam diri Nestor dan Christina Kirchner, tetap saja pesona Juan dan Evita Peron tak lekang dari keduanya.

Juan dan Evita bersama melewati masa kanak-kanak mereka di daerah Dukuh Kupang, Surabaya Selatan. Kala itu, Dukuh Kupang belumlah seramai dan sepadat sekarang, yang kini diapiti oleh beragam bangunan dan corak budaya. Sebelah selatan ada kawasan prostitusi Dolly di jalan Jarak yang menjadi kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara dan menjadi salah satu sumber terbesar pendapatan daerah, ada perkuburan Kristen-Belanda di Kembang Kuning yang kini ramai dipakai sebagai tempat mangkal kaum waria kala malam menjelang, di utara ada deretan sekolah-sekolah mulai SD sampai SMA, di bagian timur ada wilayah Simo yang sore hari selalu ramai dengan pasar rakyat yang menjual berbagai macam barang dengan harga terjangkau, di bagian barat ada Ciputra World yang superlengkap sebagai sarana rekreasi, ada Vida Triple Seven sebagai tempat menonton film dan arena permainan billyard, ada juga julangan hotel yang salah satunya adalah Shangri-La; yang biasa dipakai elit-elit untuk mengkonsolidasikan kekuatan sekaligus memacetkan jalanan Mayjend Sungkono, ada juga berbagai apartemen, tempat karaoke, dan restoran cepat saji Mc Donald yang berhadapan dengan citarasa Ikan Bakar Cianjur.

Karena di Dukuh Kupang ketika itu hanya ada Supermarket, Islamic Centre, Gereja, Kampus, Kantor Polres, dan deretan berbagai macam warung, maka akhir pekan masa kecil mereka biasanya diisi dengan nonton film di Tunjungan Plaza atau jalan-jalan ke Taman Kenjeran. Ada banyak tempat, baik sebagai tempat rekreasi maupun tempat-tempat bersejarah yang bisa dikunjungi untuk menambah pengetahuan ataupun memaknai perjuangan para pahlawan. Ada Tugu Pahlawan, Bambu Runcing, Hotel Majapahit (dulu Hotel Oranje/Yamato), Jembatan Merah, Balai Pemuda, Gedung Cak Durasim, dan masih banyak lagi tempat-tempat lainnya. Tapi mereka seringkali memilih mengunjungi Taman Kenjeran untuk melihat Patung Liberty tiruan di pintu masuk taman tersebut, atau Patung Buddha dan Dewi Kwam Im di kuil yang terletak di tepi pantai. Tentu saja dengan ditemani kedua orangtua mereka. Taman yang pantainya kini tak lagi indah, karena sering tercemar, dan kini lebih sering dipakai sebagai tempat pacaran bebas ala anak-anak ABG kala malam gulita.

Ketika kelas 4 akan memasuki caturwulan (cawu) ke-2, Evita pindah ke Jakarta, mengikuti orang tuanya. Saat itu, usia 9 tahun dan hubungan di antara orang tua keduanya yang hanya diikat oleh kepentingan usaha dan pekerjaan, membuat keduanya putus komunikasi sama sekali. Hingga akhirnya usia mereka memasuki 21 tahun. Mark Zuckerberg, orang Yahudi-Amerika yang tak pernah mereka kenal itu, menolong mereka untuk kembali merajut tali komunikasi melalui media buatannya yang bernama facebook. Selanjutnya telephone, sms, dan BBM-an menjadi media perantara untuk menghilangkan jarak jauh yang membentang antara Jakarta dengan Surabaya, media yang meminimalisir rindu yang membuncah di antara mereka.

12 tahun tak pernah bersua, ada banyak perubahan yang mereka rasakan. Demikianlah, alam beserta isinya akan selalu berubah dan berkembang maju seturut lajunya sang khronos, waktu. Dulu, makanan favorit mereka adalah AW paket 1; sekepal nasi, 2 potong ayam, dan root-beer dingin. Kini, Juan yang menderita asma dan tak tahan dengan udara atau cuaca dingin, punya teori sendiri yang diyakininya, yakni cukup meminum air putih tanpa es, sedangkan Evita yang menderita kolesterol pada usia muda ini, dilarang untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung minyak, termasuk buah duren yang menjadi kesukaannya.

Suasana kafe yang tenang meski lagi ramai pengunjung, iringan lantunan spesial lagu-lagu Oldies milik Nike Ardilla yang kebetulan adalah penyanyi Indonesia yang sangat diidolakan Evita, membuat percakapan di awal sua menjadi lebih santai. Karakter tanpa basa basi say hello ba-bi-bu ciri khas mereka ternyata tak pernah hilang. Dalam sebentar saja, mereka sudah pindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mulai dari kisah Gesang sang seniman kerakyatan yang menguraikan kisah aliran sungai yang mengaliri bagian bawah kafe ini lewat lagu kroncongnya, wacana kenaikan BBM dan isu pelarangan rok mini, pemilukada wilayah pusat yang melibatkan walikota daerah ini, kilasan film Pak Belalang yang jadi trending topic obrolan masa kecil mereka di sekolah dasar, diskusi filsafat tentang pertarungan materi versus ide, tentang menteri yang mengamuk di pintu tol, hingga perebutan Gunung Kelud antara Blitar dengan Kediri, dan ngalor-ngidul berbagai macam obrolan lainnya. Tak kalah keceriannya dengan seorang perempuan berkebaya dan sekelompok seniman lokal yang mengalunkan tembang demi tembang di sudut kafe ini.

Menjelang senja mereka pamitan pulang, berpisah. Juan harus segera kembali ke Surabaya, karena besok paginya dia ada jadwal kuliah. Tugasnya sebagai mahasiswa fakultas hukum yang melakukan penelitian di kota ini telah selesai sejak seminggu yang lalu. Sebaliknya, Evita harus kembali ke Jogja, menjemput anaknya yang baru berumur 2 tahun untuk kembali ke Jakarta.


Sekian.

*******

Dante Che, 21 / 03 / 2012

Selasa, 13 Maret 2012

Mak Ojan di Jalan Diponegoro

Deru kendaraan membelah jalanan
Lampu berpendaran
Nampak beringsut-ingsut sesosok bayangan
Yang hilang muncul di balik taman
Cahaya lampu yang temaran
Satu dua genangan
Sisa-sisa garukan penggusuran
Sedikit menghambat pencarian
Hingga akhirnya nampak orang sekumpulan
Yang sejurus pada lari berhamburan
Menyisakan seorang nenek sendirian
Dan tampak keletihan
Baru diketahui belakangan
Konon sang nenek dari Lamongan
Biasa disapa Mak Ojan
Tak punya handai taulan
Sehari-hari mengais di tempat sampah pembuangan
Buat penyambung nafas kehidupan
Tempat sampah menjadi media pengais keadilan
Yang dibuang dari balik gedung-gedung kekuasaan
Diponegoro, nama seorang pahlawan
Menjadi sebuah nama jalan
Tempat bersembunyi orang-orang yang disingkirkan


*******

Dante Che, 14 / 03 / 2012

Coretan Tentang Bangsa

Dalam salah satu tulisan dialogalnya, antara Candide kepada Martin, Voltaire menulis, "percayakah anda bahwa manusia selalu berbunuh-bunuhan, bahwa manusia selalu merupakan pengkhianat, idiot, maling, bajingan, rakus, pelit, pencemburu, dan munafik?" Sahut Martin, "elang selalu makan anak burung kalau berhasil menemukannya". Tentu saja, jawab Candide.  Cuplikan dari goresan Voltaire di atas bagaikan analogi terhadap realitas obyektif bangsa ini. Sejak negara-bangsa ini dibentuk, sudah tercatat begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling sadis misalnya, pembunuhan masal pada kelompok progresif di akhir dekade 1960-an, pembantaian di Santa Cruz-Timor Leste dan wilayah konflik lainnya (semisal; Papua, Aceh, dll), penyiksaan dalam tahanan secara sadis, penggusuran penduduk dari tempat tinggalnya, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang dilakukan penguasa atas nama negara dan kepentingan umum.

Yang terbaru, polemik kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mengiringi hingar-bingar wacana pelarangan pemakaian rok mini di seputaran gedung para wakil rakyat. Dua wacana yang sangat bertolak belakang dengan pesan Bung Karno sejak jauh-jauh hari, tentang bahaya neokolonialisme - imperialisme dan patriarki warisan tatanan feodalisme. Alih-alih mengkritisi kenaikan harga BBM yang akan ditempuh pemerintah, para wakil rakyat justru memilih untuk meributkan 'kenaikan' rok.

Seperti sudah dikatakan di atas, kenaikan BBM adalah cerita kesekian tentang kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Sudah sejak lama pula perlawanan rakyat dilakukan bertubi-tubi, mulai dari pemogokan buruh, petani dan rakyat miskin yang menolak penggusuran, perlawanan mahasiswa, hingga perjuangan kaum perempuan menuntut kesetaraan; dengan berbagai macam kesadaran dan tuntutan, entah itu ekonomis, moralis, humanis, politis, ideologis, dsb-nya.

Melihat spontanitas perlawanan rakyat yang marak terjadi, para elit yang tak mau dicap SDM mini di tengah SDA yang maksi, berlomba-lomba merebut simpati rakyat. Setiap hari, di media massa, entah itu media cetak ataupun media elektronik, rakyat disuguhkan tontonan sengketa politik para elit sisa-sisa orde baru, reformis gadungan, dan aktifis-aktifis oportunis, berkoar-koar tentang kesejahteraan rakyat yang terancam akibat dinaikkannya harga BBM, tentang menolak neoliberal, tanpa memberikan jalan keluar sejati bagi rakyat yang konon mereka atas-namakan.

Pertarungan para elit yang tentu saja sama-sama pengabdi modal asing ini, menimbulkan kebingungan pilihan bagi rakyat. Kekuatan gerakan rakyat sendiri masihlah sangat kecil dan terpecah-pecah, padahal globalisasi penindasan modal asing semakin mencengkeram melalui regulasi-regulasi yang terlihat ilmiah dan rasional buatan elit-elit kita sendiri. Di antaranya, masifikasi eksploitasi kekayaan alam, penguasaan perdagangan (dengan membebaskan pajak impor, sedangkan ekspor harus dibatasi), intervensi politik (untuk meloloskan serangkaian kebijakan investasi), privatisasi BUMN, pencabutan subsidi pendidikan dan kesehatan, serta yang terbaru adalah pengurangan subsidi BBM, dll.

Di tengah situasi dan kondisi rakyat yang tanpa kekuatan; tanpa tanah, pengetahuan, modal, teknologi, dan organisasi, perlahan-lahan menyeruak pertanyaan dari sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arus Balik, "masih dapatkah arus balik membalik lagi?"

Menjadi suatu tuntutan, kebutuhan untuk menuntaskan perjuangan pembebasan nasional dengan melawan imperialime dan pemerintahan agen imperialisme, serta tidak berkolaborasi dengan elit-elit pengabdi modal asing, dengan cara mengembalikan partisipasi rakyat banyak dalam kehidupan politik, serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat melalui politik mobilisasi massa, demokrasi partisipatoris.

*******

Dante Che, 13 / 03 / 2012

Sabtu, 03 Maret 2012

Renungan Singkat Meditasi Harian

Pada zaman dahulu, ada seorang pangeran yang menerima seekor burung yang sangat bagus dan jarang terdapat. Ia memberi nama Twee-twee, dan ditaruhnya pada sebuah sangkar emas. Tetapi makhluk yang malang itu tidak terkesan oleh sangkarnya. Ia memohon supaya dilepaskan. Tetapi sang pangeran sangat suka padanya, sehingga tak mau melepaskannya. Lalu Twee-twee memohon kepada pangeran agar sudi mengunjungi keluarganya di tengah hutan dan menceritakan pada mereka, bahwa meskipun ditahan, tetapi masih hidup.

Didorong oleh rasa sukanya pada burung tersebut, sang pangeran menyanggupi permintaannya. Berangkatlah pangeran ke hutan untuk menemui komunitas burung tersebut. Singkat cerita, setelah mendengar penuturan sang pangeran, segera kakak perempuan Twee-twee jatuh ke tanah dan pangeran sadar bahwa ia mati karena kesedihannya. Sedih karena mengetahui bahwa Twee-twee yang indah dan sangat mencintai kebebasan itu kini dikurung. Dengan sedih hati, sang pangeran kembali dan menceritakan kepada Twee-twee mengenai hal itu.

Seketika itu juga, Twe-twee jatuh tak sadarkan diri dengan cara yang sama seperti kakak perempuannya, lemas tak berdaya ke bawah dasar sangkarnya dan mati. Pangeran tersebut lalu mengeluarkan Twee-twee dari sangkar emasnya dan melemparkannya melalui jendela dan berkata bahwa, apakah gunanya menyimpan burung ini, jika ia telah mati. Dalam sekejap Twee-twee terbang pergi, berkicau dari ranting pohon yang satu ke ranting pohon yang lainnya. Yang pangeran sangkai adalah kabar buruk ternyata adalah sebuah pelajaran. Dengan pura-pura mati, kakakku mengajarkan kepadaku cara yang sama untuk lari, begitulah kicau Twee-twee dengan riangnya.

Demikianlah, banyak yang mencari-cari arti dari wafatnya Yesus di bukit Kalvari, dengan berbagai latar sentimentilnya. Karena itu, banyak yang hanya melayang-layang saja, meneliti berbagai hal yang mungkin dan tidak pasti, serta terus mencari dalam keabsurditasannya. Anak seorang tukang kayu yang mengubah  dunia sejak kelahirannya, pelayanan-pelayanannya, hingga kematiannya.

Kisah hidupnya mengajarkan kepada siapa saja untuk berani memikul salib hidupnya masing-masing, menghadapi berbagai kontradiksi dalam hidup dengan berani, teguh dalam pilihan, konsisten dalam menjalankan, dan bertanggungjawab pada hidup. Begitulah, orang bijaksana selalu mengajarkan hidup dengan pralambang perbuatan-perbuatan.

Selamat menjalankan masa Pra-Paskah buat semua!


*******

Dante Che, 03/03/2012

Rabu, 22 Februari 2012

Berita Tengah Bulan Dalam Sajak

Ada napi bentrok dan kebakaran di Lapas Kerobokan-Bali
Pasalnya tak ada keadilan bagi anak negeri
Di Cipinang, whistleblower menyusun konspirasi
Kasak-kusuk penyedap bumbu tirani

Sementara dunia maya heboh tentang polisi
Idola generasi unyu-unyu dan chibi-chibi
Dunia nyata dibayang-bayangi hantu korupsi
Berbalut kebohongan para tersangka maupun saksi

Ada aksi Indonesia tanpa FPI, tanpa kekerasan
Pentingnya menghargai segala macam perbedaan
Menolak pelbagai hegemoni dan keangkuhan
Mulai dari balik meja birokrasi hingga jalanan

Isupun dibelok ke hal ikhwal dunia preman
Mengilusi khalayak tentang pangkal persoalan
Demikianlah, dari satu ke lain trik pengalihan
Teriring pamrih bermacam problematika terlupakan

Tabrakan tugu tani masih belum hilang bekas
Pembunuhan berantai menyeruak tuk jadi topik bahas
Bersanding dengan berbagai kasus yang belumlah tuntas
Memenuhi memori arsip-arsip dan brankas-brankas

Intelektual turut membangun kebohongan dari universitas
Secara tak sehat gontok-gontokan saling tebas
Sama sekali tanpa perspektif meruntuhkan tatanan klas
Atau perlawanan terhadap hegemoni perdagangan bebas

Kala PRT menuntut kesejahteraan kaum si inem
Istana negara menyambut dengan isu kenaikan BBM
Meski tanpa ada kejelasan asal muasal problem
Tanpa peduli dicerca sebagai budak Imperialism

Dari Cikeas, presiden a.k.a penyanyi dikabarkan siap main film
Dari balik julangan gedung tinggi hingga warung tempe bacem
Publik menyambutnya sebagai hot-gossip di FB, twitter, atau ym
Akhirnya, untuk semua; carpe diem!

*******

Dante Che, 23 / 02 / 2012

Sabtu, 18 Februari 2012

Tentang Nama Dante Che

Setiap kali chatting, seringkali dihujani pertanyaan tentang nama Dante Che. Mulai dari pertanyaan; kenapa harus bernama Dante Che, apa arti dari Dante Che, atau apakah nama Dante Che ini asli atau bukan, dll bahkan ada yang uring-uringan tanpa alasan yang jelas dengan mengatakan bahwa pemakaian nama Dante Che semata-mata karena sering dilanda heroisme pada tokoh-tokoh hebat di masa lalu yang menggunakan nama tersebut atau tak pede menggunakan nama seperti yang tertera di akte. Generasi unyu-unyu nan chibi-chibi ini begitu pedulinya pada dunia virtual ini, sehingga merasa sangat perlu untuk mencantumkan data diri secara lengkap. Tulisan singkat nan iseng-iseng ini tidak bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, juga tak bermaksud untuk menepis tudingan-tudingan yang dilontarkan. Ini hanyalah hamparan fakta-fakta yang terekam seputar hal-hal yang 'berbau' Dante dan Che, yang ternyata banyak saling bertabrakan karakter-karakternya.

Misalnya Andante, yang biasa tertulis di bagian atas kanan partitur musik, menandakan untuk memainkan musik dalam tempo moderat, tempo sedang, tidak tinggi, tidak rendah. Tentu akan sangat bertabrakan karakternya dengan Augusto Pinochet, seorang jenderal diktator dari Chili, yang entah bagaimana hubungannya dengan kejatuhan Soekarno di Indonesia, Pinochet pun memakai sandi yang sama dengan penggulingan Soekarno di Indonesia; sandi Jakarta, kala menumbangkan presiden Salvador Allende. Atau misalnya tentang Don Vito Dante Clericuzio, seorang pemimpin mafia dalam trah mafia Sisilia, yang menjalankan kerja-kerjanya dengan gaya klandestin dan penuh konspiratif, tentu akan berbeda dengan Marcus Tullius Cic(h)ero yang juga sama-sama orang Italia, seorang pengacara, filsuf, dan pencetus teori humanisme. Masih ada lagi Dante Inferno's, nama game yang tentu berbeda dengan Javier Chevanton, pesebakbola berbakat nan bengal asal Uruguay atau klub top Chelsea, yang kebetulan adalah klub favoritku.

Juga masih ada lagi tentang tokoh Dante, kakaknya Ramses dalam novel fiksi 'Di Hatimu Aku Berlabuh' karya Marga T, tentu berbeda posisinya dengan Anton Chekov, seorang dokter, sastrawan-dramawan dan penulis yang sangat terkenal. Belakangan, ku juga teringat pada pelajaran Geografi dan berbagai catatan perjalanan, tentang dua oase indah yang rimbun dengan tanaman palem dan airnya yang mengalir setiap saat, memuaskan dahaga setiap musafir yang mengarungi Gurun Sahara. Dua oase itu adalah Oase Tamerza dan Oase Chebika. Yang laksana Ernesto Sr dan C(h)elia de la serna, selalu menyambut hangat kepulangan sang petualang, Ernesto Che Guevara. Yang dikenal sebagai seorang internasionalis progresif revolusioner, kelahiran Argentina berdarah Basque-Spanyol campuran Irlandia yang berjuang di berbagai negeri menentang imperialisme, dan bersama Fidel juga Raul Castro memimpin kemenangan revolusi Kuba, negara kecil tetangga USA. Menantang dan meledakkan tatanan dunia mainstream, seperti gunung Dante dalam film Dante's Peak yang dimainkan Pierce Brosnan dan Linda Hamilton. Sebuah film yang menggambarkan letusan gunung berapi di kota Dante, kota kecil di bagian Pacifik Northwest-Amerika. Pada masa kegelapan umat manusia, diyakini bahwa letusan gunung ataupun bencana alam lainnya adalah kemarahan ataupun hukuman para dewa, hingga akhirnya tiba suatu masa di mana sejarahwan Ammianus Marc(h)elinus menuliskan dengan detail bagaimana air laut menghempas dan menghancurkan kota Alexandria, menepis kisah mistis yang menyelubunginya. Juga tentang Dante Alighieri yang menggoreskan naskah panjang La Divina Commedia, sebuah komedi tentang Tuhan, yang diyakini sebagai peletak dasar bahasa Italia. Mirip kisah Willem Friedrich Nietzsche, yang menghabiskan hidupnya dalam pengembaraan tentang Tuhan, hingga akhirnya mengeluarkan kata-katanya yang terkenal 'Tuhan telah mati', juga karya-karya hebatnya seperti Zarathustra.

Akhirnya, nama Dante Che hanyalah nama akun fac(h)ebook yang dipasangi foto dan identitas lengkap nan asli, serta dipakai sebagai media menjalin perkawanan, tempat menumpahkan ide-ide, dan bertukar gagasan di dunia maya. Toh, kita masih hidup dalam alam nyata, bisa bersilahturahmi dan berbincang-bincang menggunakan semua indera yang kita miliki, beserta pikiran dan ketulusan yang terpancar dari hati. Seperti lantunan "you are beautiful, beautiful, beautiful.. kamu cantik cantik dari hatimu.." yang jadi hits andalan girlsband Cherrybelle.

Selamat membaca buat generasi unyu-unyu dan chibi-chibi!

*******


Dante Che, 19 / 02 / 2012

Sedikit Tentang Warung Pojok-Wapo- (Permainan Rima)

Semburat lembayung merona merah, perlahan senja menghantar sang surya ke dalam pekat yang bersiap mengatupinya. Jalanan masih basah, sisa-sisa banjir dan hujan yang baru reda. Tak jauh dari berbagai gelimang mewah, deretan warung kopi semi permanen menampung berbagai canda ria. Tak ada justifikasi benar ataupun salah, suasana dipenuhi nuansa apa adanya. Juga tak ada klasifikasi masyarakat atas ataupun bawah, semua sama rata tanpa strata.

Mulai dari ketupat, perasan air enau, hingga makanan rebus beronggok-onggok, menjadi semacam miniatur toko sembako. Orang-orang setempat, terutama para mahasiswa rantau, menamainya warung pojok, yang lebih terkenal dengan sebutan wapo. Sebenarnya nama tersebut kurang tepat, karena letaknya tidak semua seperti itu, ada juga yang tak terletak di pelosok, tapi juga terletak di pusat keramaian tempat orang menghabiskan waktu bermain catur ataupun domino. Malam menjelang akan selalu dikunjungi kalau sempat, petikan gitar mengiringi koor jalanan serak-serak parau, bersisian mulai dari yang kurus kering sampai yang montok, lantunkan cadasnya 'Living After Midnight' hingga syahdunya 'O Sole Mio'.

Ada yang hanya membaca koran, berjam-jam mendengarkan radio atau menonton televisi. Ada yang hanya menghabiskan malam nongkrong dengan teman-teman, juga ada yang mengisinya dengan debat-debat atau diskusi. Kadang-kadang juga sulangan bir dingin menjadi pengisi malam dalam temaran, cukup untuk mengembara dalam liarnya ilusi-ilusi. Memadukan hidup sebagai perjuangan, dalam balutan dan perangkap-perangkap hegemoni. Begitulah rutinitas warung pojok dalam keseharian, dari hari ke hari. Tak berlebihan juga tak berkekurangan, santai nan pasti. Linting-linting tembakau membenamkan wajah-wajah dalam kepulan, yang larut dalam hangat nikmatnya kopi. Korek api dari tangan ke tangan, penyala asa menanti terang pagi. Warung pojok menjadi media komunikasi masyarakat urban, dalam hidup yang penuh ironi. Yang selalu was-was terhadap penggusuran, pemuas nafsu serakah tirani bernama investasi.

*******

Dante Che, 18 / 02 / 2012

Kamis, 16 Februari 2012

Sebuah Sapa (HAI KAWAN)

*******

Rotasi Ah, A, Ih (H A I)

Beririsan bermadah                
Silih - menyilih                      
Menghimpun bara                  
Menuju ejawantah                 

Langit merona
Fajar merekah
Buih - buih
Mega - mega

Asa lirih
Membubung angkasa
Lantunan desah
Pekik didih

*******

Rotasi Ak, A, Wa, A, An (K A W A N)

Bersatu bergerak
Sekian raga
Larut sejiwa
Menantang purba
Bernama penindasan

Tanah pusaka
Goresan Pallawa
Kukuh dijaga
Kobar perlawanan
Bermula riak

Menggugat Pandawa
Menantang penguasa
Mencipta kedamaian
Setiap benak
Segenap bangsa

Berlanjut kawula
Menyerukan perjuangan
Dimanapun letak
Bersisian bersama
Menentang Kurawa

Demi kemanusiaam
Bergenggaman menolak
Segala dusta
Meluapkan kecewa
Hingga merdeka!

*******

Dante Che, 17 / 02 / 2012

Selasa, 07 Februari 2012

Semalam di Jagir: Pengamatan! (Iseng-Iseng)

Surya telah tenggelam dalam peraduan
Gerimis masih turun perlahan-lahan
Mengiringi banjir yang menyapu jalanan
Tubuh yang letih karena kehujanan
Masih harus mencari tempat tambal ban
Dituntun samar-samar cahaya rembulan
Kapling-kapling yang menunggu penggusuran
Bersua wajah-wajah berselimut harapan
Perempuan-perempuan malam berseliweran
Asa keluar dari belenggu kemiskinan
Mangga Dua menjulang berhadap-hadapan
Potret kontradiksi yang mewarnai zaman
Datang dan pergi para pejuang kemanusiaan
Merapal mantra-mantra anti penindasan
Tapi ternyata tetap terhegemoni kekuasaan
Yang memberi hidup penuh kungkungan
Kali Jagir tetaplah penumpu kehidupan
Itulah sedikit kisah dari pak Hasan
Padaku dan salah seorang kawan
Kala malam makin larut di bengkel kendaraan
Hidup telah dipenuhi dengan berbagai pengalaman
Peluang, tantangan, hambatan adalah ujian
Senantiasalah berlawan kamerad, kawan!


*******

Dante Che, 06/02/2012

Kamis, 26 Januari 2012

Nasi Goreng, Aqua, Mild (Malam Kala Krisis)

Malam tepat berada di tengah-tengah
Satu dua, nafas terengah-engah
Maag menyambangi bangkitkan desah
Asma menyerang, hampir menyerah
Kesana kemari mencari tanpa lelah
Mata tak awas seolah lengah
Seakan lupa pada tradisi nyatat yang mewabah
Nasi goreng berpadu hentakan kunyah
Aqua membuat tenggorokan tetap basah
Mildpun didapat sambil menahan jengah
Akhirnya kantuk hadir tanpa resah
Menutup kalut usang sebagai kisah
Tentang hidup yang diliputi senang dan susah
Yang kan terkenang sebagai sejarah


*******

Dante Che, 27/01/2012

Selasa, 24 Januari 2012

Sehari Mengunjungi Translok [1]

Lapang padang luas menghijau
Beterbangan pipit, jalak, dan bangau
Gamal, johar, lamtoro, kesambi, dan bakau
Tempat berteduh kuda, sapi, dan kerbau

Tongkat gembala sebagai penghalau
Seruling berpadu angin mendesau
Berawal dari aliran Aemau [2]
Bermuarakan Aesesa [3] di Danga-Au [4]

Kabut tebal membayangi cakrawala
Petir gemuruh halilintar membahana
Pertanda segera turun butiran-butiran mega
Membersihkan noda-noda angkasa

Kumpulan kambing dan kawanan domba
Bergegas dari bekas panenan palawija
Pak tani makan ditemani tembang anak dara
Tentang kampung halaman yang jauh dari tatap mata

Sejurus saja telah penuh terisi di pondok
Beberapa orang melinting daun enau di pojok
Menari-nari irus bambu sebagai sendok
Yang lain mempersiapkan gelas dan mangkok

Tak ada tuan ataupun jongos yang jongkok-jongkok
Sebagaimana tuduhan kelas menengah perkotaan yang menohok
Bahwa terbelakang, hanya bisa mengambil dari alam untuk dicipok
Tentang watak cupet dan barbar dengan saling membacok

Ah, orang kota memang sok tahu tentang bercocok tanam
Tanpa tahu harus menunggu berapa lama penyemaian padi disiram
Berapa ikatan bibit padi dalam lumpur direndam
Atau kenapa bisa kulit menjadi keras dan hitam legam

Akhirnya senja dijemput matahari yang tenggelam
Topi-topi caping berpadu pakaiann tambal sulam
Beriringan menyongsong malam kelam
Menerobos butiran-butiran langit yang tertinggal tenggelam

Sudah ada traktor yang dimodifikasi ber-bak
Tapi hanya pas untuk memuat roda besi dan mata bajak
Sedianya diperuntukkan juga bagi anak-anak
Dengan resiko terhimpit tertindih berdesak-desak

Mata kanak-kanak mengamati dari atas pundak
Tanpa tahu sulitnya arungi malam di jalan setapak
Karena yang dilihat ada yang terkekeh juga terbahak
Seolah tak peduli pada nasib baik yang tak berpihak

Kala itu tahun 1995, awal bulan Januari
Belum santer teriakan tentang reformasi
Atau segala macam omong kosong demokrasi
Tapi malam itu translok makan nasi pembagian dari propinsi

Anak-anak sekolah dibagikan sikat gigi
Ada GN-OTA [5] untuk anak-anak miskin berprestasi
Juga ada PMT-AS [6] untuk menambah gizi
Pengamatan libur sehari di translok saat berkuasanya tirani

Awal Januari 2012, kulihat di berbagai pemberitaan
Penghuni translok itu kini mengalami kelapan
Belum ditotal dengan rendahya akses pendidikan dan kesehatan
Yang berarti bercokolnya wabah kemiskinan

Rezim Cendana [7] 14 tahun yang lalu telah digulingkan
Sudah 5 tahun Nagekeo [8] mandiri secara pemerintahan
Pun banyak putera daerah yang berhasil di perantauan
Marilah bersatu untuk kemanusiaan dan persaudaraan!


*******
[1] Transmigrasi Lokal
[2] Sungai di selatan Kabupaten Nagekeo
[3] Nama Kecamatan (Juga nama sungai di ibukota kabupaten Nagekeo, Mbay)
[4] Nama tempat di ibukota kabupaten Nagekeo
[5] Gerakan Nasional - Orang Tua Asuh
[6] Pemberian Makanan Tambahan - Anak Sekolah
[7] Soeharto & the genk
[8] Kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Ngada, berdasarkan UU No. 2/2007 (Luas wilayah sekitar1.386 km2 persegi dan berpenduduk sekitar110.147 jiwa).

*******

Dante Che, 25/ 01/ 2012

Senin, 23 Januari 2012

Belajar Menulis Lirik Ala Slim Shady!

Ini bukan kisah iri hati ataupun dengki. Bukan pula mau mencari sensasi dengan cara menciptakan kontroversi. Ini tentang gambaran hidup yang ironi. Yang suka silahkan membaca narasi ini, bagi yang tak suka silahkan membenci tanpa perlu memaki-maki.Selebihnya kau urus sendiri, toh bukan ku yang menjalani atau mengalami. Tentang kau yang bergaya dengan blackberry, ke sana kemari dengan kawasaki. Mengidolai Valentino Rossi tanpa tahu kalau team-nya adalah Ducati. Ibumu yang tukang cuci dan ayahmu yang bertahun-tahun jadi kuli, hanya bisa pasrah bergumul dengan sakit hati. Kau meninggikan diri sebagai matahari, konon sumber segala percik api. Ku baru saja melihat ulang 8-Mile dari Slim Shady, kisah tentang muridnya Dr. Dre, MB Jimmy 'Eminem' Matters III. Kekejaman aksaranya menggambarkan kerendahan hati dan jujur tentang jati diri sendiri. Tentang ayahnya yang pencuri dan ibunya yang pelacur melayani kelas rendah hingga kelas tinggi.
Ku bertemu ayahmu di warung kopi, jujur awalnya ku menyangka itu mummy, karena kurus kering tinggal tulang seolah tak berisi. Ku menyuruh ayahmu memesan segelas kopi, semangkuk mie, sepiring nasi, dan kalau belum kenyang silahkan menambah*dengan beberapa potong roti. Oops, not did it again, seru Britney , tolong periksa data buku bon di laci, supaya kita tak menjadi tukang cuci sehari di warung kopi ini, karena tingkahmu yang lahap sekali atau mungkin rakus setengah mati. Sampai-sampai sup babi pun dihabisi, tanpa peduli lagi pada ayat-ayat suci.
Hanya gara-gara ditraktir segini, berkisahlah si papi tentang sang anak yang suka onani dan bertingkah bagai banci, sok jadi orang berani kala di depan mami-mami jablay, alay nan lebay, agar direkrut jadi gigolo kelas tinggi atau biar bisa setiap malam nongkrong di dolly, jadi preman kelas teri sambil bawa belati.
Esoknya kubertemu sang isteri dari si papi, yang masih setia keliling-keliling sebagai tukang cuci, mulai dari pakaian orang dewasa hingga anak bayi. Dengan gaji perhari dan uluran belas kasih, lumayan buat membayar kontrakan mini, yang tanpa toilet dan kamar mandi.
Di luar hujan telah berhenti, ijinkan aku goreskan kisah ini di atas kertas putih dengan tinta pesan damai agar terwujud harmony sebagaimana pesan Piyu sahabatnya Fadly dari band Padi. Tertanda, buatmu yang berselera tinggi, tanpa tahu apa beda langit dengan bumi. Harapku, semoga ku tak seperti Shaidy 'Proof' Shalton yang mati ditembaki di Detroit City, oleh orang-orang sinting yang sakit hati. Ku hanya iseng-iseng merangkai aksara narasi imajinasi pertengahan Januari, korban euforia setelah menonton Battle Slim Shady.   Terima kasih!

********

 DC, 23/01/2012

Minggu, 22 Januari 2012

Sedikit Kisah Tentang Tanah Air!

Ini kisah Indonesia yang dahulu bernama Nusantara
Cerita balada negeri kaya yang penuh derita duka lara
Bermula dari penyerangan bangsa utara menduduki selat Malaka
Meluas menyebar menerkam pantura menghajar semua ksatria
Berlaksa armada dari negeri berambut merah masuki Jawadwipa
Ambonese negeri kaya rempah-rempah penghias kisah selanjutnya
Silih berganti ibu pertiwi dijarah, bangsa utara menjajah para kawula
Kisah duka nestapa yang meluluhlantakan kehebatan sumpah palapa
Portugis, Spanyol, Inggris hingga Belanda, gelap pekat di cakrawala
Jepang datang sebagai saudara tua, mengaku cahaya dari Asia Timur Raya
Kepengecutan warisan raja-raja sebelumnya, memuluskan Jepang memulai era
Kembali merah darah terpatri di angkasa, berpadu dengan putih mega-mega
Metode Dai Nippon bernama  romusha, ternyata lebih kejam dari tanam paksa
Kala lingua franca meluas menyebar antar nusa, lahirlah kesadaran akan Indonesia
Impian akan satu kata merdeka, mandiri sebagai satu bangsa dan negara
Diperjuangkan dengan sepenuh jiwa; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa
Aceh hingga Papua! 


*******

Dante Che, 22/01/2012

Sabtu, 21 Januari 2012

Kepada Kawan! (Notes Lama)

Jalanan macet setelah hujan menggenang
Berdua mengisi malam di pojok yang remang
Bergelas-gelas wine kita bersulang
Mengusir kekalutanmu yang selalu menyerang

Asap mild mengepul berpadu
Mendekap sepasang insan obati rindu
Menyusuri alur pikir yang berpacu
Ditemani musik blues yang mengalun syahdu

Lintingan-lintingan selanjutnya membuat terbang
Membawa kita meninggi melayang
Diperingatkan perihal berpikir-pikir ulang
Tenang mendelik tajam memandang

Lara bersembunyi dalam elok parasmu
Kepandaianmu pun tak kuasa menghalau
Pedihmu yang bergolak dalam kalbu
Berkaca-kaca dilap syal biru

Apa yang harus kukatakan
Mungkin kau hanya butuh ketenangan
Atau mungkin juga butuh kenyamanan
Lantunan lagu sejenak mengisi kesunyian

Tangismu belum juga reda
Menumpahkan segala gundah gulana
Aku tetap terpaku tak mengerti apa-apa
Desismu, kehadiran sudah membuat bahagia

Kita memang satu generasi angkatan
Walau kau lebih dahulu menggapai sukses kehidupan
Tapi masih ingatkah kau akan awal pula perkawanan
Kala kita seru mengobrol tentang La Tahzan

Tak ada duka lebih duka yang orang lain punya
Kalau tetap berkubang tenggelam di kedalamannya
Malampun dihabiskan menemanimu yang tertidur di meja
Bangkitlah, bukankah kita masih harus merenda asa


*******

Dante Che, 21/01/2012

Selasa, 17 Januari 2012

Bidak-Bidak

Bidak-bidak maju bergerak
Pion-pion tampak berserak
Kuda bersayap dengan liar mengepak
Menteri mencari peluang ciptakan skak

Benteng membungkus rahasia tak terkuak
Menahan gempuran ganas nan tamak
Perdana Menteri setia di sisi Raja dengan bijak
Semua maju mundur menjalankan kehendak

Yang tampak di depan mata
Belumlah tentu keadaan yang sebenarnya
Saling menyerang menebar intrik dan cerca
Mengingkari pikiran, hati, dan jiwa

Sehari-hari dihiasi pro dan kontra
Kekacauan subur di antara para kawula
Lupa pada sang pemilik kehendak kuasa
Modal yang menghegemoni para penguasa

Demikianlah bidak-bidak yang gagah
Mengalun menerjang tanpa takut kalah
Tanpa diselimuti duka ataupun resah
Sebesar-besarnya menjalankan kehendak amanah

Bidak-bidak pemanis kisah
Menghiasi lembaran-lembaran sejarah
Menyembunyikan tangan-tangan tanpa wajah
Yang penuh dengan lumuran darah


*******

Dante Che, 17/01/2011

Senin, 16 Januari 2012

Hujan di Pusat Kota

Hujan berderai diiringi petir menyambar, menyambut senja yang tak pernah usang walau terus saja berulang. Mega-mega tampak putih di kejauhan, membuat angkasa tetap terlihat cerah walau biru langit tersaput, seolah menjadi saksi keriuhan parkiran dan hiruk pikuk deretan pedagang kaki lima yang diapiti julangan plaza modal dan wisma para musafir.

Media massa, baik elektronik maupun cetak, pernah memuat berita bahwa lahan tersebut milik Pemkot, sementara warga yang mendiami wilayah tersebut mati-matian mempertahankan bahwa itu adalah lahan warisan turun temurun dari leluhur mereka. "Mbokne ancuk, ga tepa kabeh wong-wong iku, ga jelas ngurusi negoro", tukas Pak Muklas, seorang penjaga parkir di lahan tersebut kala ditanya perihal polemik ini. sementara Bu Fatimah yang sehari-harinya mengolah warung makan miliknya, melanjutkan dengan ketus, "Lha, iki yo omah omahku dewe, warung warungku dewe, ya opo diatur-aturno karo wong liyo barang". Itulah salah satu lahan yang dahulu dipakai sebagai tempat berkumpul arek-arek Suroboyo melawan Kolonialisme Belanda yang dibonceng Imperialisme Sekutu.

Sebotol aqua tanggung dan segelas es teh menemani dua insan yang mengembara dalam nalar tentang lika-liku kehidupan, hingga senja merayap menuju malam dan hujan lelah mencurah mengguyur jalanan. Amplop putih bergaris-garis merah disemat, kiriman hati yang baik. Yang satu beranjak ke timur, dan seorang lagi bergerak ke barat. Hidup memang selalu menawarkan dua sisi yang berlawanan membentuk harmoni.

*******

Dante Che, 16/01/2011

Kamis, 12 Januari 2012

Casta Meritrix*

Casta Meritrix -Based On True Story in Dream Island-

Suara lirih wajah sendu bermuram durja. Konon impiannya adalah api, bumi, laut, ataupun senja. Liukan-liukan persetubuhan nakal dan liar dikemasnya dalam untaian-untaian rangkaian aksara yang paling manis. Semanis wajah dan seharum kemaluannya yang tetap abadi, walau telah berkali-kali dipamerkan, dieksplorasi, dan dieksploitasi di berbagai ranjang. Utopianya akan kebebasan, kemanusiaan, ataupun putusnya belenggu penindasan, adalah uraian-uraian ilmiah yang meluncur mengalir rapi dari memori otaknya yang cerdas. Malam dihabiskannya dengan tubuh polos telentang tanpa sehelai benang sembari tangan diborgol di peraduan melayani nafsu sang penyedia modal rumah tangga. Rumah tangga, sesuatu yang dikutuknya sebagai sebuah bentuk kepemilikan pribadi, basis bagi terciptanya klas-klas dalam masyarakat, dan oleh karenanya merupakan suatu penindasan; akan tetapi, mulut yang sama jualah yang bertualang mengulum zakar demi zakar dengan lahap, dengan penuh nafsu yang konon berbalut rasa sayang, yang dibungkus dalam apologi klasik, suka sama suka. Mulut yang sama pula, akan mengutuk orang-orang yang balik mengkritiknya dengan sebutan anti demokrasi, bukan pendukung feminis, kolot, ataupun kampungan. Melayani nafsu birahi sopirnya sendiri agar bisa bertemu dengan pemuda-pemuda mainannya, pun demikian dengan melayani nafsu atasan-atasan suami demi pangkat yang lebih baik. Suka sama suka dan kepentingan yang sama-sama menguntungkan, begitulah kira-kira logika berpikirnya, sehingga persenggamaannya yang gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun, ditolaknya kala disebut sebagai murahan. Rumah mewah, mobil bergonta-ganti, profesi, dan status sosialnya dari lingkungan kelas atas membuatnya berpikir bahwa ia tetaplah seorang terhormat dan modern. Yang tak bisa memahaminya, disebutnya sebagai para sisa-sisa feodal nan primitif. Begitupula, kala berulangkali mengganggu relasi perkawanan, biang riak-riak keutuhan rumah tangga orang lain, ataupun kala menjadi topik gosip memalukan paling sensasional, dianggapnya sebagai suatu hal yang lumrah, memang demikian adanya, sembari berlindung di balik deretan kata sakti tak tertandingi; "hargai dan tinggikan perempuan, agar hidupmu menjadi baik". Begitulah wejangannya, yang lebih menyerupai ancaman moral pada para pengkritiknya.


*) Casta Meritrix=Pelacur Suci

*******

Dante Che, 13/01/2012

Laporan Perjalanan Fiksi (Warta Angin)

*******

Taman di timur wilayah kota ini tampak menarik. Tapi tak ada kumbang atau kupu-kupu yang mendesing desau meliuk-liuk di taman itu. Walau semuanya semerbak mewangi dan banyak bunga yang bermekaran segar, namun tak sedikit yang tampak tumbuh tertaih-tatih, dihiasi layu.

Tampaklah sebuah seruni tua dan tampak layu di antara aneka kembang . Meski demikian, pekat gelap rimbunan tak kuasa menyembunyikan keindahannya. Terik matahari tak mampu membuatnya lemah, hembusan angin tak kuasa membuatnya goyah. Sebaliknya, fatamorgana yang ditampilkan aspal seberang taman di samping jembatan, menarik perhatiannya yang telah lama tak diguyur belaian kesegaran butiran-butiran air.

*******

Di barat kota, tukang-tukang sedang kebanjiran job, Entah tukang batu maupun tukang kayu. Sedang ada penyisiran lahan, menggusur kekumuhan dan menyulapnya menjadi julangan tembok-tembok tinggi penuh kemewahan ala borjuasi. Kemiskinan makin terperosok menjadi kesengsaraan, anak-anak negeri hanya mampu mengagumi keindahan yang ditawarkan lewat intipan dari kolong-kolong jembatan. Di puncak kemegahannya yang dibalut seruan-seruan humanisme, pemilik modal dan para teknokrat mengulum senyum sedikit membungkukan badan mengangkat tangan tanda hormat dan salam, sembari tangannya yang lain meneken memastikan mendapat bekingan preman-preman yang bertebaran; mulai dari preman berdasi bermodal kuasa membuat regulasi-regulasi hingga preman tanggung bermodal belati berkarat. Semuanya agar spirit sejati; ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi tetap on the track.

*******

Rumah bercat putih dengan dua lantai yang dihuni 6 anggota keluarga di selatan kota ini sekilas nampak damai. Keluarga Pak Makuwu dan Bu Kahayati, dan anak-anak mereka; Nalib, Arianto, Diana, dan Hana. Nalib, seorang pemuda tampan yang menderita sakit bawaan sejak lahir. Arianto, seorang remaja periang yang banyak teman. Sedangkan Diana dan Hana, kembar jenius yang jadi kebanggaan keluarga. Pak Makuwu, seorang pegawai negeri penganut pancasila warisan orba dan agamis yang sangat taat, adalah seorang sesepuh yang dihormati di kota ini. Sementara isterinya adalah seorang pegawai negeri juga yang memilih menjadi ibu rumah tangga, dengan pertimbangan agar lebih mudah mengawasi dan menjaga Nalib yang cacat.

Entah karena kegundahan yang membuncah, kedekatan yang tercipta karena udara malam yang menggigit tulang, ataukah karena pengaruh yang ditimbulkan oleh teguk demi teguk arak lokal, mengalirlah kisah demi kisah dari mulut sang pemilik rumah. Pak Makuwu mengeluhkan akan tingkah isterinya yang tak henti-hentinya bertualang seks dari satu lelaki ke lelaki lain. Mulai dari Hendrikus, seorang komisaris perusahaan sosial yang adalah juga kenalan Pak Makuwu; Eko, seorang pengusaha dari kota rokok yang lagi-lagi adalah kenalan Pak Makuwu; hingga teman-teman Arianto yang datang belajar bersama di rumah pun pernah menjadi korban keliaran Kahayati. Yang palinf fenomenal adalah petualangannya bersama Gusti, seorang pria mapan beristri asal kota mas. Kisah ini bahkan mewarnai debat-debat panjang di Pengadilan Agama, karena Gusti ternyata telah memberikan sebuah apartemen, uang pendaftaran masuk sekolah anak-anak, hingga kebutuhan rumah tangga keluarga Kahayati. Masih ada lagi kisahnya yang mengganggu keutuhan rumah tangga Inno, pria muda asal ibukota,; kisahnya bersama pemuda pengangguran, Jones; bersama Jose, seorang aktifis karang taruna yang sehari-harinya berprofesi sebagai preman, preman tanggung tepatnya. Dan masih banyak kisah lagi kisah Pak Makuwu, yang kelihatannya sudah di bawah pengaruh alkohol kandungan arak lokal kota ini.

"Modusnya selalu sama. Meratapi hidupnya yang bagai burung dalam sangkar emas. Hidup di atas ranjang emas, tapi mengisi malam dengan telentang telanjang sambil tangan diborgol. Masokhisme yang didapat di dalam istana rumah tangga. Punya segalanya, tapi tak mendapatkan kenyamanan dan kebebasan". Selesai berkata begitu, Pak Makuwu meneguk tandas isi gelasnya. Ah, omongan orang mabuk, setengah sadar setengah tidak, diputuskan untuk setengah percaya setengah tak percaya.

*******

Jose sedang membelah malam utara kota dengan kendaraan barunya, ketika tiba-tiba Blackberry-nya berdering. Walau ibunya sesekali jadi tukang cuci keliling dan ayahnya pekerja serabutan, dan rumahnya hanya memiliki 1 pintu dan 1 jendela, serta tanpa toilet atau kamar mandi, dan rumah hanya 4 x 5 m, dia memilih gaya hidup mewah. Diliriknya sekilas,  "Di rumah orang ramai. Lagipula si Jones rese, dasar kampungan. Sekarang kutunggu di tempat biasa. Tempat kita memandangi laut, menikmati api yang membakar menanti senja". Dibalasnya sms Kahayati seadanya, "Tenang, anak itu nanti saya yang urusi". Ketiknya sambil digenggamnya belati berkarat miliknya. Jones adalah kawan Jose di organisasi karang taruna kelurahan. Tapi agar tampak jantan di mata Kahayati, pemuda yang mendekati 30-an itu rela tampil sebagai jagoan, dengan menjadikan Jones sebagai musuhnya. Menurutnya, siapa yang memenangkan adu strategi, membangun opini, dan menggalang dukungan, dialah yang mendapatkan Kahayati. Seabrek intrik dan belati berkaratnya akan dipakai untuk mendapatkan tante genit yang mengaku sebagai seruni layu. "Brilian dan tolol ternyata berbeda tipis", ucap kawan-kawannya kala mendengar Pak Makuwu mendapati Jose dan Kahayati yang bersenggama di tepi kali. Ah, ternyata orang mabuk adalah orang yang paling jujur.

*******

Dante Che, 12/01/2012

Rabu, 11 Januari 2012

Kedatangan Bangsa Eropa atawa Sebuah Kelahiran yang Cacat


Kedatangan Bangsa Eropa atawa Sebuah Kelahiran yang Cacat

Ragil


-J/13/06/02                      
AnD,
Ijinkan aku melanjutkan dongenganku. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan di negeriku patah menjadi berkeping-keping. Masing-masing saling bermusuhan satu dengan lainya. Tidak ada kekaisaran yang mampu menyatukannya. Dalam situasi seperti ini datang bangsa dari Utara. Mereka hebat dalam segalanya. Kapal mereka besar, tapi ramping, layar kapal mereka terbentang lebar dengan tanda palang besar di tengahnya, sehingga lajunya cukup kencang. Senjata mereka aneh, pelurunya terbuat dari bola besi, yang ketika menghantam kapal musuh, bisa hancur berantakan. Perahu-perahu itu membawa orang-orang yang juga aneh, hidungnya mancung dan rambutnya seperti rambut jagung. Armada laut kerajaan-kerajaan yang ada di Asia, tidak ada satupun yang sanggup melawan, semuanya lari terbirit-birit. Itulah bangsa Portugis dan Spanyol, AnD. Setelah ditandatangani perjanjian Tordasillas diantara dua kerajaan tersebut, yang disaksikan oleh Paus, seperti buah semangka, dunia dibelah menjadi dua, satu bagian untuk Spanyol, satu bagian lagi untuk Portugis.  Mulailah mereka menjelajahi dunia, untuk mencari emas dan rempah-rempah. Setelah sekian lama mencari, sampailah mereka di Selat Malaka, pelabuhan besar di Asia, pusat perdagangan rempah-rempah dunia.

1511, Selat Malaka jatuh kecengkraman Portugis. Pelabuhan besar itu telah jatuh ke tangan bangsa Eropa. Matilah jaring-jaring perdagangan yang telah dirajut beberapa abad. Hancur berantakan. Hanya menyisakan kolonialisme. Negeriku, yang sudah terpatah-patah sejak keruntuhan Majapahit, semakin sepi. Pelabuhan-pelabuhan besar, yang selama ini selalu ramai dipenuhi pedagang-pedagang asing, kini, hanya menyisakan jembel-jembel dan pelacur-pelacur. Semuanya, menjadi pelabuhan mati. Mati perdaganganya, mati jiwanya, mati peradabannya. Satu demi satu, kerajaan-kerajaan yang selama ini menjadikan laut sebagai masa depan, mulai memungungi harapan dan cita-cita mereka. Perahu-perahu mereka biarkan terombang-ambing di pelabuhan, seperti nasib pelabuhan mereka yang juga terombang-ambing. Selamat datang bagsa dari Utara. Silahkan kau bentangkan jubah kolonialismemu. Silahkan kau julurkan tangan-tangan guritamu untuk menghisap kekayaan alam kami, rakyat kami. Kami akan pasrah kepadamu karena kami telah lumpuh. Silahkan kalian pasang rantai-rantai penindasanmu. Ma’af, kami tidak bisa berbuat banyak, peradaban kami telah runtuh. Kalaupun ada perlawan disana-sini, itu semata-mata agar mata dunia melihat, bahwa kami masih ada. Beri kami sedikit ruang hidup. Kalian akan disambut dengan tangan terbuka oleh tangan feodalisme yang sudah bangkrut.

Belanda datang kemudian. Tahun 1596, bangsa Belanda sampai di Batavia lengkap dengan senjatanya; dengan modal-modalnya tentu—sebelumnya mereka sudah sampai Banten, Gresik, yang dipimpin oleh Cornelis Houtman. VOC (Verenigle Oost-Indishe Compagnige) yang didirikan tahun 1602—organisasi ini merupakan serikat dagang yang didirikan para pedagang Bataaf, tugas badan ini tidak hanya mengawasi perdagangan di Indonesia, tetapi juga di Srilangka, dan kawasan yang merentang dari Tanjung Harapan ke Jepang.  Kongsi dagang ini dipimpin oleh “de XVII Heeren” atau “Yang Mulia 17 Bangsawan”. Memang kedatangan mereka tertinggal 100 tahun setelah Vas da Gamma sampai di Goa. Perlahan-lahan, mereka mulai menancapkan modalnya di negeriku. Tahun 1610 mereka mendirikan loji di Batavia sebagai pusat perdagangan mereka. Tugas mereka tidak ringan. Mereka harus bersaing dengan pedagang Portugis, Spanyol, Inggris, dan juga dari pedangan lokal yang sudah lama menguasai jaringan perdagangan  Melayu, Bugis, India, Tiongkok.  Dengan bantuan penduduk Tionghoa, JP Coen berhasil membangun Batavia dari rawa-rawa yang merupakan tempat bersarangnya nyamuk malaria, menjadi pusat perdagangan internasional, menjadi magnet bagi pedagang-pedagang dari berbagai manca negara.  

Sebagai kumpulan para pedagang, pada masa-masa awalnya,  VOC lebih memperhatikan lautan dan belum memikirkan pedalaman. Kota-kota pesisirlah yang yang mereka tundukkan pertama kali. Ambon diduduki pada 1605, kemudian Banda (1621), dan berturut-turut merebut Selat Malaka (1641). Dalam perjanjian Painan, VOC memperoleh hak atas bandar di pantai Barat Sumatera, berusaha menguasai ladang emas di daerah sekitarnya, tapi tidak berhasil. Di Palembang dan Banjarmasin VOC memperkuat loji-lojinya. Akan tetapi, sebenarnya kekuasaan mereka masih terpusat di Jawa. Di Jawa, posisi mereka lebih terjamin. Setelah penundukan-penundukan itu, VOC baru melirik ke pedalaman. Situasi kekuasaan Jawa di pedalaman saat itu sedangmengalami perang saudara, saling berebut kekuasaan. Pemberontakan Trunojoyo dari Madura, Untung Suropati--seorang budak dari Bali-- dan orang-orang Tionghoa terhadap Mataram, dimanfaatkan oleh Belanda untuk menawarkan bantuan terhadap raja Jawa. Melalui cara-cara seperti ini, VOC mulai menantapkan kukunya di daerah pedalaman, yang feodalismenya sudah sekarat. Walupuan Banten berhasil dikuasai (1705) dan kota-kota pesisir lain dapat dikuasai, bukan berarti memperkokoh posisi VOC di Batavia. Pemberontakan-pemberontakan dari daerah pesisir terus saja terjadi.

Dalam bidang perdangan, VOC memang bisa melakukan monopoli, tapi banyak juga korupsi. Gaji pejabat yang rendah, sedangkan gaya hidup mereka bak raja-raja kecil penuh dengan kemegahan dan kemewahan, menyebabkan korupsi menjadi hal yang lumrah. Dengan posisi keuangan yang semakin menurun, berbagai jalan dicari oleh VOC. Semasa Gubunur Jendral Van Imhoff (1743-1750) dilakukan pembaruan-pembaruan, diantarnya, penyeragaman mata uang dan menjalin hubungan dagang tras Pasifik dengan koloni Spanyol di Amerika, tapi, tetap saja tidak dapat menghanbat kebrangkutan VOC.  Revolusi Prancis dan naiknya kekuasaan Napoleon menjadi titik akhir kekuasaan VOC, dan tangung jawabnya diambil alih oleh pemerintahan Belanda. Akhirnya, mendekati awal abad ke-19, VOC walaupun mulai berhasil memonopoli perdagangan—khususnya rempah-rempah-–mengalami kebangkrutan karena korupsi besar-besaran yang dilakukan pegawainya sendiri. Inilah akhir jaring-jaring merkatilisme Eropa yang dibentangkan di negeriku.

AnD,
Setelah keruntuhan VOC, situasi negeriku semakin parah, semakin jatuh dalam cengkraman kolonialisme. Tuan Guntur, seorang pengagum Napoleon Bornapate, mendapat mandat dari kerajaan Belanda untuk menyelamatkan negeriku dari kehancuran. Ia berpaling dari lautan, menjadikan daratan sebagi penopang kuku-kuku kolonialismenya. Jalan Raya Pos, ia bentangkan dari Ayer di ujung barat Pulau Jawa sampai Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. Ia satukan Pulau Jawa yang telah patah-patah setelah keruntuhan Majapahit.

Langkah-langkah yang diambil Tuan Guntur sesuai tujuan baru dari bangsa Eropa yang mulai berubah. Kalau selama ini tujuan utama mereka adalah memonopoli perdagangan sehingga hanya memfokuskan pada hasil hutan—rempah-rempah—kini tujuan mereka adalah mengolah pedalaman. Artinya, bahwa tanah-tanah di pedalaman—yang selama ini dikuasai oleh raja-raja—mulai mereka ambil, untuk diolah guna menanam tanaman perkebunan—kopi, kapas, gula, tembakau dan tanaman ekspor lainnya. Tanaman-tanaman tersebut merupakan barang-barang ekspor yang sangat laku di pasaran Eropa. Arah baru ini jelas membutuhkan sarana pendukung. Maka, untuk memperlancar arus barang-barang tersebut dari pedalaman menuju ke pelabuan-pelabuhan, sarana transportasi merupakan kebutuhan yang vital. Pembangunan Jalan Raya Pos mempunyai tujuan seperti itu—memperlancar tujuan kolonial untuk mengeruk kekayaan. Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Tuan Guntur, sebetulnya merupakan usahanya untuk mengikis feodalisme yang ada di negeriku. Tanah-tanah yang dahulunya tersentral dalam kekuasaan raja-raja, kini diambil alih oleh pemerintah Belanda. Tuan Guntur merupakan ancaman bagi raja yang masih tersisa. Sebagai pengagum Revolusi Prancis, ia sangat beci terhadap feodalisme. Kerja-kerja paksa yang dilakukan Tuan Guntur secara langsung telah melucuti kekuasaan raja-raja yang selama ini  memonopoli tenaga manusia dan sumber daya alam. Usahanya juga merupakan pematokan terhadap kapitalisme di Indonesia. Patok pertama kapitalisme telah ditancapkan Tuan Guntur di Negeriku.

Langkah Tuan Guntur, memang tidak selesai. Belanda harus menyerahkan kekuasaan terhadap negeriku kepada Inggris. Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1826) tampil sebagai penguasa tertinggi di Jawa. Ia adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan. Kebun Raya Bogor merupakan monumen ilmu pengetahuan yang sampai saat ini masih ada. Tetapi yang terpenting bagi perkembangan corak produksi di negeriku adalah kebijaksaan tentang sewa tanah. Berdasrkan hukum kuno, tanah merupakan milik raja, sehingga siapa saja yang mengunakanya harus membayar sewa.

Ada tiga pengolongan dalam pemungutan pajak ini: 1). Golongan orang depan. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak mendapatkan bagian dalam pengelolaan tanah komunal. Sebagian besar mereka juga sebagai pemilik tanah sikep. 2). Golongan orang tengah/kuli setengah gogol/kuli kendo. Mereka adalah golongan masyarakat yang memiliki pekarangan dan rumah, tapi tidak mempunyai sawah. Golongan ini termasuk mempunyai hak untuk menggarap tanah komunal. 3). Golongan orang belakang/petani tak bertanah.dibagi menjadi dua golongan, yaitu indung/tumpang/pondok karang, mereka yang mempunyai rumah yang menumpang diperkarangan orang lain. Sedangkan golongan kedua yaitu tumpang tlosor/pondok tlosor/kumpulan/nusup,mereka adalah warga desa yang tidak mempunyai rumah dan menumpang pada orang lain.

Dari ketiga golongan tersebut, golongan pertama dan kedualah yang dikenai pajak. Selain pemajakan, kebijakan yang dilakukan oleh Rafless adalah sewa tanah.Ini membawa dua pengaruh: (1). Tanah-tanah kerajaan diambil alih oleh pemerintah Inggris. Raja tidak lagi mendapat upeti dari rakyatnya, tetapi dari gaji yang diberikan oleh pemerintah kolonial. (2). Rafles menyewakan tanah-tanah pemerintah kepada swasta, terutama orang-orang Tionghoa. Kebijakan ini telah menggiring modal-modal swasta mulai masuk ke pedalaman, terutama untuk investasi perkebunan. Secara pasti modal-modal semakin masuk ke pedalaman. Perkebunan-perkebunan, terutama tebu, mulai dirintis. Kehidupan petanipun mulai berubah menjadi buruh-buruh perkebunan. (3). Kekuasaan raja Jawa mulai terkikis. Konflik internal dikalangan kraton membuat peranan Inggris dibutuhkan untuk mendukung proses pergantian raja. Naiknya Hamenkubuwono III merupakan babak baru bagi feodalisme di Jawa. Sebagai balas jada kepada Inggris, HB III harus menyerahkan daerah-daerah pesisir dan membanyar pajak untuk daerah Kedu dan Klaten. Juga kerajaan dibelah, dengan didirikan Paku Alaman. Lama kelamaan, tanah mereka semakin sempit, yang tetap besar adalah watak feodal mereka. Semakin menciutnya hak-hak para bangsawan, menjadi salah faktor perang Jawa berkobar.

-J/23/07/02
AnD,
Sepanjang 1825-1830 Jawa diterjang badai, yaitu perang. Perang ini kemudian terkenal dengan perang Jawa. Pangeran Diponegoro, seorang pangeran dari kraton Yogyakarta, memimpin sebuah pemberontakan terhadap Belanda. Banyaknya hak-hak bangsawan Jawa yang dilucuti oleh pemerintah kolonial menyebabkan pemberontakan ini banyak mendapat dukungan—bangsawan-bangsawan kraton, yang dirugikan oleh pemerintah kolonial, banyak yang bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Tidak mengherankan, kalau Belanda harus mengonsentrasikan kekuatanya—baik dana maupun angkatan senjatanya—untuk mematahkan perlawanan Diponegoro. Zaman memang belum bisa berpihak pada perjuangan melawan kolonialisme, perlawanan itu dapat dipatahkan. Akan tetapi, Belanda harus memutar otak untuk mencari jalan keluar, mengisi kas mereka yang kosong.

Du Bus, Gubenur Jendral Belanda waktu itu, tidak punya jalan keluar untuk membayar hutang Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar f 37 juta lebih. Buntu otaknya. Sampai kemudian, seorang pensiunan Komisaris Jendral Hindia Barat, Johanes van de Bosch, datang menghadap Raja Williem dengan rencana barunya, Cultuurstelsel. Rencana ini sungguh indah: “Orang Jawa tidak boleh dibebani pekerjaan baru yang tidak mereka sukai, Culturrstesel ini hanya boleh dilaksanakan apabila penduduk menghendaki”. Dengan rencana baru ini, van de Bosch datang ke Hindia Belanda. Sesampainya di Jawa, ia melakukan pembersihan-pembersihan, Raad Hindia dibersihkan dari kekuatan oposisi, yang kemudian diubah menjadi kumpulan-kumpulan boneka penasehat, yang tidak mempunyai hak untuk ikut mementukan. Semakin lapang jalan Van de Bosch untuk menghisap bumi dan manusia negeriku. Rencananya mulai dilaksanakan. “Kami tidak memaksa kalian penduduk Jawa. Kami hanya memintamu untuk bekerja, karena kerja adalah mulia. Maka, tanamilah seperlima tanah kalian dengan tanaman-tanaman yang kami inginkan: lada, kopi, tebu, nila, kayu manis atau kapas. Pilihlah tanaman-tanaman itu. Agar kalian tidak kelaparan, tanamlah sisa-sisa tanah yang tidak kalian serahkan kepada pemerintah, untuk keperluan kalian sendiri. Kalian boleh kerja keras, tapi jangan lupa bayar pajak, bukankah pajak adalah warisan dari raja-rajamu sendiri? Maka, bayarlah dengan hasil memeras keringat kalian. Sedangkan kerja untuk pemerintaha, bukankah tidak perlu diupah? Selama ini kalian kerja untuk raja juga tidak pernah di upah, karena mengabdi pada pemerintah sama dengan mengabdi pada raja. Nanti kalau kalian sudah panen, akan kami beli hasil kalian (yang bukan dari kewajiban pemerintah) dengan harga pasar, dan angkut sendiri hasil-hasil itu ketempat-tempat yang telah kami tentukan. Bagi kalian yang tidak punya tanah, cukup bekerja 66 hari saja bagi pemerintah. Sementara untuk kalian priyayi-priyayi pribumi, akan kami berikan hadiah apabila bisa menghailkan produk yang melimpah. Kalian akan kami bayar dengan gaji yang cukup, dan jabatan kalian boleh diwarsikan kepada anak cucu kalian. Bekerja keraslah!”—Itulah Cultuurstesel. Itulah kehidupan rakyat negeriku ketika cultuurstelsel diterapkan, kata ini karena sulit diucapkan oleh rakyat negeriku, diubah menjadi Tanam Paksa.

Jalan keluar van de Bosch terbukti memang ampuh. Hindia Belanda bukan tempat yang kering kerontang. Kapal-kapal N.H.M—yang saham terbesarnya dimiliki Raja Belanda—selalu punuh muatnya, membaw` barang-barang dari Jawa ke Belanda. Keuntungan-keuntungan Cultuurstelsel setiap tahunnya laksana emas yang turun dari langit. Tidak salah kalau dikatakan, Pulau Jawa adalah “gabus tempat negeri Belanda mengapung”. Hanya dalam waktu 5 tahun pelaksanaan Tanam Paksa, uang kelebihan anggaran belanja Hindia Belanda, yang bisa dialirkan ke negeri Belanda mencapai 800 juta gulden. Dengan keuntungan sebesar itu, Belanda mulai bisa menggerakkan perdagangan, pelayaran, industri, yang sebelumnya hampir mati. Belanda tumbuh bak laksana surga di Eropa, sementara negeriku tumbuh menjadi neraka yang paling dalam. Penduduk negeriku semakin kering kerontang. Tanah-tanah mereka tidak terurus. Tenaga mereka sudah kering untuk menanam tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Ya, modalah yang mengubah segalanya.

Tanpa terasa, negeri kami memasuki zaman baru, kapitalisme. Rakyat hanya bisa merasakan. Dimana-mana perkebunan Belanda. Jalan-jalan diperbaiki. Kota-kota pelabuhan menjadi ramai, toko-toko mulai berdiri, pasar ramai. Ada perubahan memang. Tapi ditempat lain Rakyat tidak melihat perubahan. Para priyayi masih memakai belangkon, kalau mereka lewat, Rakyat masih diwajibkan untuk bersimpuh di tanah. Rakyat juga masih diwajibkan kerja untuk priyayi-priyayi ini, terutama mendekati hari besar keagamaan atau kalau ada hajatan. Ternak-ternak mereka juga masih sering diminta oleh para priyayi-priyayi ini untuk sebuah acara. Zaman apakah ini kiranya? Ya, zaman kapitalisme yang berpenopong feodalisme.

Negeriku telah memasuki zaman baru, tapi juga masih mengukuhi zaman lama. Memang tidak seperti yang terjadi negerimu. Zaman baru di negerimu, menghancurkan zaman lama yang sudah usang itu. Di negerimu, zaman baru datang setelah melalui perjuangan yang panjang dan berdarah dari rakyat untuk merobohkan tatanan lama. Kaum borjuasilah yang menjadi pendorong perubahan di negerimu. Di negeriku semua itu tidak terjadi. Zaman lama tidak pernah dirobohkan oleh zaman baru. Kedua zaman ini bahkan bergandengan tangan untuk menghisap Rakyat negeriku. Tidak, tidak, borjuasi tidak pernah tumbuh di negeriku, apalagi mengharapkannya memimpin perubahan.  

Gilda-gilda/industri rumah tangga—yang di negerimu kemudian berkembang menjadi industri-industri besar, yang mempunyai kedudukan yang otonom terhadap kerajaan, yang kemudian tumbuh menjadi golongan yang melawan feodalisme—tidak tumbuh di di negeriku. Industri-industri yang berkembang, sebagian besar adalah industri-industri milik borjuasi Belanda, yang langsung menjadi industri besar (misal perkebunan), sehingga golongan borjuasi yang muncul dari gilda-gilda ini—selain dari pedagang-pedagang—tidak tumbuh (kalaupun ada tidak signifikan, misalnya, yang tumbuh seperti kerajinan perak di kota gede, pengusaha-pengusaha yang tumbuh di minangkabau, padang), tetapi tidak pernah bisa mendorong timbulnya perubahan (untuk meruntuhkan feodalisme). Kau tahu sendiri, embrio dari lahirnya borjuasi, kaum pedagang, sudah ludes setelah keruntuhan Majapahit, kembali ke dunia feodal yang sakitan itu, yang belepotan dengan sembah dan jongkok.

Ya, patok ketiga telah dipancang oleh Van de Bosch: Kapitalisme Yang Cacat.

Selanjunya, terpaan demi terpaan terjadi di negeriku:
1. Masuknya biji besi secara besar-besaran ke negeriku. Kau tentunya sudah tahu, bahwa besi merupakan bahan dasar bagi proses industrialisasi–-pembangunan pabrik dan jalan-jalan kereta api. Walaupun letaknya di jalur antara India dan Tiongkok yang sudah maju industri metalurgiya, negeriku ketinggalan—teknik-teknik pengecoran baru digunakan untuk membuat nekara, selebihnya sebatas untuk persenjataan. Persedian biji besipun juga terbatas, hanya ada di daerah-daerah seperti bagian tengara Kalimatan, bagian tengah Su Jukisi, daerah pedalaman Sumatera dan Sumbawa, di Jawa sama sekali tidaka da biji besi. Selama beberapa abad—terutama setelah keruntuhan Majapahit-- hak pengolahan besi hanya  dipegang para pandai besi, sehingga perkembanganya menjadi sangat lambat. Industri pengolahan besi tidak pernah bisa berkembang.

2. Pembangunan jalan kereta api. Jalur pertama jalan kereta api antara Semarang-Kedung Jati di resmikan tahun 1871 (raja Siam Chulaulongkorn datang untuk mengaguminya), juga ditandai terbitnya surat kabar di Semarang, De Lokomotif. Jalur Batavia-Buitenzorg/Bogor (1873) dan jalur Surabaya-Pasuruhan (1878). Semakin panjang jalan kereta api itu. Tahun 1894 selesailah jalur pertama ‘lintas Jawa’, yang menghubungkan Surabaya dengan Batavia, melalui Maos, Yogya dan Solo. Pada tahun 1912 jalur kedua dibuka, melalui Cirebon dan Semarang. Jalan-jalan kereta api ini telah menjadi penghubung industri-industri Belanda dan sekaligus, sedikit-demi sedikit mengikis mental petani setalah mengalami persentuhan dengan kota-kota satelit.

3. Terpaan di bidang kesehatan. Satu pembaruan terpenting adalah diperkenalkanya vaksin--terutama vaksinasi cacar dan ditemuakanya obat untuk malaria. Vaksin ini, denga kemajuan angkutan darat maupun kereta apai telah memungkinkan tersebar ke seluruh pelosak Jawa. Kemajuan ini telah meningkatkan tingkat harapan hidup penduduk Jawa, sehingga ketersedian tenaga kerja guna kepentingan industrialisasi Belanda bisa terjamin. 

4. Terpaan pada jaringan komunikasi. Telegraf sebagai alat komunikasi mulai tahun 1856 --kawat pertama dibangun antara Batavia-Buitenzorg (1857), antara Batavia-Surabaya (1859) dan bisa digunakan oleh pihak swasta, pada tahun 1859, jaringan di Jawa panjangnya 2700 km dan terdapat 20 pos untuk umum – telah membantu perkembangan industrialisasi di Jawa. Yang lebih dasyat jaringan bawah laut dibangun– dan hal ini dipermudah oleh kenyataan bahwa Hindia Belanda adalah salah satu penghasil utama ‘getah perca’ di dunia, getah perca yang pada zaman itu digunakan untuk membuat salut—telah menajadikan jawa telah menjadi bagian dari kapitalis ineternasioanl). Pada tahun 1870, Batavia dihubungkan denegan Singapura, Bayuwangi dihubungkan dengan port Darwin. Tahap terakhir adalah jaringan telepon menghubungkan Surabaya  dengan Batavia pada tahun 1910. 

5. Teknik lain yang juga membawa pengaruh adalah teknik cetak, dengan hadirnya mesin cetak. Adanya mesin cetak inilah yang kemudian memungkinkan Minke menerbitkan Medan Prijaji yang terbit harian sebagai alat propaganda kepada rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan imperialisme/kolonialisme.

6. “Revolusi” pada struktur sosial masyarakat secara ekonomi politik. Seluruh terpaan yang ada di muka pada akhirnya berujung pada satu titik yaitu konsentrasi modal dan tenaga kerja untuk produksi komoditi. Bijih besi untuk membuat mesin mesin pabrik; rel-rel kereta api untuk menghubungkan tempat-tempat penggalian bahan mentah (perkebunan, pertambangan) ke pusat pusat produksi (pabrik), dan dari pusat pusat produksi ke pusat pusat distribusi (pasar). Mobilisasi tenaga kerja, dari desa ke pabrik pabrik dan ke kota-kota, merupakan konsekuensi logisnya. Sebagaimana juga pembagian kerja di dalam masyarakat, sampai akhirnya tercipta struktur kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Ya, kapitalisme sudah dibentangkan. Industri, sebagai tulangpunggung kapitalisme terus dibangun oleh pemerintah kolonial. Seribu Delapan Ratus Tujuh Puluh, merupakan permulaan perubahan zaman bagi negeriku. Sebuah UU baru, yang kemudian dikenal dengan UUPA, ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Ini dilatar belakangi terjadinya perubahan di Eropa. Tanam Paksa, telah menimbulkan perubahan baru di Belanda. Industrialisasi yang semakin berkembang yang didukung dana dari Tanam paksa, tak pelak lagi, telah menumbuhkan kelas baru, borjuasi. Mereka ini, mulai mendirikan perusahaan-perusahaan swasta, yang sangat membutuhkan bahan mentah, dan sekaligus menanamkan modalnya di tanah jajahan. Sementara, selama ini, distribusi bahan-bahan mentah dan penanaman modal di tanah jajahan masih dimonopoli oleh pemerintah. Seperti halnya di negara lain, mereka melakukan gerakan politik. Maka, di negeri Belanda sana, terjadi perubahan yang cukup mendasar, golongan liberaral marak ketangga kekuasaan. Golongan ini, yang sebagian besar pengusaha-pengusaha swasta, medesak agar pemerintah membagi keuntungan dengan mereka. Mereka sadar, bahwa negeriku adalah lahan yang subur untuk mengembangbiakkan modal mereka. Pengusaha-pengusaha swasta ini, kemudian menghadap sang Ratu, sambil berkata, “ijinkan kami mengais-ngais rejeki di Hindia Belanda. Injinkan modal-modal kami bisa beranakpinak agar tidak beku. Bukankah tidak ada artinya sri Ratu, kalau modal dibiarkan membeku. Ijinkan kami juga ikut menyebarkan ajaran Injil, membuat penduduk Hindia Belanda lebih beradab”. Maka, datanglah modal-modal swasta ke negeriku, seperti banjir bah. Mereka datang tidak dengan kekuatan bersenjata—seperti pertama kali Coen datang—mereka datang dengan politik etiknya. Ternyata sudah siap mereka. Segalanya sudah dipersiapkan dengan matang, termasuk alat-alat penghisapanya yang lebih halus. Sedikit demi sedikit, kapitalisme mulai menyatukan wilayah di negeriku yang dipisahkan oleh lautan itu.

-J/9/08/02
AnD,
Memang berbeda dengan yang ditempuh Inggris di India, yang memulai industrialisasi dari membangun industri dasar. Kolonialisme Inggris di India, memulai patok kapitalisme dengan Industri dasar—baja dan besi. Maka di India berkembang industri-industri baja dan besi untuk menopang pembangunan industri-industri yang lain. Di negeriku, yang pertama-tama berkembang adalah industri gula. Pemerintahan Belanda terlalu mefokuskan pada barang-barang impor yang saat itu menjadi idola pasar Eropa, yaitu gula. Bagi pemerintah kolonial yang terpenting adalah mencari cara agar bisa mengakumulasi modal dengan cepat dan biaya yang murah. Gula, yang menjadi barang berharga di Eropa, dijadikan tulangpunggung bagi proses industrialisasi ini. Pada tahap awal, industri gula memang bisa berkembang cukup pesat, tetapi industri ini tidak dapat mendorong tumbuh berkembangnya industri-industri yang lain--karena setelah sarana pendukung tercukupi, jalur kereta api, jalan raya, terpenuhi, industri gula relatif tidak membutuhkan penunjang dari industri-industri lain. Kalaupun ada perluasan industri baru baru, itu bisa terjadi apabila ada perluasan terhadap industri gula—baik dibukanya pabrik baru maupun perkebunan tebu baru. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perkembangan industri lain—selain industri gula, cukup lambat. Industri-industri  manufaktur lain, seperti industri tekstil tidak dibangun di Indonesia, tapi malah dibangun di negeri Belanda, begitu juga dengan industri karet, hanya diproses dengan industri yang sederhana.

Ini semua membawa dampak. (1). Rapuhnya proses industrialisasi di negeriku. Industri gula ternyata tidak bisa menjadi tulangpunngung industrialisasi di negeriku. Ketika harga gula munurun--terutama setelah ditemukan bahan kimia untuk membuat gula tiruan--perekonomian Hindia Belanda mulai goyah, tidak ada industri lain yang bisa menopangnya. Dalam dapak yang lebih panjang—hingga saat ini—industrialisasi di negaraku tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sehingga, negeriku yang semua orang mengatakan kaya raya, tidak bisa mengolah kekayaan sendiri, yang hanya mampu menjual bahan-bahan mentah, atau bahkan diserahkan kepada modal asing untuk dikeruk. (2). Tidak melahirkan kelas proletar yang tangguh. Tidak berkembangnya industrialisasi, menyebabkan Rakyat di negeriku sebagian besar masih bekerja di sektor pertanian/perkebunan. Atau lainya bekerja di pabrik-pabrik gula. Rata-rata yang bekerja di tempat ini adalah petani-petani miskin, yang tanah-tanahnya tidak bisa digarapkan lagi—karena irigasi sudah tersedot untuk kepentingan perkebunan Belanda. Mereka ini, rata-rata tidak mempunyai pendidikan yang memadai, sebagian besar malah masih buta huruf—sedangkan politik etik hanya menjangkau penduduk kalangan bangsawan atau rakyat yang dipersiapkan menjadi pegawai adminitrasi Belanda—sehingga mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang seluk beluk dunia industri/tentang hak-hak mereka. Sementara, buruh manufaktur, yang mempunyai pendidikan lebih tinggi, masih cukup kecil—di Jawa hanya ada sekitar 3,7% atau sekitar 122.270 orang, bandingkan dengan yang bekerja di sektor pertanian, ada sekitar 2.565.974 atau sekitar 76,4%. Situasi ini berdampak pada tingkat kesadaran kaum buruh terhadap penghisapan yang dilakukan oleh kapitalisme Belanda menjadi lambat.

AnD,
            Itulah, tumbuh dan kembangnya kapitalisme di negeriku. Kalau kau membuat suatu perbandingan, banyak perbedaanya dengan yang terjadi di negerimu. Ya, persamaanya mungkin hanya satu: sama-sama menghisap. Kapitalisme yang ada di negaraku ini, yang dipatok oleh kolonialisme Belanda, dalam perjalanan sejarahnya membawa dampak-dampak yang besar, terutama dalam karakter-karakter manusianya. Semoga ada kesempatan bagiku untuk membentangkannya kepadamu.