Ingin sekali lagi kutulis tentang malam tanpa bintang yang seolah-olah menyelubungi pekat gelap kala rembulan tak tersenyum seperti lazimnya. Ingin kukirim rima dalam bait-bait tentang hidup. Tapi itu harus kutunda, mungkin di tahun-tahun mendatang, karena toh ternyata siang malam adalah rotasi bulan pada bumi, dan pergantian tahun adalah revolusi bumi pada matahari. Dan itu selalu berulang membentuk siklus, mengiringi sang waktu. Mega-mega angkasa pun menggoda menyibak tabir rahasia yang tersaput. Pijaran bias cahaya lampu-lampu berpendaran menyilaukan tatap pandang juga tak ada. Iringan gitar petikan seorang pemuda urban melantunkan notasi balada, menenggelamkan suara jangkrik dan nyanyian binatang malam. Menyentakkan kesadaran tentang kenyataan. Realita keping sisi lain sebuah kota metropolis. Patah-patah gugusan aksara ini terangkai, menyaji sisi lain dari tatap pandang yang seolah-olah motorik dan sensorik tersaput hingga pesan indera tak tertangkap hard-disk akal kawula negeri.
Di sudut kota yang lain, di samping sebuah kathedral, sepasang insan memenuhi ikrar bersua, merenda asa mengisi hari penghabisan tahun dalam balutan dongeng-dongeng kehidupan. Rambut lurus terurai dengan kulit bercahaya berpadu kulit hitam legam berhias rambut ikal. Benturan dua tipe warisan sejarah bentukan konstruksi yang mengurat mengakar, mewakili hampir semua benturan yang mereka bawa.
Sejarah resmi menulis tentang gejala, tak menulis tentang sebab. Sejarah resmi akan mengisahkan seorang tokoh atau pahlawan dengan seabrek kebajikan, sembari mengabaikan peranan massa kolektif dan orang-orang pinggiran. Karena yang dilihat adalah gejala, bukan sebab, maka ketika seorang penipu ditipu, si penipu akan berada pada posisi sebagai korban atau bahkan pahlawan. Sebuah generasi akan menciptakan pahlawannya sendiri sebagai icon angkatannya, sebagai pembasuh dosa segala kebobrokannya. Publik dan era demi era menerimanya sebagai kebenaran.
Manik-manik rosario tanpa rapalan darasan doa, menemani gemericik percik air yang seolah-olah membelah kekaburan batas antara fiksi dan realita. Terdiam, berkomunikasi dalam bahasa kalbu, dan tangan terkepal membayangkan ketimpangan di balik julangnya tembok-tembok tinggi biara. Komersialisasi pendidikan dan kesehatan sebagai wujud kapitalisasi hajat hidup orang banyak, kemiskinan yang dikukuhkan represifitas aparatus militer, dan piramida sosial yang membentuk tangga strata masyrakat, membuat goyah kekaguman mereka akan bait-bait pertama guratan St. Yohanes penulis Injil; “Pada mulanya adalah kata, kata-kata itu hidup dan tinggal di antara kita,...”. Logika inkuisisi abad pertengahan yang masih dipakai di era modern seperti saat ini, begitulah kritik yang pernah dilontarkan pada barisan pembuka salah satu injil tersebut. Tapi mereka percaya bahwa itu bukan hanya sekedar tulisan yang berbuih-buih. Seperti mega-mega yang selalu berusaha membungkus angkasa, ada rahasia yang terkandung, ada spirit yang mesti digali. Kata-kata itu harus dipraksiskan, tak sekedar menjadi seruan moral dari altar-altar atau mimbar-mimbar khotbah. Peran kritis profetis dan evangelisasi yang dikumandangkan, mesti berwujud nyata mulai dari lingkungan terkecil seperti kelompok-kelompok doa, legio, komunitas unit basis maupun dalam pelayanan parokial.
Bulan telah berada di atas ubun-ubun, penanda malam makin larut. Misa kedua yang dihelat pun telah kelar. Pintu kathedral yang dibuka membiaskan cahaya kilau, menyentakan sepasang insan yang tenggelam dalam balada petikan pemuda urban yang dibawa angin malam. Pelukan pembawa kekuatan memisahkan mereka pada malam penghujung tahun, menyongsong hari baru di tahun yang baru, dengan spirit menggali rahasia yang tersaput. Dua sisi metropolis yang berpadu.
*******
Dante Che, 31/12/2011