Kamis, 17 November 2011

Tanca, Kekasih Racun!

Pernahkah kau dengar kisah Tanca?
     Samar-samar pengetahuanku tentangnya.    
     Ada apa?

Menurutmu, apa artinya seorang Tanca di hadapan Trowulan? 
     Tak ada arti apa-apa, dia cuma seorang Rakrian.
Tentu, semua kawula kan berkata begitu, membenarkan.
     
     Oh ya, bukankah dia adalah kesayangan Jayanegara,
     sang maharaja?
Ya, itu berawal dari kisah penyembuhan penyakit misterius sang dara.
      
     Tentang Tanca, belum kau jawab pertanyaanku tadi?
Dia tabib terpandai di seluruh negeri.
Seluruh penyakit dapat dia obati.
     Itu telah kuketahui!
Satu lagi, baginya racun adalah kekasih hati.
    
     Hah, racun?
     Itu monster turun temurun,
     penyebab hidup berhenti mengalun.
Tak mempan padanya, walau muncul bejibun.
      
     Selanjutnya?
Naas baginya, dia mencintai kekasih para dewa,
diam-diam mengagumi dan memuja sang dara,
hingga akhirnya diketahui maharaja.
Dihadiahilah padanya sumpah serapah hina dina.

     Sungguh naas!
Iya, dan luka itu menimbulkan bekas.
Pembalasan kan dia retas,
karena dendam menuntut balas.
     Bukankah pada akhirnya para Rakrian berhasil ditebas?

Itu persoalan lain,
urusan Tanca bukan main-main.

     Dia ikut sang kakanda Kuti, kan?
Iya, dan sejarah menulisnya sebagai pemberontakan,
mereka menyebutnya sebagai perlawanan.
     Lalu, bagaimana dengan sang puteri kiriman khayangan,
     yang selalu ada dalam bayangan?
Bagaskara manjer kawuryan!
Itulah kirimannya untuk para pangeran,
disampaikan dengan gaya telik sandi dari kegelapan.

     Apa maksudnya?
Bahwasanya ada terang yang kan bercahaya,
selalulah berjaga-jaga.

     Dia mengkhianati Kuti?
Tidak! Dia sedang melindungi sang dewi,
pujaan hati.
Istana dan seisinya boleh hancur binasa oleh Kuti,
tapi sang dewi harus tetap berseri.
     Lho, bagaimana dengan dirinya sendiri?
     Bukankah pada akhirnya Kuti menolak berserah diri,
     kala tumbang panji-panji?
Jayanegara punya penyakit, sekarat hampir mati.
Tak ada satupun tabib yang mampu obati.
     Bagaimana mereka bisa percaya padanya, adiknya Kuti?
Dia disuruh meminum ramuannya sendiri.
Dilihat dia tak mati,
maka obatnya bisa dipercayai.

     Apa kandungan dari ramuannya?
Racun! Racun semuanya.
     Racun yang membantunya membalaskan dendamnya?
Racun, ya.
     Luar biasa!
     Monster turun temurun justru jadi media, 
     memenuhi asa.
Berbagi dan bersisianlah bersama racun, senantiasa.
Belajarlah dari Tanca!

*******

DC, 17/11/2011

Padi dan Ular Sawah!

Ini kukisahkan kehidupan sawah di pelosok negeri,
bagaimana kubisa tahu rahasia para petani
Perihal jalak yang rajin menemui kerbau,
dan pipit yang selalu riuh berkicau
Kuda yang bersahabat dengan anjing,
hidup pula lintah, jangkrik, dan kalajengking

Di awal, api membakar menyisakan unsur-unsur hara,
dan petani bersiap saat musim penghujan kan tiba
Di atas tanah yang kan diluku, dibajak
air kan diupayakan dalam jumlah banyak
Dan di kala rumput-rumput kan disiang,
anginlah yang kan meniup padi berkembang

Itu berlangsung 3 bulan lamanya setiap tahun,
Karena petani telah bersahabat dengan alam turun temurun

Tapi, hanya petani yang tahu rahasia ketika panen tiba,
itulah saatnya padi berpisah dengan kekasih hatinya
Padi diangkut pulang dengan tatapan syahdu ular sawah,
hendak ditahannya tapi tak bisa, namun dia tak kalah
Itulah sebabnya, ular sawah disayangi petani
setia menjaga sejak kemarau hingga musim semi

Kisah kasih padi dan ular menghasilkan karbohidrat,
singkat waktu bersua, tapi tahukah kalau mereka telah bersepakat
Walau cuma bakal bersama 3 bulan,
mereka kan selalu kembali bersua di awal musim penghujan
Memang tak ada yang peduli dengan itu,
tapi itu membuatku teringat sesuatu

*******

DC, 16/11/2011

Buat Sahabat Sejati dan Tuhan! (Imajinasi Menulis Iseng)

Sudah seminggu ini, aku mendadak rutin ke Gua Maria, setiap malam menjelang dini hari. Bukan untuk memperoleh kesucian diri, bukan! Apalagi, waktu-waktu sebelumnya hampir-hampir tak pernah ke sana, selain hari Minggu.
Aku lahir dari keluarga Katholik taat, dan tumbuh di tengah lingkungan Katholik yang kental, di pulau Flores, pulau yang mendapat julukan tak resmi sebagai "Vatikan Kedua", karena populasi Katholiknya yang hampir 100 % dan pencetak biarawan/i terbesar di dunia.

Pendidikan dasar kumulai dari sekolah dasar Katholik, walau akhirnya harus diselesaikan di sekolah dasar inpres. Pendidikan menengah pertama dan menengah atas pun kuhabiskan di seminari menengah, sebuah kawah  candradimuka, persemaian calon-calon Imam/Pastor yang siap diutus sebagai Misionaris ke segala penjuru dunia. Sejak usia 11-16 tahun, ku merelakan diri "dikarantina" di salah satu sekolah paling prestisius di Propinsi Nusa Tenggara Timur ini. Setahun hanya diberi 2 kali kesempatan bertemu dengan keluarga. Digembleng mandiri dan taat beragama. Hingga kini, aku tak yakin, apakah aku taat beragama atau tidak. Rutinitasku ke Gereja semata-mata mencari keheningan dan bertemu dengan sesama. Baru sesederhana itu kucoba terjemahkan bejibun dogma tentang agama dan Gereja.

Bermodalkan pengalaman itu, pada usia 17 tahun, aku memutuskan datang ke tanah Jawa. Aku memilih Surabaya, kota idolaku sejak aku mulai dengar kisah sejarah bangsa. Sejak zaman purba, penjajahan, dan zaman bergerak; Surabaya selalu menawarkan tantangan dan senantiasa menyuguhkan kisah-kisah kepahlawanan. Aku datang dengan cita-cita tinggi, sangat tinggi untuk ukuran pemuda pelosok negeri, sepertiku. Tak tanggung-tanggung, aku ingin menjadi pengacara beken sekaligus dosen. Karena keduanya bakal membuatku tetap menjadi manusia bebas, tanpa tersandera berbagai kepentingan pragmatis pihak lain. Yah, hidup harus punya-punya cita, agar tak mudah terseret-seret arus kehidupan. Kira-kira begitulah nasihat sahabat terbaikku sejak kecil, yang tak lain adalah Opa-ku.

Perihal cita-cita, untuk diketahui, pada tahun 1999, tepatnya tanggal 17 april, kalender di rumahku menampilkan kata-kata mutiara dari Bung Karno, "Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit". Itu hari ulang tahunku, dan kata-kata itu membekas dalam diriku hingga ku beranjak menjadi pemuda. Ketika membaca kata-kata itu, dengan keluguan seorang anak kecil, aku sontak mengatakan ingin menjadi seorang Uskup. Karena beberapa waktu sebelumnya, Mgr. Donatus Djagom SVD, Uskup keuskupan Agung Ende berkunjung ke paroki tempat kami tinggal, Paroki Hati Yesus Hati Maria Boanio. Aku melihat, semua umat juga pastor-pastor mencium tangannya dengan penuh hormat dan bangga. Kepolosan seorang anak kecil merekamnya.

Kala itu krisis ekonomi baru melanda seluruh pelosok negeri, perekonomian keluarga makin mebaik. Ibuku menanggapi cita-citaku dengan nada guyon ketika itu, "Kalau kau jadi Uskup, Wololele(bukan gunung berapi) bisa meletus". (Di kemudian hari, ketika aku berhasil menjadi seminaris, aku mengingatkan kembali mereka semua akan obrolan lama ini. Walau mungkin tak jadi Usup, tapi paling tidak, aku pernah berada di jalurnya). Tapi Ayahku yang selalu optimis dan tenang di segala situasi itu mengatakan bahwa tak ada yang tak mungkin. "Di atas langit masih ada langit, yang penting rajin belajar, pasti bisa lolos masuk seminari nanti". Ya, selain biayanya yang mahal, seminari dengan ketat "menuntut" kecerdasan dan budi yang perfect.

Kalau "hanya" sekedar urusan membaca dan menulis, menurutku, aku kayaknya tak kalah dengan anak-anak yang lain. Sejak usia 5 tahun, aku sudah bisa menuliskan huruf tali, dilatih oleh Ibuku yang dengan sabar mengulang-ulang 2 kata yang menjadi mantera belajar huruf tali, "naik halus turun kasar, naik halus turun kasar, dst". Di usia 5 tahun itu pula, aku sudah mulai bisa membaca dan mempersoalkan huruf "ɑ" yang sering kutulis, berbeda dengan huruf "a" yang ada di koran-koran atau buku-buku. Usia 6 tahun aku telah mempunyai New Testament sendiri, walau masih berbentuk Kitab Suci Anak-Anak, dan di usia 7 tahun aku telah berlangganan "Kunang-Kunang", majalah anak-anak yang sangat terkenal di daratan pulau Flores (mungkin juga NTT) ketika itu. Namun, itu semua tak serta merta membuatku menjadi taat beragama atau sangat beriman.

Hamparan latar belakang di atas, bukanlah faktor yang membuatku rajin ke Gua maria yang sudah berlangsung seminggu ini. Aku bahkan, tak jarang, sering menyangsikan adanya Tuhan. Aku selalu yakin dengan diriku sendiri, pada pikiranku sendiri. Tak pernah mau terlihat lemah di hadapan siapapun. Hingga sampailah akhir Oktober kemarin, Opa-ku yang adalah sahabat terbaikku sejak kecil itu, pergi menghadap sang khalik, pergi dari dunia bersatu dengan alam semesta. Aku tak bisa datang ke pemakamannya, dan sungguh menyisakan kegetiran yang luar biasa. Aku sungguh merasa kehilangan.

Akan tetapi, belum selesai kubereskan puing-puing kesedihan, datang sahabat sejati berharap memohon pamit. Itu sungguh tak menyenangkan, dan sangat menguras energi. Aku lelah, lelah, selelah-lelahnya. Bahkan mungkin juga sakit jiwa, karena beberapa kali hampir membulatkan tekad mengakhiri hidup ini. Sesuatu yang sangat dilarang dan dikatakan dosa besar, begitulah rekaman dogma yang masih terekam. Tetapi aku tak peduli dengan larangan ataupun dosa, sama sekali tak peduli. Kegelisahanku hanyalah bahwa aku belum lama hidup, belum pula menerjemahkan berbagai "cetak biru" di otakku ke dalam sesuatu yang nyata.

"Aku ingin pulang, aku lelah", begitu kataku pada Ibu-Bapak. Gurat-gurat ketuaan menyimpan kebijaksaan di sana atau mungkin mereka sudah rindu karena telah sekian tahun aku belum kembali, mereka dengan tenang menyanggupi permintaanku. Diceklah harga ticket pesawat Surabaya-Kupang-Ende, kurang lebih sekitar satu juta empat ratusan. Tetapi aku menjadi ragu untuk pulang, karena memang tak ada keperluan. Lagipula, harga ticket itu bisa kupakai buat beli HP BB, bukan? Begitulah, kala konsumtif, matematis, dan narsis bergumul. Ntahlah, mula-mula Jack Daniels, Vodka, dan jenis alkoholic lainnya yang dipakai tuk coba menemani malam-malamku. Lama kelamaan, itu tak mempan. Kegelisahan tetap menyergapku. Kala mengobati rasa rindu pada sahabat sejati, tak sengaja kulihat foto Gua Maria di folder HP-ku, yang pernah kurekam.

Jadilah rutinitasku kini, setiap malam menjelang dini hari, aku sendirian bersama patung Maria dan St. Antonius dari Padua, ditemani api lilin yang bercinta dengan angin malam. Biasanya tak lama aku berdoa, (mungkin) pula tak berdoa. Karena kala berdoa, selalu merasa ditelanjangi Tuhan. Toh, setiap apa yang ingin atau akan kita katakan telah diketahui semua oleh-Nya. Lalu, untuk apa kita ucapkan lagi, -memenuhi kewajiban sebagai wayang agar sesuai dengan naskah sutradara kah? Aku membutuhkan dialog, bukan hanya sekedar ucapan syukur dan permohonan yang keluar dari mulutku dan didengar sendiri oleh telingaku.

Namun, tak ada yang berdialog denganku di sana. Atau mungkin, hati dan pikiranku terlalu kafir dan tak pantas merasakan kehadiran atau mendengar suara dalam keheningan, karena sejauh yang kudengar, cuma gemericik air jualah yang bersuara. Engkau tak hadir di Gua, mungkinkah Tuhan sedang bersembunyi di facebook, menggunakan akun palsu dan berteman denganku, - maka bacalah pesanku ini Tuhan; 
"Aku lelah Tuhan. Kau telah ambil satu sahabat terbaikku tuk berpulang ke hadiratmu. Kini kembalikanlah sahabat sejatiku, jangan buat apinya padam atau ambillah nyawaku!"

******* 


Dante Che, 16/11/2011

Angin Pada Api!

Kau adalah api
Baramu terhempas tersembunyi
di kedalaman kerak bumi

Tersungkur, terjungkal kau mencari
Hingga lupa kalau ada matahari,
yang setia tegak berdiri,
Sejak pagi hingga senja hari

Ada tanya dalam diri
Matahari yang membuatmu jadi,
ataukah engkau pengkokoh sang mentari

Hingga sampailah pada awal musim itu,
masa awal januari

***

Aku adalah angin kecil, bayu
Mega-mega di angkasa adalah sahabatku
Kalau besar dan tak terkendali, bisa mencemarkan segala sesuatu

Tapi bukan itu yang kutuju
Aku belajar mengepalkan tinju

Ketika aku bertemu kau,
kala itu,
Baramu hampir menjadi abu

Sepoi-seoi ku meniupmu
Perlahan-lahan merah baramu
Menghajar gosong abumu

***

Lalu kita sadar tentang kekuatan kita
Angin kecil dan api yang masih sebesar bara
Kelak bisa menantang keangkuhan langit, suatu ketika

Kembali mendudukan matahari sebagai pusat tata surya
dan bumi sebagai habitat segala makhluk sebagaimana sedia kala

***

Kita memandangi laut lepas
Di sinilah bumi dan langit tak berbatas
Melalui laut, jalan kita retas

Laut dingin dan luas
Aku meniupmu agar tetap panas
dan kau membuatku tak kedinginan lemas

Kita menjalaninya dengan kasih yang saling berbalas
Tak ada kepalsuan, tulus ikhlas
Bulat tekad, kebatilan kan kita tebas

***

Kita telah melihat langit, angkuh nian
Kini pasir pantai mencium sampan
Kayuhmu telah menjadi patahan

Yang menjadi saksi arus laut, penumbuh kehidupan
di atasnya kita menimba pengalaman
kita sudah petik banyak pelajaran

***

Kini, kita memang harus turun
di bumilah kekuatan kan dihimpun

***

Gunung yang kekar,
yang pernah menghempaskanmu ke bumi luar
Kini mungkin memandangmu nanar
Baramu, kini telah mulai berpijar

Aku-pun bukan lagi angin kecil yang mencemar
Beberapa kali kau tatar,
aku telah banyak belajar
Aku kini makin besar

Tapi tanpa alasan, kau berniat membuatku liar
Kau mengusirku dengan gencar
Kau menganggapku hanya pantas di semak belukar
Traumamu pada bumi, seolah membuatmu lupa avatar

***

Tanpamu, aku bakal pelan-pelan terkulai
Tanpaku, baramu-pun bakal mati
Persekongkolan kita harus tetap berseri
Persekutuan kita harus punya rasa percaya diri

Ini bukan hanya sekedar kesetian pada janji,
atau pemaksaan kehendak diri,
tapi masa depan dan harga diri
Angin dan Api di bumi

***

Buatmu Api,
dari Angin yang selalu menanti!

***


DC, 15/11/2011

Pemahat, Paris, dan Arok (Sumbangan Buat Diriku)

Seingatku, di Seminari Menengah dahulu, aku pernah meminjam buku Existensial Metaphsychiatry  karya Thomas Hora di perpustakaan Seminari St. Yohanes Berchmans Todabelu-Mataloko, tempatku menempuh study, untuk mengerjakan tugas bulanan yang diwajibkan Romo Prefek (Bapa Asrama di Seminari Menengah), Romo Benedictus Lalo, Pr. Tugasnya adalah meringkas minimal 5 buku setiap bulan.

Salah satu cerita yang kuingat dari buku itu, Hora menulis tentang seorang pemahat yang bekerja keras dengan palu di tangan, menggarap sebongkah batu marmer yang sangat besar. Seorang anak kecil berdiri di dekatnya sambil melihatnya bekerja. Sang anak tak melihat apapun selain pecahan-pecahan batu marmer yang meloncat ke kiri dan ke kanan. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Beberapa minggu kemudian, ketika sang anak kembali ke tempat yang sama, ia terkejut, karena melihat patung seekor singa duduk di tempat yang dulunya ia melihat sebongkah marmer. Dengan rasa penuh keheranan, anak itu berlari menemui pemahat itu, dan bertanya, “Bapak, bagaimana mungkin bapak tahu bahwa di dalam bongkahan marmer itu ada singa?”

Demikianlah, seni memahat adalah seni melihat. Dalam sebongkah marmer, seorang Mikhael Angelo melihat seorang ibu yang dengan penuh kasih (sayang) memangku puteranya yang sudah tak bernyawa. Muncullah patung Pieta yang terkenal itu. Kemampuan seni adalah kemampuan melihat, dan praksis adalah jalan untuk memperlihatkan yang dilihat itu.

Akulah sang anak dalam kisah itu. Aku suka mengagumi kisah-kisah hebat dari para pendahulu, mulai dari Dante Alighieri, Cicero,  dan Lenin dari Eropa, Che Guevara dari Amerika (Latin), Nelson Mandela dari Afrika, serta Gandhi dan Soekarno dari Asia, dan masih banyak lagi orang-orang hebat yang kukagumi dan berulang-ulang kutelusuri hidupnya. Mereka adalah “pemahat-pemahat” di masanya. Mata mereka mampu melihat rintangan, kesulitan, maupun krisis sebagai hamparan peluang, sebagai titik lompatan menuju suatu bentuk yang lebih baik, lebih maju.

Dari kisah hidup mereka, seringkali heroisme-pun melandaku. Perpustakaan Seminari Menengah  tempatku belajar, adalah salah satu perpustakaan terbesar di propinsi Nusa Tenggara Timur. Aku lahap semua kisah mitologi,  epos-epos kuno, para penyair, hingga novel-novel cinta, di samping bacaan favoritku tentang kisah-kisah detektif, dan berbagai macam bacaan-bacaan lain yang disediakan perpustakaan itu.

Hingga kini, kisah yang paling membekas dalam diriku adalah kisah Troy. Dengan tokoh utama Paris. Hampir semua orang mengagumi sang pemberani, Achiles, putera Testis yang terkenal kebal itu, karena dimandikan di air ajaib pada masa kecilnya. Paris sendiri lahir sebagai putera raja, yang dititahkan harus dibuang (dibunuh) pada masa bayi karena diramalkan bakal membawa bencana. Dewa-dewa menghendaki lain, Paris tetap hidup, tumbuh-kembang di tengah hutan bersama binatang-binatang, alam raya adalah sahabatnya, sekaligus gurunya.

Pada suatu ketika, Juno, Minerva, dan Venus bertengkar tentang siapakah yang paling cantik di antara dewi-dewi Olympus. Lalu mereka bersepakat memberikan apel emas pada Paris, untuk menjadi juri penentuan dewi tercantik. Juno mengiminginya bakal menjadi manusia paling berkuasa di kaki Olympus, Minerva memberinya rayuan bakal menjadi manusia paling bijaksana, dan Venus menjanjikannya bakal memperisteri seorang wanita tercantik di dunia. Paris-pun memberikan apel emas itu pada Venus.

Matanya mungkin tak secemerlang para “pemahat” di atas, atau mungkin kekuatan dan kebijaksanaan telah ada padanya hingga ia berani memihak pada sang dewi cinta itu, yang artinya membangkitkan kemarahan Minerva dan Juno. Tetapi, pelajaran yang bisa dipetik adalah keteguhan hati dan konsistensi menjalani pilihannya dengan berani dan sadar, yang membuatku menjadikan Paris sebagai pahlawan masa remajaku. Ia berani membebaskan dan membawa Helena keluar dari kungkungan Menelaus, walaupun ia tahu Menelaus lebih kuat darinya, yang dilindungi Minerva dan Juno. Ia berani membayar dan menantang konsekuensi dari sebuah pilihan hidup.

Di akhir-akhir masa sekolahku di Seminari Menengah, secara samar-samar, aku membaca Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Arok seolah-olah memadukan Minerva, Juno, dan Venus dalam dirinya. Imajinasiku membayangkan keberanian dan kekeraskepalaan Paris berpadu dengan kecerdasan dan kecerdikan Arok yang luar biasa, maka Paris akan menjadikan Agamemnon sebagai Belakangka, Odiseus sebagai Gandring, Achiles sebagai Kebo Ijo, dan memperkuat Hector sebagai Tanca baginya, membangun dan menumbuhkembangkan kisah cintanya bersama Helena, sebagaimana Arok bersekutu dengan Dedes. Tetapi Paris lebih adil, tak seperti Arok yang menduakan Umang dan Dedes,  yang tanpa sadar justru membangun basis-basis kehancuran anak cucu di masa depan.

Akulah anak kecil dalam kisah itu. Kali ini aku tak lagi terheran-heran atau termenung-menung. Aku telah mempunyai rencana, akan menggoreskan kisah. Menjadi Paris yang memadukan Minerva, Juno, dan Venus dengan kecerdasan dan kecerdikan seperti Arok, dan hidup dalam kejernian memandang bagai sang Pemahat.


---Dante Che, 14/11/2011

BERDIALOG DI BAWAH TANAH (Cerita Bersambung-Kisah Fiksi)

Bagian 1


Jum’at, 7 Januari 2011

Jum’at kedua di tahun ini, kita pertama kali bersua, disaksikan si anak yang me’malak’mu. Kau memberiku buku dan roti donat, aku memberimu sebotol aqua, kau berbaju merah dan aku memakai baju putih, dan kita sama-sama mengenakan celana berwarna gelap kala itu. Dua insan penyuka buku, kau memberikan makanan dan aku memberikanmu minuman. Warna baju yang tak di-setting sebelumnya, seolah-olah memindahkan tiang bendera ke depan kampusku, berkibar-kibar disaksikan anak jalanan malang itu. Kita tak banyak bicara ketika itu, kau malu-malu, dan jujur aku agak gugup, seolah belum yakin kalau perempuan yang selama ini berdiskusi, berdebat, dan saling menukar cerita ini, kini tegak berdiri di hadapanku. Aku mendadak lupa kalau sebelumnya kau mengirimkan pesan singkat perihal adanya pentol yang kelihatannya patut dicoba dan kita bisa duduk-duduk di situ.

Tak seperti di dunia maya, aku tak banyak bicara ketika kau pamit untuk mengecek persiapan acara di tempat kerjamu, dan aku seolah-olah cuek, masuk ke dalam gerbang kampus. Namun belum pernah kuberitahu padamu sebelumnya, ketika si Merah-mu menderu meninggalkan kampusku, aku berlari-lari keluar, berdiri dan menatapmu sampai kau membelok di pertigaan jalan. Saat itulah bercampur-campur perasaanku. Antara senang, ragu, cemas, dan menyesal menjadi satu. Aku senang karena bersua denganmu, perempuan yang selama ini berkawan denganku dalam ruang imajinasi. Kini kau nyata, aku senang. Tetapi kemudian aku menjadi cemas, apakah kau juga senang ketika bertemu aku? Hingga membuatku ragu untuk mengirimkan sms padamu, walau hanya sekedar sms terima kasih dan hati-hati di jalan. Aku menjadi sangat menyesal, kenapa tadi tak mengajakmu duduk-duduk minum atau hanya sekedar sedikit bercakap-cakap .

Aku sudah hendak mengirimkan sms untukmu, ketika ada pesan masuk, “apakah kau kecewa telah bertemu aku?” Aku langsung membalasnya, “tak ada sedikitpun rasa kecewa, malah aku sangat senang dan bersyukur”. Kau Cuma membalas, ‘^_^’, yang kemudian kutanggapi dengan, ‘Oklah’. Tanda ‘^_^’ telah kita sepakati sebagai Demy’s style, dan kata ‘Oklah’ sebagai Usthon’s style. Kau bertanya padaku, “ tak apa-apa kah kalau aku datang lagi?” Yang kubalas, “setiap hari datang malah lebih bagus.” Kau cuma mengatakan, “semoga Jum’at depan dunia belum kiamat”, dan aku dengan pede  bilang,"Juma’at depan, depan, dan  depannya lagi, dstnya, dunia belumlah kiamat selama kita masih  bersama ^_^”.

Itulah perjumpaan pertama kita, setelah sebelumnya kita saling berkenalan lewat dunia maya. Kita bertukaran nomor kontak, saling berbalas pesan. Apapun yang aku alami atau rasakan, aku ceritakan padamu, begitu juga sebaliknya. Kita menjadi akrab, walau belum pernah bertemu. Semua hal kita jadikan sebagai bahan diskusi, dan hari-hari kita diisi dengan debat tentang apa saja. Kita seolah-olah berbeda pendapat, padahal kita sama-sama saling mengagumi. Kau mengagumi kecerdasan dan kekeras-kepalaanku, sedangkan aku mengagumi kebaikan budimu, kecerdasan, dan kecantikanmu yang berseri. Di atas semua itu, kita saling menghormati dan menghargai sebagai manusia. Kita sama-sama mencintai kesetaraan dan kebebasan. Kita sama-sama anti terhadap tirani, sinis, dan cenderung menertawakannya dalam obrolan-obrolan kita.

Kau perempuan aristokrat dari kalangan kelas atas, sedangkan aku borjuis kecil berlatar belakang kelas feodal di salah satu kota kecil di negeri kepulauan ini. Kita bersepakat untuk membuka batas yang mengungkung kita, kita menjadi kawan yang sama sekali tak peduli pada konstruksi sosial turun temurun. Perkawanan kita sungguh merdeka, hingga akhirnya berlanjut pada saling membutuhkan. Entah itu, hanya untuk sekedar mendengarkan kisah galau hati, pengalaman dan pandangan hidup, kegemaran, hingga pada tetek bengek urusan makan minum, dll. Sahabat sejati yang tadinya hanya lewat dunia maya, kini kita wujudkan dalam dunia nyata. Komunikasi kita menjadi rutin, saling mendukung dan berbagi. Aku teringat akan pandangan sendu matamu ketika di depan kampus. Intuisiku mengatakan, ada beban teramat berat tersimpan di sana. Dan untuk sesuatu alasan yang belum kuketahui, aku tak merelakan beban apapun  tersimpan di mata yang indah itu.

Jum’at, 14 Januari 2011
 
Ini Jum’at kedua kita bertemu, dan benar kataku, “selama kita bersama maka dunia tak akan kiamat”. Kali ini kau menungguku di warung soto dekat kostku. Ketika kudatang, kuajak kau ke warung lain yang udaranya lebih adem, agar kita tak keringatan karena udara yang sangat panas. Entah alasan apa, aku kembali memakai baju putih yang pernah kupakai ketika pertama kita berjumpa. Belum pernah kuberitahu pula, setiap kita janjian berjumpa, maka 2 hari sebelum kita bertemu, aku telah menyetrika bajuku. Entahlah, tak ada alasan untuk itu, karena hidup tak melulu menuntut rasionalisasi, ada hal-hal yang tak diungkapkan tetapi kepekaan mampu menangkap dan merasakannya.

Hari itu warungnya ramai, dan kita mengambil tempat duduk di pojok. Mula-mula kau menceriterakan tentang pengalamanmu ketika menantang tirani Orde Baru di bawah panji-panji Merah, juga kekecewaanmu pada Merah yang kini telah pudar itu. Dan dalam pengalaman sejarah, hampir semua merah selalu pudar pada akhirnya. Aku menikmati ceritamu, dan semakin mengagumimu yang pernah membaktikan masa muda, masa menempuh ilmu di bangku kuliah, untuk turun ke jalan memblejeti rezim tirani fasis-militeristik.

Semangatku yang berapi-api mengkritik polamu dan kawan-kawanmu ketika itu yang hanya memblejeti rezim tanpa memblejeti sistem, langsung luruh ketika kau melanjutkan cerita hidupmu. Dibui, kemudian ditebus, hingga akhirnya menikah dengan ‘sang penebus’. Sampai sekarang hidup sebagai alat pertautan segala kepentingan. Sungguh suatu kisah yang mengingatkanku pada Ontosoroh dalam Tetralogi Pramoedya atau Dedes dalam kisah Arok Dedes karya Pramoedya. Serentak aku berpikiran untuk menjadi seperti Minke atau Arok, sebagai teman berbagi, teman bersekongkol, agar kau keluar dari situasi itu.

Kita tak lama duduk-duduk di situ, karena kau pamit pulang. “Masih ada urusan lain”, katamu. Tetapi, pertemuan kedua ini sungguh-sungguh menghentakanku. Selama ini aku berpikiran bahwa persoalan ketidakadilan dalam masyrakat hanya melulu soal klas-klas sosial yang berkontradiksi dalam masyarakat.  Aku tak menyangka bahwa perempuan dari kelas atas sepertimu pun bisa mengalami ketidakadilan dalam rumah tangga. Sampai kini aku masih belum mampu menerima kisahmu itu. Aku merasa, mereka adalah musuh-musuhku juga, “aku akan menghadapi mereka suatu saat nanti”, batinku dalam hati, dan itu janji yang kupegang hingga kini, sampai kapanpun.

Ketika si Merah-mu jalan, akupun pulang sambil menenteng spagheti buatanmu. Lidahku merasakan nikmatnya, tetapi pikiranku berkobar-kobar tekad. Ada rindu dan dendam di sana. Ada ketakrelaan, dan itu terbawa-bawa dalam aktivitasku, hingga akhirnya aku minta kau datang lagi.

Jum’ad, 21 Januari 2011

Kali ini kau menungguku di depan kampusku, bersama blus legendaris putihmu, dan aku memakai baju merah. Demi membayar taruhan sepak bola padaku, kau menjebak para pengawal yang setia membuntutimu. Kita pakai sepeda motor, ke tempat siap saji yang baru didirikan. Tak banyak yang kita obrolkan, tetapi hari itu, matamu semakin terlihat sendu. Kau baru pulang pendalaman rohani, dan itu sangat menyiksamu. Aku seperti biasa, selalu tak habis pikir mendengar kisah-kisah tragis yang menimpamu. Tetapi aku bukan kasihan atau iba, bukan! Aku turut merasakan apa yang kau rasakan, dan aku ingin kau membagi bebanmu padaku, hingga suatu saat nanti, bersama, kita singkirkan beban-beban itu. Aku tak peduli, siapapun yang bakal dihadapi, kita harus melawan, bersisian dan berbagi.

Setelah kau pulang hari itu, makin mantap keyakinanku untuk berbagi denganmu. Dan ternyata itu tak bertepuk sebelah tangan, kaupun tak berkeberatan untuk membangun relasi khusus denganku. Relasi yang kita namakan, relasi kemanusiaan. Hari-hari selanjutnya, kita terus membangun komunikasi, dan membuka batas. Kita telah menjadi pasangan kekasih, yang setara dan merdeka, selalu ada ketika salah satu membutuhkan, selalu berbagi dan bersisian. Kaulah cinta pertamaku!

Rabu, 26 Januari 2011
 
Setelah hari-hari yang selalu kita lalui bersama, inilah kali pertama kita berjumpa bukan di hari Jum’ad. Hari itu kau datang membawa beberapa buku dan makanan. Kita berkeliling-keliling menggunakan sepeda motor, city tour, begitu kita menyebutnya. Aku turut berbahagia kala dalam perjalanan kau merentangkan tangan bagai burung yang terbang bebas di udara. Aku semakin bertekad untuk takkan meninggalkanmu. Kita berdiskusi, bersekutu, dan bersekongkol untuk bertemu lagi, saling membagi kebahagiaan dan semangat. Seperti bunyi pesan singkat Usthon di 2 januari 2011 pada Demy;

“Perasaan cinta seseorang tidak bisa diukur dari seberapa indah dia berkata, seberapa romantis dia berperilaku, seberapa sering dia telepon atau sms kamu, tetapi dari seberapa lama dia bertahan dengan kekuranganmu dan seberapa dalam dia menghormati dan menghargaimu sebagai seorang manusia. Apapun yang terjadi, kita harus tetap semangat dan yakin menjalani!”

(Bersambung...)



---Dante Che, 13/11/2011

Ekaristi dan Hidup (Renungan Untuk Diriku Sendiri)

Moliere dalam karyanya yang berjudul Le Misanthrope mengisahkan kebencian seorang tokoh, Alceste, terhadap apa yang disebut “kemunafikan”. Saking radikalnya Alceste, sampai-sampai ia memutuskan untuk hengkang dari dunia, yang olehnya dipandang sebagai “tempat penuh kemunafikan”. Ekstrim! Itulah yang dikisahkan Moliere.

Le Misanthrope, ternyata mengharuskan kita untuk bermenung sedikit banyak tentang ziarah kita dalam kenyataan eksistensial terhadap Ekaristi. Tentang kemunafikan yang kini merasuk dalam diri kita dan menjadi sesuatu yang esensial bagi orang-orang beriman. Kemunafikan dalam Ekaristi menjalar sedemikian rupa sehingga perayaan yang menjadi puncak hidup kita yang sebenarnya ini menjadi tidak bermakna lagi. Ia menjadi hanya sekedar warisan ritual seremonial belaka tanpa praksis-praksis nyata dalam kehidupan berkomunitas. Kemunafikan dengan perlahan tetapi pasti mendapat tempat non formal yang utuh dalam tata perayaan Ekaristi.

Dalam penampilan kita yang “sok” alim dan “kalem”, -dalam wajah-wajah polos nan lugu (ngantuk?) manakala merayakan Ekaristi. Belum lagi lagu yang di’ombeng-ombeng’, plus pikiran yang melayang-layang, yang menghantar kita untuk melanjutkan aktivitas tidur, sesungguhnya menunjukkan bahwa kita telah munafik. Rupanya prinsip-prinsip komunalitas telah meredam keseriusan dan keaktifan kita dalam merayakan Ekaristi, apalagi mengamalkannya. Karena, pada hakekatnya,  Ekaristi yang kita rayakan sebagai perayaan memang diadakan untuk menambah rasa hormat dan syukur kepada sang Pencipta (alam semesta) secara pribadi, walaupun dalam pelaksanaannya dirayakan secara bersama-sama. Namun, di sinilah kita dihadapkan pada ketimpangan hidup yang dihamparkan realitas obyektif, dan menuntut peran kritis profetis Ekaristi untuk menjawabnya.

Kita mesti sadar (bukan karena terpaksa) bahwa Ekaristi adalah perjamuan yang meneguhkan,- yang membawa banyak makna buat kita. Kita mesti terima (tidak karena takut) bahwa Ekaristi selalu penting bagi ziarah hidup kita. Kita hadir (bukan?) atas sebuah keterpaksaan. Kita hadir, karena iman kita; karena sikap “menerima” yang harus (terpaksa?) ada di dalam hati. Dalam ekaristi tidak dibutuhkan sikap hormat yang bergetar, yang takjub. Cukuplah kalau kita sadar bahwa Ekaristi  dihidupkan oleh kita dan Ekaristi membawa sebuah katarsis secara personal. Ada sesuatu yang butuh untuk dipenuhi, diisi, dan diperbaharui dalam hati kita. Lalu apa?

Akankah kita memilih menjadi seperti Alceste yang harus melarikan diri dari bumi dan tidak berani menatap(menjawab) realitas obyektif yang ada? Ataukah kita dengan besar hati berani menatap kesalahan kita, mengakuinya lalu merubahnya? Dalam keberanian, kita mesti sadar bahwa Ekaristi bukan sekedar cahaya lilin, bukan sekedar nyanyian, atau ledakan emosi, lebih lagi; bukan sekedar ritus turun temurun. Akan tetapi sebuah getaran kedalaman batin yang mengharapkan kehadiran “Sang Ada”.

Seorang Pastor, tokoh sandiwara Henrik Ibsen, pernah dengan putus asa berteriak ke arah langit, “jika tidak dengan kemauan, bagaimana manusia bisa ditebus?” dan dari langit datang suara, “Tuhan Maharahim, Tuhan Maharahim!

Selamat ber-Gereja bagi yang ke Gereja, selamat berhari Minggu untuk semua!


---Dante Che, 13/11/2011

Catatan dari Aksi Peringatan 83 Tahun Sumpah Pemuda di Grahadi-Surabaya (28/10/2011)

Sekitar pkl. 13.15 WIB, massa aksi PPRI (Persatuan Pergerakan Rakyat Indonesia) mulai berkumpul semuanya di Monumen Kapal Selam (Monkasel), yang disepakati sebagai lokasi polling aksi. Begitu pula kawan-kawan APB (Aliansi Perjuangan Buruh) dari Mojokerto yang datang bersolidaritas dalam aksi ini, sambil menunggu kedatangan kawan-kawan lainnya yang masih dalam perjalanan.  Sekitar pukul 13.30, Korlap (Koordinator Lapangan) dan Wakorlap (Wakil Koordinator Lapangan) mulai memberikan aba-aba persiapan kepada massa aksi PPRI dan APB. Yang bertindak sebagai Korlap adalah Hancel 'Che' dari organ PEMBEBASAN, dan Iwan Dharmawan dari organ KAMUS PR sebagai Wakorlap. Aksi ini juga dipimpin oleh Herry Subagyo, koordinator dari APB.

Berdiri paling depan adalah pemegang boneka (replika) pocong yang ditempelkan wajah SBY. Barisan pertama massa aksi diisi oleh kawan-kawan pemegang spanduk bertuliskan, "Hentikan Neoliberalisme, Turunkan SBY-Boediono!"Lima langkah di belakang spanduk, diisi oleh kawan-kawan perempuan, kawan-kawan pemegang bendera, dan kawan-kawan pemegang poster yang berisi tuntutan, antara lain; "Dukung Papua Sebagai Bangsa Yang Bermartabat", "Nasionalisasi Aset-Aset Asing Di Bawah Kontrol Rakyat", "Cabut Undang-Undang Kepemudaan", "Perempuan Keluar Rumah, Bangun Organisasi dan Pergerakan untuk Kesetaraan dan Kesejahteraan", "Cabut Undang-Undang Penanaman Modal Asing", "Musuh Rakyat; Imperialisme, Pemerintahan Boneka Imperialisme(SBY-Boediono), Sisa-Sisa Orde Baru, Reformis Gadungan, dan Milisi Sipil Reaksioner", dan masih banyak lagi poster lainnya. Barisan selanjutnya diisi oleh massa aksi yang dengan sangat bersemangat menantang terik panasnya Surabaya dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan meneriakan yel-yel perlawanan.

Aksi dimulai dengan pekik Sumpah Rakyat Indonesia yang dipandu oleh Wakorlap, dan selanjutnya yel-yel yang dipandu oleh kawan Herry. Sekitar pkl. 13.35, massa aksi mulai bergerak ke arah titik aksi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Rally menuju Grahadi diisi dengan orasi-orasi, lagu-lagu perjuangan, yel-yel, yang makin semarak dengan atraksi-atraksi dari kawan Kariono Penceng dan Ferdy, yang berjingkrak-jingkrak membakar semangat massa aksi, yang dengan riang gembira bergerak maju. Aksi yang sangat bersemangat dan menghibur ini, sama sekali tak menunjukkan kesan subversif atau makar. Sebaliknya, pihak kepolisian mengawal ketat massa aksi mulai dari Monkasel, pun ketika di perempatan air mancur, saat Korlap mengatur kembali barisan, karena akan segera memasuki lokasi aksi, Grahadi.  Kepolisian telah ratusan (mungkin) ribuan personel polisi, Brimob, Polisi Anti Huru-Hara, Water Canon, Gas Air Mata, Mobil Pengangkut Kawat Berduri, dll.  Surabaya dalam keadaan, seolah-olah siap perang.

PPRI dan APB, paling awal memasuki lokasi aksi, sekitar pkl 14.00, yang langsung disambut dengan kepungan Polisi Anti Huru Hara. Sekali lagi Iwan memandu pekik ikrar Sumpah Rakyat Indonesia dan Herry membakar semangat massa aksi dengan yel-yel SBY-Boediono agen Imperialis, dan nyanyian-nyanyian perlawanan yang dipimpin Penceng. Hancel menjelaskan bahwa SBY-Boediono dan elit-elit yang saat ini membagi-bagikan roti kekuasaan sudah cacat sejak kemunculannya, karena sama-sama menghamba kepada modal asing dan korporasi-korporasi multinasional, seperti freeport, newmont, exxon mobile, dll. Lalu dilanjutkan dengan merapikan dan merapatkan kembali barisan, dan selanjutnya, pada kesempatan pertama, Korlap mempersilahkan perwakilan dari APB untuk menyampaikan orasi politiknya.

Dalam orasinya, perwakilan dari APB menilai bahwa rezim pemerintahan SBY-Boediono adalah rezim yang sangat berpihak pada kebijakan asing, menjual aset-aset nasional pada asing, penggusuran, represifitas-militeristik, pelanggaran HAM di Papua dan daerah-daerah lain, yang kesemuanya bermuara pada satu kesimpulan bahwa SBY-Boediono telah gagal mensejahterakan rakyat, sehingga harus turun dari jabatannya, juga elit-elit yang ada saat ini, kita tak boleh meletakan harapan pada mereka, karena sama seperti SBY, elit-elit ini juga patuh dan tunduk pada kebijakan asing. Setelah orasi dari APB, pihak kepolisian meminta massa aksi mundur 5 langkah, agar menghindari kemacetan. Korlap menyanggupinya, dengan menyerukan pada massa aksi untuk mundur 5 langkah, tetapi polisi tetap mengepung massa aksi dengan jarak tak sampai selangkah.

Selanjutnya, Korlap memberikan kesempatan orasi kepada perwakilan dari mahasiswa universitas 45, kawan Ferdy. Dalam orasinya, Ferdy menyatakan bahwa SBY-Boediono telah gagal dan tak ada alasan untuk tak diturunkan. Dengan gaya khasnya sepanjang aksi, sambil meloncat-loncat, dia memimpin yel-yel "SBY turun, SBY turun", agar peserta aksi tetap semangat. Sebelum menutup orasinya, dia mengatakan bahwa; "kita tak boleh mundur, kita harus maju, tak boleh takut dengan anjing-anjing penjaga modal".

Saat itu, belum ada komite aksi lain yang memasuki Grahadi, dan di sisi lain, polisi terus merangsek maju. Untuk menghindari bentrokan dengan aparat, Korlap menyerukan pada massa aksi untuk mundur selangkah, dan polisipun maju selangkah ke arah massa aksi. Hingga kemudian, sekali lagi Korlap menyerukan untuk mundur selangkah lagi, yang artinya massa aksi telah mundur sampai trotoar, tetapi polisi terus maju dan bahkan merampas boneka (replika) pocong bergambar SBY, yang memantik kemarahan massa aksi, sehingga terjadilah bentrokan dengan polisi. Saat itu Korlap sempat menyerukan pada Ibu Kasat untuk menyuruh pasukannya mundur, agar penyampaian aspirasi-aspirasi bisa kembali dilanjutkan. Massa aksi yang pada dasarnya tak anarkis, kembali tenang setalh polisi kembali mundur, dan melanjutkan kembali orasi-orasi secara bergantian.

Kawan Kojex dari FPK (Front Pemuda Kerakyatan) Madiun menjelaskan tentang gagalnya sistem kapitalisme yang dianut oleh rezim SBY-Boediono, gagalnya SBY-Boediono dan elit-elit politik dalam memimpin bangsa ini, dan pentingnya persatuan rakyat,  juga mekanisme persuasif dan regulasi-regulasi yang harusnya dimengerti dan ditaati oleh aparat kepolisian dalam mengawal aksi penyampaian aspirasi dan kebebasan berpendapat di muka umum.
Perwakilan LDF IAIN juga menilai rezim SBY-Boediono harus turun dari kekuasaannya, karena telah terbukti gagal melindungi rakyat. Sedangkan perwakilan dari HMI menilai bahwa SBY-Boediono dan aparat militer tak berani melawan dominasi asing, dan hanya berani melawan rakyatnya sendiri.
Arsil Apal, perwakilan dari GMPU (Gerakan Mahasiswa Peduli UWKS), menyatakan bahwa rezim SBY-Boediono tak ubahnya dengan rezim orde baru Soeharto yang suka menembaki rakyatnya sendiri, seperti penembakan buruh di freeport, dan di daerah-daerah lainnya.

Stefany, dari Perempuan Mahardhika menjelaskan bahwa SBY-Boediono adalah pelayan setia modal asing, yang tunduk pada sistem kapitalisme-neoliberal, SBY-Boediono adalah rezim yang tidak berpihak pada rakyat miskin dan kaum perempuan. Selanjutnya Fendy, perwakilan dari PEMBEBASAN, mencatat ada 32 kegagalan rezim SBY-Boediono, di antaranya; tak bisa melindungi sumber daya alam Indonesia, masih setia pada sistem kapitalisme, dll, sehingga SBY-Boediono harus turun dari kekuasaannya, dan persatuan rakyatlah yang harus mengambilalih kekuasaan itu, bukan elit-elit pengabdi modal asing itu.

Penceng, perwakilan SeBUMI, mengatakan bahwa SBY-Boediono dan elit-elit yang berada di balik gedung-gedung kekuasaan itu tak bisa kita harapakan. "Mereka adalah anjing tai kuda", begitu teriaknya lantang, yang langsung disambut dengan teriakan bersemangat massa aksi, "Hidup Penceng, Turunkan SBY-Boediono!"Tidak lupa Penceng menambahakan bahwa Pakde Karwo (Gubernur Jatim,- Red),  juga harus turun dari jabatannya, karena suka melakukan penggusuran dan penggarukan, serta tak mampu menyelesaikan kasus Lapindo Sidoarjo.Perwakilan dari PMII pun mengamini bahwa selain SBY-Boediono yang menjadi musuh rakyat Indonesia, musuh rakyat rakyat Jawa Timur pada khususnya adalah Pakde Karwo. "Musuh nomor 1 adalah SBY, dan Pakde Karwo adalah musuh nomor 2", tegasnya.
Dalam orasi selanjutnya, perwakilan dari HMI juga mendukung tuntutan mundurnya SBY-Boediono yang dinilai sudah gagal mengemban amanah rakyat.

Saat itu, beberapa komite aksi lain mulai memasuki lokasi Grahadi, dan mereka mengambil tempat di as jalan. Hal ini membuat massa aksi mempertanyakan kebijakan polisi yang dianggap diskriminatif. Korlap pun menyiasati hal ini dengan mengatur ulang barisan yang telah berada di trotoar, dan memindahkan barisan kembali ke as jalan, tepat di samping massa aksi dari BEM, dan melanjutkan dengan teatrikal menginjak-injak dan meludahi foto SBY, sebagai simbol tak adanya kedaulatan, mudah diatur-atur,  dan dijajah oleh kebijakan-kebijakan asing. Sampai dengan saat itu, polisi masih tenang-tenang saja, dan bahkan terlihat kalau beberapa di antara mereka sebenarnya menikmati rangkaian aksi ini. Bahkan seorang polisi sempat berbisik pada Korlap, "ah, kamu itu serius amat". Si polisi ini, belakangan baru diketahui ternyata bernama Endi K. Dan dilanjutkan dengan orasi politik dari perwakilan BEM UNTAG, yang menjelaskan bahwa selama ada penindasan, maka selama itu pula kita akan terus meuntut tirani siapapun dia, untuk turun dari kekuasaannya. "SBY-Boediono harus turun dari jabatannya", begitu pekiknya mengakhiri orasinya.

Situasi berubah ketika massa aksi dari BEM, yang barisannya tepat di samping barisan massa aksi PPRI dan APB, membakar foto SBY-Boediono, yang kemudian direspon polisi dengan pentungan dan gas air mata yang membuat semua barisan  kocar-kacir. Setelah gas air mata mulai reda, polisi justru memprovokasi massa aksi PPRI dan APB yang saat itu sedang mendengarkan orasi politik dari perwakilan KAMUS PR. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Coki Manurung (Kapolrestabes) memberikan aba-aba penyerangan terhadap massa aksi PPRI dan APB, yang kemudian polisi mengejar dan mengepung massa aksi PPRI dan APB di taman Apsari. Kebrutalan aparat tersebut, mengakibatkan Okky Navianto, mengalami patah tulang rusuk, yang ternyata penendangnya adalah aparat bernama Endi K, dan 4 kawan lainnya luka-luka. Ketika massa aksi hendak membawa kawan-kawan yang cedera, Polisi Anti Huru-Hara dan Brimob justru menghalang-halangi, dan bahkan berusaha "mengamankan" (menangkap) massa aksi, serta merebut poster-poster dan spanduk yang berisi tuntutan aksi.

Dalam kepungan aparat di taman Apsari, PPRI dan APB mengadakan konferensi pers. Kepada wartawan, Harrys dari PPRI dengan lantang mengatakan bahwa represifitas aparat ini semakin membuktikan bahwa SBY-Boediono adalah orde baru jilid 2. "Tak berani melawan Malaysia yang mencaplok wilayah Indonesia, hanya berani melawan rakyatnya sendiri", begitu katanya, sambil menunjuk ke arah Brimob dan Polisi Anti Huru-Hara.Sedangkan Siswanto dari APB, dengan tegas mengutuk cara-cara militerisme rezim kapitalis SBY-Boediono. "Penyampaian pendapat di muka umum, itu sudah diatur di dalam undang-undang. Polisi harus persuasif", tandasnya.Hasil rapat singkat di taman Apsari, massa aksi sepakat untuk menjenguk kawan-kawan yang dirawat di RSUD dr. Soetomo, melakukan konferensi pers, dan berencana ke Polrestabes untuk menuntut pertanggungjawaban. Setelah itu, massa aksi membubarkan diri setelah sekali lagi mengikrarkan Sumpah Rakyat Indonesia;

kami rakyat Indonesia, mengaku bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan, 
kami rakyat Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan,
kami rakyat Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan!


Dante Che, 29/10/2011

OSPEK: SELAMAT DATANG KAWAN-KAWAN MAHASISWA ANGKATAN 2011/2012

Orientasi pengenalan kampus, yang selanjutnya disingkat jadi Ospek, sederhananya adalah proses awal memahami hakekat sebagai mahasiswa, mengenal kampusnya, masyarakatnya, bangsanya dan negaranya. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan kebenaran yang terwujud dalam pengabdian kepada kemanusiaan dan klas tertindas-lah yang seharusnya mendapat tempat utama.

Ospek bukanlah pelestarian budaya senioritas, budaya patronase, atau seragam-isasi celana hitam baju putih sepatu fantovel, dan pernak-pernik yang sebenarnya adalah iklan produk tertentu. Sehingga, mahasiswa baru tak perlu menghabis-habiskan uangnya hanya untuk membeli pernak-pernik unik seperti itu.

Ospek haruslah bersifat dialogis dan partisipatoris. Artinya, mahasiswa baru tidak ditempatkan sebagai kumpulan orang-orang yang harus tunduk manut pada perintah “senior-seniornya”. Dialogis artinya, Ospek lebih menitikberatkan pada hal-hal yang lebih substansial, dengan mengedepankan dialog, diskusi, atau perdebatan mengenai realitas obyektif yang ada. Partisipatoris artinya, Ospek bukan hanya milik panitia, tetapi pelibatan semua unsur-unsur mahasiswa yang berada di luar lingkaran kepanitiaan.

Untuk Ospek UWKS kali ini, ada beberapa hal yang menarik, karena diselimuti beberapa momentum penting, misalnya; sudah adanya pemerintahan mahasiswa tingkat universitas setelah pernah setahun lowong(walaupun pro-kontra seputar pemilihannya masih menjadi polemik dan masih akan digugat), wacana-wacana seputar PR3 yang tidak berkapasitas dan harus diturunkan(digantikan), juga ada momentum Hari Tani 24 September 2011. Reformasi yang sudah berusia 13 tahun, ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan kaum tani yang ada di pedesaan, kaum buruh dan kaum miskin perkotaan, pendidikan dan kesehatan gratis tinggal hanya dongengan indah, bagai bianglala setelah hujan panas; bisa dilihat, tak bisa  diraih.

Masyarakat yang sudah terlanjur dijejali dengan mimpi-mimpi akan kemerdekaan dan kesejahteraan dari belenggu tirani, namun tak juga lekas terwujud dalam kenyataan; itu menimbulkan keresahan yang teramat besar. Mahasiswa yang dahulunya bergandengan tangan dengan masyarakat tertindas melawan tirani fasis-militeristik orde baru, justru menyerahkan kekuasaan ke tangan reformis-reformis gadungan, ke tangan sisa-sisa orde baru, ke tangan komprador-komprador(agen,calo) modal asing. Mahasiswa jadi lebih asyik masyuk di balik dinding-tembok kampus, data-data ketimpangan, pengangguran, dan kemiskinan sekedar dijadikan sebagai statistikdalam seminar dan diskusi, dan bagai pandita negeri; hanya selalu diselimuti harapan dan cacian terhadap elit partai-partai politik busuk dan rezim agen modal asing yang berkuasa saat ini.   

Tak cukup dengan hanya memaki-maki sistem dan elit-elit, tak cukup dengan hanya mencibir pejuang-pejuang(aktifis-aktifis) yang sudah berkooperasi dan terkooptasi elit-elit. Sudahkah kita beragitasi, sudahkah kita berpropoganda, sudahkah kita membuat kelompok diskusi pada setiap disiplin ilmu yang kita tempuh saat ini?

Tahukah kita kalau Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Teknik Informatika belum terakreditasi, tahukah kita tentang indikasi adanya pungutan liar(pungli) dalam penerimaan mahasiswa baru kali ini; khususnya pada Fakultas Bahasa dan Science juga pada Fakultas Hukum, dengan dalih mempertahankan akreditasi.

Kita harus berterima kasih pada sekumpulan mahasiswa progresif yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Peduli UWKS (GMPU). Dari merekalah, mata kita terbuka dan melihat adanya problematika di kampus kita, masyarakat kita, bangsa dan negara kita.


Tugas kita-lah untuk menjadi intelektual progresif, menjadi intelektual organik; intelektual yang mampu mengaplikasikan teori menjadi praksis nyata dan mengabdikannya pada kemanusiaan dan klas tertindas.
Semoga Ospek UWKS kali ini mampu memberikan jawaban –jawaban dari berbagai pertanyaan di atas.

Tabik!

                                                                                                                                                                  Dante Che