Jumat, 26 Agustus 2011

Kemerdekaan dan Korupsi!



Korupsi lahir dari rahim tirani
Berurat berakar dalam selubung-selubung demokrasi
Termanifestasi dalam diri para politisi
Dari lingkaran aristokrasi dan oligarki

Setiap hari kita lihat di televisi
Semua mengklaim memakai hati nurani
Memaki-maki pelaku sodomi
Mengutuk pengumbar air mani

Cobalah membaca koran dengan teliti
Berita-berita telah menjadi komoditi
Tak ada pendidikan politik apalagi ideologi
Menganggap wajar kita sebagai bangsa kuli

66 tahun sudah Republik ini berdiri
Sisa-sisa usia muda masih terpatri
Batu dan kerikil tertatih diarungi
Jurang-jurang curam dalam senja suram menanti

Oh tirani,
Kau kulum senyum dan lambaian tangan laksana orang suci
Sambil tanganmu yang lain kau sumbat mulut rakyat dan hati nurani
Dengan memberangus aspirasi

66 tahun sudah, hidup sebagai suatu negeri
Pemimpin memberi makan dengan janji-janji
Rakyat miskin selalu dikibuli
Janji hanya tinggal janji, tak ditepati

Maka, untuk para seniman dan seniwati
Untuk apa tulis puisi
Kalau tetap membiarkan korupsi
Dan tunduk pada tirani borjuasi

Pena adalah pedang sekaligus perisai
Meninju dan menggedor tembok tirani
Demi menjadi bangsa yang mandiri
Bukan kuli di antara bangsa-bangsa, kuli di antara negeri-negeri!

Dirgahayu RI ke-66, semoga menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri!


[ DC ]
                                                                                                                                                 

__________________________________________________

                                                                 
16 Agustus 2011 , ditulis dalam keadaan ngantuk, tanpa rokok dan kopi!

Eliminasi Huruf

Abjad yang digunakan di dalam bahasa Indonesia berjumlah 26. Ke-26 abjad tersebut rasanya masih terlalu banyak, dan lagipula ada beberapa abjad yang jarang sekali digunakan.

Oleh karena itu mari kita sederhanakan abjad-abjad tersebut dan menyesuaikan dengan kata-kata yang kita gunakan.

Pertama-tama, huruf X, kita ganti dengangabungan huruf K dan S.
Kebetulan hampir tidak ada kata dalam bahasa Indonesia asli yang
menggunakan huruf ini, kebanyakan
merupakan kata serapan dari bahasa
asing. Misalnya taxi menjadi taksi,
maximal menjadi maksimal, dst.

Selanjutnya, huruf Q kita ganti dengan
KW. Serupa dengan X, kata2 yang
mengunakan huruf ini juga sangat sedikit
sekali.

Berikutnya, huruf Z. Huruf Z kita ganti
menjadi C. Tidak ada alasan
kuat tentang hal ini.

Huruf Y diganti dengan I. Hal ini
dilakukan sebab bunii huruf tersebut
mirip dengan I.

Kemudian huruf F dan V keduania diganti
menjadi P. Pada lepel ini
masih belum terjadi perubahan iang
signipikan.

Hurup W kemudian diganti menjadi hurup
U. Berarti sampai saat ini kita
sudah mengeliminasi 7 hurup.

Hurup iang bisa kita eliminasi lagi
adalah R, mengingat baniak orang
iang kesulitan meniebutkan hurup
tersebut. R kita ganti dengan L.

Selanjutnia, gabungan hulup KH diganti
menjadi H.

Iang paling belpengaluh adalah hulup S
iang diganti menjadi C.

Hulup G juga diganti menjadi K.

Dan hulup J juga diganti menjadi C.

Caia laca cudah cukup untuk hulup-hulup
konconannia. Cekalank kita
kanti hulup pokalnia.

Cuma ada lima hulup pokal, A, I , U, E, O.

Kita akan eliminaci dua hulup pokal.
Hulup I mencadi dua hulup E iaitu
EE. Cementala hulup U mencadee dua hulup
O iaitoo OO.

Cadi, campe cekalank, keeta belhaceel
menkoolangee hooloop-hooloop
keeta. Kalaoo keeta tooleeckan lagee,
hooloop-hooloop eeang telceeca
adalah:

A, B, C, D, E, H, K, L, M, N, O, P, T.

Haneea ada 12 belac hooloop!! Looal
beeaca bookan?? Padahal
cebeloomneea keeta pooneea 26 hooloop.

Eenee adalah penemooan eeang cankat penteenk dan cikneepeekan! !

Co, ceelahkan keeleemkan tooleecan anda denkan menkkoonakan dooa belac hooloop telceboot. Cape de...

Anekdot Segar Gus Dur

Bertahun-tahun, saya heran kenapa sih Indonesia “Tidak maju-maju” meski mereka sudah merdeka 60 tahun lebih. Tapi sekarang, saya sudah tahu alasannya. Berdasarkan data statistik: Jumlah penduduk Indonesia ada 225 juta. 100 juta di antaranya adalah para pensiunan dan anak-anak. Jadi yang kerja cuma 125 juta. Jumlah pelajar dan mahasiswa adalah 78 juta. Jadi tinggal 47 orang yang kerja. Yang kerja buat pemerintah pusat jadi pegawai negeri ada 31 juta, jadi tinggal 16 juta yang kerja (karena PNS cuma main catur dan baca koran). Ada 4,5 juta yang jadi TNI dan Polisi. Jadi tinggal 11,5 juta yang kerja (karena TNI dan Polisi tidak ada kerjaan). Ada lagi yang kerja di pemerintahan daerah dan departemen-departemen lain jumlahnya 10.500.000. Jadi sisanya tinggal 1.000.000. Yang sakit dan dirawat di Rumah Sakit di seluruh Indonesia ada 888.000. Jadi sisa 112.000 orang saja yang kerja. Ada 111.998 orang yang di penjara. Jadi tinggal sisa dua orang saja yang masih bisa kerja. Siapa mereka??? Ya, tentu saja SAYA dan ANDA! Tapi kan sekarang ANDA lagi asyik baca ini sambil cekikak-cekikik sendiri. Jadi tinggal saya sendiri dong yang kerja!!!! Pantes aja kalau begini, Indonesia tidak maju-maju..:)

Tentang Pendidikan Nasional*

• Mukaddimah

Manusia, memiliki kemampuan untuk mengembangkan hal-hal baru dalam kehidupannya. Menciptakan alat-alat kerja dan memperbaharuinya secara terus menerus dengan modal ilmu pengetahuan. Manusia, berkat kemampuannya bergagasan pulalah ia sanggup untuk mempertahankan hidup. Karena, ’Naluri utama seorang manusia adalah bertahan hidup’. Sedangkan, untuk bertahan hidup, manusia memiliki dua kebutuhan hidup (primer dan sekunder). Kebutuhan hidup yang primer menurut Marx adalah: kebutuhan yang materiil (makan, minum, berproduksi). Sedangkan kebutuhan sekundernya (spirituil) adalah kebutuhan agar manusia mendapatkan ketenangan jiwa, agar manusia menjadi baik (memberikan kebaikan pada tiap manusia), jujur, bertanggung jawab dan berdisiplin. Untuk memenuhi kebutuhan materiil tadi (makan, minum, berproduksi), manusisa butuh yang namanya KERJA. Baik itu KERJA PRODUKSI maupun KERJA SOSIAL. KERJA SOSIAL itu sendiri adalah kerja secara kognitif (kesadaran). Makna KERJA adalah merubah sesuatu hal menjadi hal yang berbeda/baru dari sebelumnya. Salah satu kerja sosial yang akan kita bahas di sini adalah kerja yang dapat merubah kondisi masyarakat menjadi yang lebih baru (lebih baik/bermartabat). Contoh kerja sosial adalah, merubah manusia sakit menjadi sehat, tidak mengerti menjadi mengerti, tidak berilmu pengetahuan menjadi berilmu pengetahuan, ”bodoh” menjadi pandai. Tidak berpendidikan menjadi berpendidikan.

• Tentang filsafat pendidikan

Belajar tentang hakikat pendidikan yang dikemukakan oleh seorang teoritikus Marxist dari Brasil, yaitu Paulo Freire yang tenar dengan karyanya di bidang filsafat pendidikan berjudul Pedagogy Of The Opressed. Dalam karyanya, Freire menjelaskan bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Berangkat dari pandangan filsafatnya mengenai pendidikan, ia mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan manusia itu sendiri, pengenalan yang obyektif dan subyektif, sekaligus. Kesadaran subyektif dan keadaan/realitas obyektif haruslah menjadi satu fungsi dialektik untuk memahami dunia dan kontradiksinya (tertindas dan penindas), hal tersebut harus dipahami oleh manusia (peserta didik).

Menurutnya, ada tiga unsur yang terlibat dalam dunia pendidikan. Yaitu:
1. Pengajar
2. Pelajar atau peserta didik
3. Realitas dunia

Oleh Freire, ketiga hal tersebut diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, subyek yang sadar (cognitive): Pengajar dan Pelajar/peserta didik. Sedangkan yang kedua adalah obyek yang harus disadari (cognizible): Realitas dunia. Hubungan berkesinambungan (dialektik) seperti di atas itulah yang—menurut Freire—tidak pernah kita jumpai dalam pendidikan ”mapan” a-la borjuis sekarang ini. Sistem pendidikan yang ada hanyalah semata-mata menjadikan anak didik sebagai obyek deposito dan akan diambil keahliannya, dimanfaatkan ilmunya, kemudian diharapkan sanggup untuk melipatgandakan modal yang sudah dikeluarkan oleh orangtua, guru, dan, paling utama adalah agar dapat menunjang kelangsungan mekanisme produksi yang memiliki perspektif kapitalis. Jadi—menurut Freire—anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga pendidikan ”mapan” milik penguasa/pemodal, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Pada akhirnya, peserta didik tak memiliki perspektif lain selain yang diajarkan oleh guru lewat kurikulum kapitalis, peserta didik menjadi tak berkesadaran (revolusioner). Dan yang paling parah adalah, peserta didik tidak diajarkan menjadi bagian dalam realitas dunia yang, ternyata sangat kontradiktif (tertindas dan penindas), bahkan malah diperspektifkan menurut kelas kapitalis yang dominan dan menindas kelas mayoritas (proletar).

Itulah kenapa Marx mengelompokkan mahasiswa sebagai borjuis kecil, dimana dalam pengelompokan filsafat kelasnya, ia masuk dalam kelompok non-fundamental, artinya, bisa saja dia menjadi penindas baru, bisa juga dia berbalik menjadi pembela kaum buruh, menjadi motor penggerak perjuangan kelas, tinggal bagaimana syarat-syarat materialnya (mahasiswa/pelajar) untuk menjadi bagian dari perjuangan kelas proletar diberikan oleh organisasi/kolektif, selain juga memang karena kehendak dirinya untuk berkesadaran kelas proletar. Dialektika obyektif dan subyektif.

• Pendidikan di Indonesia lahir dari eropa (bumerang politik etis), sama halnya dengan kebangkitan nasionalisme Indonesia, lahir dari—kata Pram—ibu kandung eropanya. Sama seperti tentara, lahir dari fasisme Jepang dan Kolonialisme Belanda

Kebangkrutan negri-negri eropa akibat perang antara negri kapitalis dan krisis ekonomi memaksa Belanda melakukan perluasan pasar untuk menyelamatkan negrinya, dengan memakai politik dagang berwatak monopolistik. Perkembangan tehnologi (terutama perkapalan) di Eropa Selatan memberikan basis/landasan bagi negri kapitalis untuk melakukan ekspansi dagang mencari daerah-daerah kekuasaan baru. Selain kebangkrutannya karena peperangan (antar negri kapitalis), Belanda juga mendapati kendala pemberontakan-pemberontakan di Hindia Belanda, yang juga menguras banyak biaya. Maka, agar tak mengeluarkan banyak biaya dan jatuhnya korban di pihak tentara Belanda, merekapun memakai legiun-legiun (tentara) dari Jawa (Surakarta dan Jogjakarta) untuk dikirimkan ke daerah-daerah yang memberontak tersebut. Licik!! Memakai tentara pribumi untuk mematahkan perlawanan daerah pribumi yang lain. Beberapa daerah yang menolak dan memberontak terhadap pendudukan Belanda antara lain adalah Denpasar, Lombok, Aceh, mereka melakukan perlawanan sengit, tapi masih mudah ditumpas oleh Belanda karena perlawanannya yang sangat sporadis, selain memang kerajaan-kerajaan di Nusantara sering dilanda perpecahan dan perang saudara akibat intrik dan perebutan kekuasaan (konflik internal kerajaan).

Datanglah raksasa dagang, dengan tehnologinya yang sudah maju (perkapalan, persenjataan, tehnik administrasi) ke negri-negri jajahan, termasuk Indonesia, lewat VOC yang berkarakter monopolistik (monopoli produksi, perdagangan dan keuangan). Proyek-proyek raksasa pembangunan infrastruktur yang diagendakan oleh kolonial Belanda secara besar-besaran mengorbankan darah rakyat, kerja rodi tanpa bayaran dan tak manusiawi diberlakukan oleh Belanda lewat komando Daendels, seorang pengagum Napoleon Bonaparte yang menjajah negrinya sendiri, Belanda. Dengan gagahnya, Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan (dari ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur pulau Jawa) melintas-membentang, membelah pulau Jawa. Sekarang, Jawa telah disatukan dalam kekuatan kolonial, jalur distribusi modal menderap semakin deras, menumpuklah kapital Belanda.

Pada pertengahan abad 19, awan di langit eropa berselimut sorak-sorai kemenangan borjuasi atas tumbangnya monarki absolut. Perancis yang mengawalinya, kemudian, atmosfer perlawanan penumbangan kerajaan (feodalisme) terbawa angin ke seluruh eropa. Situasi ekonomi-politik mulai mengalami pergeseran besar-besaran, dan merombak tatanan masyarakatnya. Kekuatan kapital dagang swasta (borjuasi) semakin mendapatkan momentumnya untuk berkembang lebih besar setelah mereka sukses menggantikan monarki absolut menjadi monarki parlementer, diterapkan dalam sistem yang mereka buat, kapitalisme. Mereka sudah enggan diatur oleh negara (kerajaan, saat itu), borjuasi menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya. Sudah tak ada lagi monopoli produksi, dagang dan keuangan (dalam masyarakat industri), semua harus dibebaskan dalam persaingan. Arus liberalisasi/swastanisasi adalah ”manisnya” buah kemenangan borjuasi yang baru tumbuh-kembang, meskipun dalam revolusinya, mereka memanfaatkan kekuatan proletar, kemudian mengkhianatinya. Angin perubahan ternyata berdampak pada koloni Belanda yang ada di Indonesia. Setelah dihentikannya tanam paksa pada 1870, Belanda kelimpungan dalam menghadapi problem rendahnya tenaga produktif rakyat Hindia Belanda waktu itu. Pribumi banyak yang buta huruf, alpa tehnologi, miskin pengetahuan.

Maka, saat itulah, guna mempercepat akumulasi kapital, (dengan kedok politik etis—”balas budi” atas penghisapan dan kerja paksa) dibangun sekolah-sekolah untuk mengisi kekurangan tenaga ahli penggerak sistem kapitalisme, agar produktifitas meningkat, agar tenaga kerja pribumi bersentuhan dengan tehnologi (meskipun penerimaan siswanya sangat diskriminatif). Berdirilah sekolah-sekolah. Tapi, yang dibangun pertama kali adalah sekolah militer di Semarang pada tahun 1819—di sini dapat terlihat jelas bahwa kapitalisme sangat militeristik—baru kemudian dibuka sekolah-sekolah umum: Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852). Dalam sekolah-sekolah tersebut, yang bisa masuk dan menikmatinya hanyalah anak-anak dari para priyayi/para pejabat pribumi antek Belanda dan tentunya untuk anak-anak Belanda sendiri. Selain sekolah tinggi, dibangun juga sekolah dasar pada 24 Februari 1817. Bersamaan dengan derasnya arus liberalisasi di Hindia Belanda, maka dikeluarkan UU Pendidikan pertama, yang diarahkan untuk kepentingan Bumiputra dengan perspektif Belanda.

Politik etis (edukasi), adalah politik yang menyerang balik orang tua kandungnya sendiri, eropa. Dibangunnya sekolah-sekolah di Hindia Belanda menyedot beberapa anak bangsawan pribumi/priyayi. Mereka mulai belajar tentang teori-teori, ilmu pengetahuan, mereka juga mulai mengenal tentang perjuangan membela bangsa sendiri dari jajahan, dikenalkan pula mereka (pribumi) yang bersekolah dengan tulis menulis/jurnalistik/pers dan organisasi sebagai alat perjuangan. Wacana-wacana dari eropa yang dibawa oleh para guru memberikan pasokan ilmu pengetahuan yang sama sekali baru. Lambat laun, dari berita-berita perkembangan dunia (saat itu) yang mereka terima, maka tumbuhlah nasionalisme yang berkobar dalam dadanya, menghentak kesadaran, memang masih redup apinya, kemudian perlahan tersadar bahwa mereka sedang dijajah. Sedangkan, di Eropa sendiri, gerakan revolusioner (komunisme) semakin menguat menjadi lawan politik-ideologi dari kapitalisme. Gerakannnya semakin membesar dan menjadi signifikan dalam perpolitikan Eropa. Ketika itu, gerakan yang sedang tumbuh tersebut (di Eropa termasuk Belanda) merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab politik untuk membebaskan negri-negri yang dijajah oleh kerajaan Belanda waktu itu. Sehingga, dalam tiap aksi dan diplomasi politik, mereka (gerakan kiri revolusioner) menyerukan agar membebaskan Indonesia dan negri jajahan lainnya dari koloni negri imprealis. Tuntutannya adalah agar memberikan hak kemerdekaan pada negri jajahan (negri yang dijajah).

Kemudian, beberapa tokoh muda muncul beserta dengan organisasi yang mereka bentuk. Sebut saja: Djokomono Tirto Adhi Suryo, Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, Tan Malaka, dll. Mereka adalah beberapa tokoh muda yang (secara signifikan) mendapatkan ilmu pengetahuannya dari sekolah-sekolah yang dibentuk oleh Belanda, dari kebijakan politik etis. Tak bisa terhindarkan lagi, gerakan rakyat menentang kolonialisme semakin terus meluas dan membesar, metode-metode aksi massa-pun mereka kenal, semisal vergaadering. Mereka juga mengenal yang namanya perjuangan lewat pers (propaganda luas lewat tulisan), sebut saja koran harian Medan Prijaji yang menjadi corong bagi pengetahuan pribumi.

• Peran pendidikan dan gerakan mahasiswa setelah Revolusi 45 (revolusinya borjuis cacat)

Lahirlah penguasa baru dalam negri. Mereka mengklaim bahwa inilah kemerdekaan. Garis ideologinya secara signifikan terpengaruh oleh komunisme China dan Rusia (Soviet), selain memang masih kental corak nasionalisme sisa-sisa bingkisan dari politik etisnya Daendels (Belanda). Pedang pusaka nasionalisme tersebut juga pernah bersinggungan langsung dalam memperjuangkan kemerdekaan, lepas dari fasisme Jepang. Selain karena gigihnya rakyat mengusir Jepang—saudara Asianya—tapi, suka atau tidak suka, Amerika juga ikut berperan, hingga menyebabkan Jepang berpaling dari Indonesia ketika Hiroshima dan Nagasakinya diremuk redamkan oleh bom atomnya Amerika.

Sebenarnya, aku tidak bisa begitu banyak melihat secara detail bagaimana sistem pendidikan (formal) waktu itu (paska revolusi 45). Tapi, dalam wilayah non formal, pendidikan/pelajaran tentang bagaimana mahasiswa dan rakyat harus berperan dalam meninggikan produktifitas pengetahuannya, mengeksplorasi potensi diri dan memajukan kapasitas, kebanyakan didapat dari organisasi-organisasi kerakyatan revolusioner. Dan kenyataannya, organisasi-organisasi mahasiswa (dan sektor lain) saat itu berkembang begitu marak dan banyak. Mereka memiliki latar belakang ideologi yang berbeda-beda, dan berafiliasi dengan partai politik yang berbeda-beda pula.

Pendidikan politik revolusioner seringkali dipasokkan oleh organisasi yang berwatak kerakyatan. Misal saja, organisasi kebudayaan bernama LEKRA, mereka dengan keseniannya selalu memberikan tontonan dan sajian menarik dalam mengajarkan semangat anti imperialisme. Agitasi-Propagandanya gencar dan selalu saja mudah diterima dan dipahami oleh rakyat yang ketika itu sedang belajar untuk mengembangkan kebudayaannya sendiri menjadi seni/budaya yang tak terpisah dengan rakyat. Ajaran-ajaran revolusi tersemat dalam tiap pagelaran karya. Agitasi untuk mewujudkan budaya melawan, budaya anti kontradiksi, budaya belajar, budaya disiplin sampai pada budaya “moral komunis”.

Pendidikan semacam itu juga yang tidak akan pernah didapatkan dalam dunia pendidikan formal sekarang ini. Seperti yang diungkapkan Freire bahwa, tidak ada dilaektika antara pengajar, peserta didik dan realitas dunia. Nah, di sinilah realitas dunia dapat dipelajari, dalam organisasi kerakyatan. Pelajaran yang tidak akan pernah didapatkan dalam pendidikan formal (borjuis). Bayangkan, jika saja tiap tahun, satu universitas me-wisuda 1000 peserta didiknya, dari 1000 peserta didik tersebut, ada berapa orang yang masuk dalam organisasi revolusioner (aktif mengorganisir revolusi)? Sangat sedikit. Artinya, borjuasi telah sukses meloloskan orok borjuisnya, sedangkan, sudah berapa gelintir mahasiswa revolusioner yang sukses kita jaring dari 1000 lulusan borjuasi tersebut? Suatu saat, perhitungan statistika tersebut menarik untuk dibuat oleh kita. Makna dari perbandingan statistika tersebut berarti bahwa, masih sangat sedikit mahasiswa yang belajar di organisasi (revolusioner), yang mengenal realitas dunia, yang mampu keluar dari hegemoni (dominasi ide) kapitalisme.

• Represifitas dunia pendidikan oleh orba (NKK/BKK)

Babak baru (masa suram yang gelap) sistem demokrasi Indonesia, menandai dekadensi besar-besaran tenaga produktif rakyat. Setelah patahnya komunisme di Indonesia yang dimulai tahun 1965, perombakan secara menyeluruh sistem okonomi-politik dilakukan oleh rezim militer, penguasa baru tersebut. Kediktaturan mengacaukan segalanya. Gerakan rakyat yang sudah bergeliat dihancurkan, organisasi revolusioner dibubarkan, orang-orangnya ditumpas mati (di Jawa dan Bali banyak yang dipotong kepalanya). Tak hanya organisasi dan orang-orangnya yang ditumpas, tapi kebudayaannya, kesadarannya, sejarahnya dihancurkan, faktanya diputarbalikkan. Soeharto sukses melakukan operasi pembersihan unsur komunis. Saking suksesnya, kediktaturan militer Augusto Hose Ramon Pinochet Ugarte yang memimpin Chili dari 1973-1990 terinspirasi oleh Soeharto, hingga menamai operasinya menumpas unsur revolusioner di Chili dengan nama ’The Jakarta Operation’/Operasi Jakarta. 3.200 orang sosialis mati, 80.000 diasingkan, 30.000 disiksa. Dan akhirnya ”sukses” dengan kudetanya (yang dibantu CIA) terhadap Presiden Salvador Allende yang sosialis.

Anak-anak mahasiswa yang lolos dari pembantaian orde baru, yang bisa lari ke luar negri, sepulangnya ke Indonesia membawa ajaran-ajaran baru dari Ibu Eropanya: Kiri baru (New Left), Neo-Marxist, Sosial-Demokrasi dari barat, kemudian membangun LSM-LSM berorientasi reformis. Begitu kondisinya. Ketika itu pula, kiri/Marxist/anti kapitalisme diidentikkan dengan sesuatu yang menakutkan, segala tindak kejahatan diasosiasikan sebagai komunis. Bahkan ditanamkan dalam benak sanubari rakyat, dalam kesadaran bahwa komunis/kiri itu jahat-kejam-tak manusiawi, anggapan-anggapan tersebut dibakukan lewat kurikulum pelajaran dari SD hingga kuliah, dimana-mana, di tiap pidato-pidato RT, di TV, radio, majalah, koran, dll. Pencitraan negatif tersebut berhasil membuat efek traumatik rakyat terhadap ajaran komunis/Marxis. Muncullah pelarangan ajaran Marxis-Leninis lewat instrumen hukum berupa Tap MPRS No. 25 tahun 1966.

Dunia pendidikan tak luput juga dari proyek pembersihan unsur-unsur revolusioner. Setelah sukses menumpas gerakan mahasiswa yang berideologi Marxist, kini giliran rezim mengatur dan memasukkan mahasiswa ke dalam kandang-kandang intelektualitas formal. Belajar tentang teori-teori akademik sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing tanpa boleh ikut campur urusan perpolitikan pemerintahan, tak boleh ada gerakan massa, protes-protes, kritik dibungkam. Dibuatkan pula aturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) tahun 1978 oleh Daoed Joesoef. Bahkan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah semakin memperketat ruang ekspresi politik mahasiswa. Mahasiswa dikoridorkan jalur politiknya melalui wadah bentukan rezim berupa Senat Mahasiswa, BEM, dll, di luar lembaga tersebut dianggap terlarang. Pada saat yang hampir bersamaan, diberlakukanlah Sistem Kredit Semester (SKS) sehingga mahasiswa harus dipacu untuk segera menyelesaikan matakuliah yang sudah dijatah dalam tiap semesternya, tak ada lagi waktu luang untuk bisa melakukan aktifitas lain. Makin jauh saja dari realitas kesadaran objektif, kenyataan dunia.

• Orientasi pendidikan yang kapitalistik dan represif (UU BHP pengganti, UU Sisdiknas, DO, Skorsing, absensi 85 persen, dll)

Privatisasi (terutama dalam dunia pendidikan) ternyata sudah ada sejak tahun 1999 dengan adanya perubahan status perguruan tinggi negri menjadi BHMN lewat Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Pada awalnya terdapat 4 kampus percobaan yaitu: UI, UGM, ITB, dan IPB. Kemudian pada tahun 2000, bertambah lagi yaitu: UPI Bandung, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Diponegoro (Undip), dan Universitas Sumatra Utara (USU). Tentunya bagi kampus-kampus lain hanya akan menunggu giliran saja untuk dijadikan lahan bisnis tanpa memperhatikan kualitas dan sistem pendidikannya (kurĂ­kulum). BHP saat ini adalah nama lain dari privatisasi dengan menggunakan konsep Nirlaba, dan beralasan membendung komersialisasi/kapitalisasi pendidikan. Tapi kenyataannya tak sesuai rencana. Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 76 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing. Dalam perpres itu dengan jelas dinyatakan bahwa penanaman modal asing diperbolehkan sampai sebesar 40% bagi sektor pendidikan. Maka, konsep nirlaba yang terdapat di RUU BHP (saat itu masih Rancangan), tak lebih sebagai kepura-puraan agar terlihat ’demokratis’ dan ’melindungi’ pendidikan nasional. Selain itu, ada juga instrumen hukum yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan RPP tentang Pendidikan Dasar & Menengah, dimana kesemua produk hukum tersebut merupakan paksaan yang harus dibuat untuk memuluskan jalannya kepentingan neoliberal. Pemerintah abai terhadap rakyat, pemerintah tidak patuh terhadap paraturan diatasnya, melanggar UUD 45 yang mengharuskan rakyatnya mengenyam pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Mari kita lihat pasal dan bunyinya :
UUD 1945 setelah diamandemen, mengatakan : Pada Pasal 31 Ayat (2), "Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Kemudian ditegaskan lagi pada : Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".

Pada awal diberlakukannya BHMN tahun 1999 perkiraan kenaikan biaya kuliah mencapai 300 hingga 400 persen. Di Universitas Indonesia (UI), uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp. 5 Juta s/d Rp. 25 juta, sedangkan untuk Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta s/d Rp. 75 Juta. Untuk Institut Tekhnologi Bandung (ITB) dikenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik mencapai Rp. 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Begitu juga Universitas Gajah Mada (UGM), memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp. 20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Di atas adalah secuil kenyataan dari bobroknya pemerintahan Indonesia yang berada di jalur ekonomi neoliberal.

Janji yang diberikan pemerintah tentang alokasi APBN untuk anggaran pendidikan minimal 20 persen tak kunjung ditepati, rakyat masih banyak yang tidak bersekolah, kebodohan meluas, rakyat masih tidak berani menuntut, kalah. Pada tahun 2007 terdapat kesepakatan antara Pemerintah dan DPR tentang dana anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun (hanya 10,3 persen dari total APBN), angka itu sedikit naik dari tahun 2006 yang sebesar Rp. 36,7 trilyun (9,1 persen dari total APBN). Sepanjang tahun 2006 s/d 2009 alokasi anggaran pendidikan sebesar 210 trilyun, dimana angka tersebut jauh labih sedikit dibanding beban pembayaran utang luar negri. Alokasi pembayaran bunga utang dalam negri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga utang luar negri Rp. 25,14 trilyun, cicilan pokok utang luar negri sebesar Rp. 46,84 trilyun. Jika ditotal, maka pembayaran utang luar negri telah menghabiskan 25,10 persen dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, yang berarti juga memboroskan pendapatan negara sebesar 29,33 persen.

Data yang dikeluarkan oleh Human Development Index (HDI)/Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-111. Kemudian seperti misalnya kemampuan membaca, laporan yang dikeluarkan UNDP pada Human Development Report 2005, Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan peringkat tersebut justru semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99. Lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004. Nasib tragis menghampiri negri ini. Gawat!

Angka-angka di atas adalah angka tanpa harapan bagi kemajuan kualitas pendidikan Indonesia. Seharusnya tidak begitu keadaannya pendidikan kita jika diingat bahwa letak geografis Indonesia sangat menguntungkan bagi kemakmuran rakyatnya, karena kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa kaya. Lihat saja pendapatan dari berbagai industri pertambangan asing di Indonesia seperti Exxon Mobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka US$ 40,6 Miliar atau Rp. 3.723 trilyun serta Chevron di tahun 2007 mampu memperoleh keuntungan sampai US$ 18,7 Miliar atau Rp. 171 trilyun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3 persen. Tidak seharusnya negri ini miskin, karena sama sekali tidak memiliki alasan untuk itu.

Sekarang ini, berkat gerakan rakyat pada ’98, demokrasi sudah berhasil dibuka jalannya (meskipun belum sejati). Memang sudah banyak organisasi mahasiswa yang tumbuh, demonstrasi dibolehkan asalkan sesuai kriteria hukum (tentunya masih abstrak ’kesesuaiannya’) meskipun banyak yang sering direpresi aparat. Dalam situasi demokrasi liberal saat ini, rezim neoliberal lebih memilih jalur-jalur administrasi hukum untuk mengendalikan suasana nyaman berinvestasi. Maka dibuatkanlah banyak UU oleh pemerintah sebagai kepanjangan tangan neoliberal dalam bisnis pendidikan. Muncul yang namanya UU Sisdiknas, UU BHP—ataupun yang menggantikannya kelak—, Perpres Nomor 76 dan 77. Masuk lebih dalam lagi adalah aturan-aturan birokrasi kampus yang mengatur kendali gerak mahasiswa dengan cara penerapan DO, Skorsing, dan absensi 85 persen. Ini bisa dikatakan sebagai landasan pemberlakuan NKK/BKK gaya baru. Ya, rezim ini adalah replikanya orba. Kalau dahulu, zaman orba, penggusuran tidak dibutkan undang-undang, tapi dengan kekuatan senjata bersenjata. Sekarang, penggusuran dilegalkan oleh hukum negara (Perpres 36/2005). Luar biasa.

Secara struktural, intervensi modal asing dalam dunia pendidikan sangat nyata bisa kita lihat. Kerangka struktural kampus dalam mekanisme badan hukum pendidikan dibuat sedemikian rupa agar melibatkan aktor-aktor modal dan pemerintah. Misal di UGM, dalam hirarki strukturalnya ada yang namanya Majelis Wali Amanat (MWA), itu adalah struktur di atas rektorat, isinya adalah para elite dan menteri dan penguasa daerah. Hal tersebut bemakna agar mekanisme neoliberal berjalan sesuai adanya tanpa hambatan. Belum lagi dengan adanya badan bernama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang kerjaannya adalah melakukan standarisasi kualitas pendidikan tinggi di universitas-universitas, padahal, dengan adanya kapitalisasi pendidikan ternyata tak meninggikan kualitas pendidikan, malah menyebabkan kampus menjadi mahal, dan realitanya tak sebanding dengan ketersediaan fasilitas yang modern dan bertehnologi tinggi. Karena kampus mahal, maka rakyat miskin tak sanggup untuk bersekolah, menyebabkan semakin hancur tenaga produktif masyarakat.

• Hegemoni kesadaran (palsu) lewat dunia pendidikan

Begitu terus dan seterusnya. Isi kepala mahasiswa dijejali dengan doktrin ideologi melalui instrumen pendidikan. Kurikulumnya, arah akademiknya, teori-teorinya, dll dikanalkan menuju satu muara, yaitu rimba kesadaran kapitalisme. Makin individualis, makin jauh dan samasekali jauh dengan realitas objektif dunia. Makin terasing dalam kesenangan-kesenangan dan kesadaran palsu. Kapitalisme sukses merancang bagaimana mekanisme ideologi tersebar luas dengan efektif (baca: hegemoni) melalui media pendidikan sekolah/kampus. Hingga, keluar sedikit saja dari bangunan ide-ide kapitalisme merupakan sebuah kesalahan besar dan dianggap tidak wajar, dll. Lagi-lagi perempuan yang paling tidak diuntungkan dengan situasi tersebut. Pendidikan formal maupun non-formal borjuasi juga menyumbangkan pengawetan terhadap patriarki (penindasan perempuan). Kapitalisme tak pernah tulus memajukan produktifitas perempuan. Dalam dunia pendidikan, kapitalisme seolah-olah sudah ”membela” perempuan dengan mewacanakan istilah ”wanita karir”. Bagi perempuan terpelajar yang telah lulus dari bangku kuliah, diorientasikan berbondong-bondong membantu memutarkan baling-baling industri (kantoran dan lapangan), tapi dengan upah yang sangat tak sebanding dengan keuntungan majikan. Belum lagi masalah kurikulum pendidikan yang tidak setara, dll dan banyak lagi.

• Bagaimana pendidikan di negara sosialis (Kuba dan Venezuela)

Hal yang paling mendasar dari pembangunan kualitas tenaga produktif adalah memajukan kualitas pendidikan dan kesehatan manusianya (sebagai tenaga penggerak). Pendidikan dan kesehatan manusia adalah suatu modal dasar (human capital) pembangun, penggerak revolusi. Maka, seharusnya pendidikan adalah hal yang paling mendasar untuk dipenuhi kualitasnya dan diberikan semaksimal mungkin kepada rakyat secara massal dan gratis. Tapi oleh kapitalisme, yang diutamakan adalah pemenuhan modal keuangan dimana tenaga manusianya dipekerjakan––tanpa menilai kapasitas manusia tersebut––untuk mendongkrak laba produksi. Ujung-ujungnya adalah rendahnya upah buruh, peraturan yang tak memihak buruh, hak-hak fundamental buruh tak terpenuhi.

Di Kuba, negrinya makmur. Sejak 54 tahun lalu (1 Januari 1956), dengan dukungan 82 pejuang yang dilatih Alberto Bayo (bekas kolonel tentara Spanyol), Fidel Castro mampu menggulingkan rezim kediktatoran Fulgencio Batista yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1956 dan Batista kemudian melarikan diri pada 1 Januari 1959. Di negri makmur tersebut, terdapat 97 persen penduduknya (usia di atas 15 tahun) bisa membaca dan menulis. Dan sekarang 0 persen buta huruf. Dalam proses belajar-mengajarnya, perbandingannya adalah dua puluh murid satu guru, untuk sekolah dasar. Untuk menengah, satu guru lima belas murid. Mereka juga menerapkan prinsip “pendidikan kaum tertindas”nya Freire dengan memberikan metode dialogis antara pengajar-murid-orang tua. Hubungan ketiga unsur tersebut dikelola secara kolektif dalam makna mendekatkan secara psikologis. Hal seperti itu, di Indonesia memang sudah dipraktikkan di beberapa sekolah yang bertaraf internasional, yang biayanya selangit. Hubungan-hubungan dalam civitas akademik merupakan hubungan yang berlandaskan pada nilai nilai tinggi tentang solidaritas antar kelas, penghargaan kepada lingkungan hidup dan prinsip kemandirian, turunan ajaran dari sosok Ernesto Che Guevara. Situasi tersebutlah yang memunculkan nilai baik dari hubungan guru dan murid, yang berlangsung intensif.

Di Kuba maupun Venezuela bisa dibilang sangat terjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk dyang terlibat dalam dunia pendidikan. Tanggal 14 Mei 2009 menyatakan, pemerintah Venezuela menetetapkan 30 persen kenaikan gaji dan menambah tingkat pendapatan bagi sekitar setengah juta guru yang masih aktif maupun yang sudah pensiun . Menurut Menteri Pendidikan Hector Navarro: guru-guru sekolah umum Venezuela sekarang memperoleh lebih dari 700% dari apa yang mereka telah peroleh sepuluh tahun yang lalu, ketika Presiden Hugo Chávez pertama kali terpilih. Guru di Venezuela memiliki kesejahteraan yang sangat mencukupi dalam hal gaji dan juga kemampuan berorganisasi dan pengetahuan politik. Tidak hanya itu, pemerintah Venezuela juga memberikan jaminan transportasi, kesehatan bagi guru-guru yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, dan juga memberikan cuti hamil.

• Jalan keluar bagi pendidikan gratis

Dalam statua Universitas Gajah Mada tahun 1951 telah dijelaskan tentang tujuan UGM yaitu ”menyokong sosialisme pendidikan”, tapi oleh orde baru, pasal tentang ”menyokong sosialisme pendidikan” dihapuskan tahun 1992.

Kini, pendidikan kita semakin carut marut dalam perwujudannya. Mahal dan tak terjangkau rakyat miskin yang mayoritas di negri ini.

Hasil Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas, baik SMA/MA/SMK diumumkan Senin 26 April 2010. Hasilnya mencengangkan. Dari 1.522.162 siswa secara nasional yang mengikuti UN terdapat 154.079 siswa (9,88 persen) yang harus mengulang (pada 10-14 Mei 2010). Dan terdapat 267 sekolah, yang terdiri atas 51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta (dari 16. 467 sekolah tingkat atas) secara nasional tidak ada satupun siswanya yang lulus UN. Angka kelulusan UN tahun ini menurun dibanding dengan kelulusan UN 2009. Yaitu dari UN 2009 yang mencapai 95,05 persen menurun pada tahun 2010 menjadi 89,61 persen. Jika dilihat dari jumlah kekayaan negara kita, sama sekali tak layak jika melihat kondisi pendidikannya.

Kemajuan tenaga produktif rakyat (salah satunya) terletak pada kondisi manusianya, pendidikan dan kesehatannya. Adalah hal yang kontradiktif jika negri kaya tapi rakyatnya tak berdaya beli dalam dunia pendidikan.
Jalan ekonomi neo-liberal yang ditempuh rezim SBY-Boediono (rezim pendidikan mahal), elite politik dan parpol jahat adalah muara dari sengkarutnya dunia pendidikan kita. Biang kerok dari rendahnya tenaga produktif rakyat. Maka, sebagai jalan keluar bagi mahalnya pendidikan adalah:
1. Bangun industrialisasi (pabrik) nasional di bawah kontrol rakyat.
2. Nasionaliasasi energi dan pertambanagan asing di bawah kontrol rakyat
3. Tangkap, adili dan sita harta koruptor dengan partisipasi rakyat.
4. Pajak progresif untuk perusahaan besar.
5. Pemusatan pembiayaan dalam negeri.
6. Pemenuhan Tuntutan-tuntutan Mendesak Rakyat
7. Kekuasaan Rakyat
8. Kebudayaan Maju

Untuk mewujudkan hal di atas, maka butuh 5 kekuatan rakyat, yaitu:
1. Organisasi dan Penyatuan Perjuangan Rakyat
2. Keterlibatan Langsung Rakyat dalam Demokrasi
3. Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin
4. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan
5. Manusia yang Sehat, Produktif, Merdeka, Melawan, dan Bersolidaritas

Program Perjuangan Mahasiswa:
a. Bangun Dewan Mahasiswa.
b. Pendidikan dan Kesehatan Gratis
c. Demokratisasi Kampus:
Referendum
Forum Rembug Kampus dan Front Kampus
Partisipasi setiap Individu dalam Konggres atau Musyawarah Fakultas dan Jurusan
Kebebasan Berorganisasi dan Berpendapat
Bubarkan Menwa
Pembentukan Majelis Civitas Akademika

d. Perbaikan Kurikulum Kampus:
Sistem pengajaran yang dialogis dan bervisi kerakyatan
Kurikulum yang berperspektif Feminisme
Masukkan sejarah revolusi nasional dan negara lain dalam mata pelajaran umum
Masukkan karya Sastra Indonesia (Karya sastrawan dan seniman besar Indonesia. Misal, Pramodeya Ananta Toer, dll)
Mempelajari pengalaman kemajuan Negara-negara yang berdikari dan mandiri (Bolivia, Venezuela, kuba, Iran, dll)
Hapuskan pembatasan waktu kuliah
Hapuskan preesensi 75 %
Hapuskan sistem DO

e. Transparansi dana kampus
f. Komersialisasi pendidikan:
Tolak RUU BHP
Lawan Privatisasi Kampus

g. Perbaikan Fasilitas Kampus:
Fasilitas yang Modern dan Ekologis
Sediakan ruang publik sebagai tempat berekspresi dan bersosialisasi
Sediakan Perpustakaan yang lengkap, termasuk e-library.
Sediakan Fasilitas bagi difable.



Terimakasih.
Salam JUANG!
Semoga BERKOBAR!

*Sumbangan PEMBEBASAN untuk Indonesia(Dunia)!

SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA*

1.Masyarakat Feodal Indonesia

Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah.Dalam tahapan masyarakat feodal ini terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak bertanah dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan, merupakan alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, serta seluruh tata nilainya.

Pada perkembangan masyarakat feodal di Eropa, dimana tanah dikuasai oleh baron-baron (tuan2 tanah) dan tersentral. Para feodal atau Baron (pemilik tanah dan kalangan kerabat kerajaan) yang memiliki tanah yang luas mempekerjakan orang yang tidak bertanah dengan jalan diberi hak mengambil dari hasil pengolahan tanah yang merupakan sisa upeti yang harus dibayar kepada para baron. Tanah dan hasilnya dikelola dengan alat-alat pertanian yang kadang disewakan oleh para baron (seperti bajak dan kincir angin). Pengelolaan tersebut diarahkan untuk kepentingan menghasilkan produk pertanian yang akan dijual ke tempat-tempat lain oleh pedagang-pedagang yang dipekerjakan oleh para baron. Di atas tanah kekuasaannya, para baron adalah satu-satunya orang yang berhak mengadakan pengadilan, memutuskan perkawinan, memiliki senjata dan tentara, dan hak-hak lainnya yang sekarang merupakan fungsi negara. Para baron sebenarnya otonom terhadap raja, dan seringkali mereka berkonspirasi menggulingkan raja.

Kondisi pada masa feodalisme di Indonesia bisa diambil contoh pada masa kerajaan-kerajaan kuno macam Mataram kuno, kediri, singasari, majapahit. Dimana tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan Raja dimaknai sebagai titisan dari dewa yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut dan mempunyai wewenang untuk membagi-bagikan berupa petak-petak kepada sikep-sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep-sikep), bujang-bujang dan numpang-numpang (istilahnya beragam di beberapa tempat) dan ada juga tanah perdikan yang diberikan sebagai hadiah kepada orang yang berjasa bagi kerajaan dan dibebaskan dari segala bentuk pajak maupun upeti. Sedangkan bagi rakyat biasa yang tidak mendapatkan hak seperti orng-orang diatas mereka harus bekerja dan diwajibkan menyetorkan sebagian hasil yang didapat sebagai upeti dan disetor kepada sikep-sikep dll untuk kemudian disetorkan kepada raja, Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya.

Pada tahap masyarakat feodal di Indonesia, sebenarnya sudah muncul perlawanan dari kalangan rakyat tak bertanah dan petani. Kita bisa melihat adanya pemberontakan di masa pemerintahan Amangkurat I, pemberontakan Karaeng Galengsong, pemberontakan Untung Suropati, dan lain-lain. Hanya saja, pemberontakan mereka terkalahkan. Tapi kemunculan gerakan-gerakan perlawanan pada setiap jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga-tenaga produktif yang terus berkembang maju (progresif) berhadapan dengan hubungan-hubungan sosial yang dimapankan (konservatif). Walaupun kepemimpinan masih banyak dipegang oleh bangsawan yang merasa terancam karena perebutan aset yang dilakukan oleh rajanya.

Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke-15, melalui merkantilisme Eropa.


2. Masuknya kapitalisme melalui Kolonialisme dan Imperialisme

Di negara-negara yang menganut paham merkantilisme terjadi perubahan besar terutama setelah Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan semakin memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, dimana mereka mencoba untuk mencari daerah baru yang kemudian diklaim sebagai daerah jajahannya dengan semboyan Gold, Gospel, dan Glory, mereka membenarkan tujuannya dengan alasan penyebaran agama dan dalam bentuk kapitalisme dagang (merkantilisme) dan sejak itu feodalisme di masyarakat pra-Indonesia mempunyai lawan yang sekali tempo bisa diajak bersama memusuhi dan melumpuhkan rakyat. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk industri farmasi di Eropa.

Kolonialisme dan imperialisame merebak di mana-mana, termasuk di tanah Nusantara, Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin raja muda portugis Vasco da Gama. Tujuannya mencari rempah-rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.

Kolonialisme yang masuk pertama di Indonesia merupakan sisa-sisa kapitalisme perdagangan (merkantilisme). Para kapitalis-merkantilis Belanda masuk pertama kali ke Indonesia melalui pedagang-pedagang rempah-rempah bersenjata, yang kemudian diorganisasikan dalam bentuk persekutuan dagang VOC tahun 1602, demikian juga dengan Portugis, dan Spanyol. Para pedagang bersenjata ini, melakukan perdagangan dengan para feodal, yang seringkali sambil melakukan ancaman, kekerasan dan perang (ingat sejarah pelayaran Hongi).

Kekuasaan kolonial Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Sebab dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah) --pajak ini mengharuskan sistem monetar dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistem moneternya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya rentenir dan ijon.

Di sisi yang lain, kalangan kolonialis-kapitalis juga memanfaatkan kalangan feodal untuk menjaga kekuasaannya. Hubungan antara para kolonialis-kapitalis dengan para feodal adalah hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan, sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua belah pihak Kapitalisme yang lahir di Indonesia bukan ditandai dengan dihancurkannya tatanan ekonomi-politik feodalisme, melainkan justru ada usaha revitalisasi dan produksi ulang tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal untuk memperkuat kekuasaan kolonialisme. Karena adanya revolusi industri terjadi kelebihan produksi yang membutuhkan perluasan pasar; membutuhkan sumber bahan mentah dari negeri asalnya; membutuhkan tenaga kerja yang murah -- mulai melakukan kolonialisasi ke negara-negara yang belum maju. terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Hal ini sangat berbeda dengan lahirnya kapitalisme di negara-negara Eropa dan Amerika. Di kedua benua tersebut, kapitalisme lahir sebagai wujud dari dihancurkannya tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal. Contoh kasus yang paling jelas adalah adanya revolusi industri di Inggris yang mendahului terjadinya revolusi borjuasi di Perancis

3. Tumbuhnya Kapitalisme di Indonesia

Pada masa Van den bosch tahun 1830, pemerintah Belanda membangun sebuah sistem ekonomi-politik yang menjadi dasar pola kapitalisme negara di Indonesia. Sistem ini bernama tanam paksa. Ini diberlakukan karena VOC mengalami kebangkrutan.Tanam Paksa merupakan tonggak peralihan dari sistem ekonomi perdagangan (merkantilis) ke sistem ekonomi produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:

1. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;

2. Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;

3. Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;

4. Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;

5. Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;

6. Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;

7. Pembebanan berbagai macam pajak.

Sistem ini juga merupakan titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.

Pada pertengahan abad 19 terjadi perubahan di negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta --seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim kapitalisme-- terjadi pula perubahan di Nusantara/ Hindia Belanda. Perubahan kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi, perdagangan dan keuangan. Politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang. Maka pada tahun 1870 tanam paksa di hentikan. Namun borjuasi yang masuk ke jajahan (di Indonesia) menghadapi problem secara fundamental yaitu problem tenaga produktif yang sangat lemah. tenaga kerjanya buta huruf, misalnya. Oleh karena itu untuk mengefisienkan bagi akumulasi kapital, pemerintah belanda menerapkan politik etis. Dengan politik etis pemerintah hindia belanda berharap agar tenaga-tenaga kerja bersentuhan dengan ilmu pengetahuan (meski tidak sepenuhnya) tekhnologi untuk menunjang produktivitas dan untuk perluasan lahan bagi kepentingan akumulasi modal. Mulai munculah sekolah-sekolah walaupun diskriminatif dalam penerimaaan siswanya.

Penerapan politik Etis ternyata menjadi bumerang bagi Belanda sendiri. Politik etis menumbuhkan kesadaran baru bagi rakyat-rakyat dengan tersosialisanya ilmu pengetahuan akhirnya mampu memahami kondisinya yang tertindas. Gerakan-gerakan modern untuk melawan penindasan mulai dikenal: mulailah dikenal organisasi terutama setelah partai-partai revolusioner di Belanda berkomitmen (merasa berkewajiban) membebaskan tanah jajahan. Seiring dengan ini mulailah dikenal mengenai sosialisme, kapitalisme, komunisme, dsb. yang selanjutnya sebagaimana yang kita ketahui dengan baik, rakyat mulai membangun perlawanan (berontak).

Dampak yang paling nyata dari adanya kapitalisme perkebunan dan adanya pendidikan, perlawanan rakyat Indonesia -- yang dulunya hanya bersifat lokal, tidak terorganisir secara modern, dan tidak berideologi -- telah berubah secara kualitatif dan kuantitatif. Di mana-mana muncul secara massif dan menasional perlawanan rakyat yang terorganisasikan secara modern dan memiliki ideologi yang jelas.

Revolusi di Cina dibawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan. Tahun 1908 berdiri sebuah organisasi Pemuda Boedi Oetomo, yang juga ditandai sebagai hari kebangkitan nasional. Pada bulan Juli 1917 mengubah Organisasinya menjadi sebuah partai politik. Hal yang sama terjadi dengan Sarekat Islam (SI). Dari titik ini kepartaian di Indonesia di bagi dua yaitu yang berkoorperasi--masuk dalam sistem kolonial-- dan yang menolak masuk ke dalam sistem kolonial tersebut. Yang masuk dalam ketegori koorporasi ialah BU dan SI sedangkan kelak yang masuk kedalam kategori non-ko ialah PKI dan PNI.

Di dalam kongres SI di Yogyakarta terjadi perpecahan antara faksi revolusioner dengan ulama-ulama kolot feodal yang menolak SI bergabung dengan organisasi-organisasi dunia yang ada hubungannya dengan organisasi komunis internasional. Perpecahan ini mendorong faksi revolusioner untuk membangun sebuah wadah yaitu Partai Komunis -- partai komunis pertama di Asia--dalam sebuah kongres di Bandung, Maret 1923 yang menggariskan perbedaan secara prinsipil dengan SI yaitu partai komunis mengemban dan mengembangkan suatu kebudayaan revolusioner serta mengumandangkan pengertian dan kebebasan. Partai ini lahir ketika imperialisme di tanah jajahannya telah melahirkan kaum buruh dan sekaligus di dalam masyarakat yang masih mempertahankan sisa-sisa feodalisme. Sementara organisasi-organisasi lain tidak mampu membaca dan memanifestasikan kesadaran perlawanan rakyat.

PKI terus menjalankan politik radikalnya yang berujung pada pemberontakan pertama besar-besaran di Indonesia yang dipimpin oleh partai politik, pada akhir tahun 1926 sampai januari 1927, dan menolak penjajahan secara sangat serius.

Serikat buruh yang mula-mula berdiri adalah serikat buruh trem dan kereta api (VSTP) dengan markas di Semarang, berdiri 1918. Juru propaganda pribumi VSTP yang pertama, Semaoen, selain bekerja untuk serikat buruh juga menjadi ketua Sarekat Islam (SI) lokal Semarang. Gerakan ini mencatat beberapa kesuksesan antara lain di bidang perserikatan buruh yang di mulai pada mei 1923.

Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional ini, menunjukkan betapa takutnya pemerintah Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal dan progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidak-mampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Satu pelajaran yang harus kita ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan aparat kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan terhadap segala bentuk perlawanan rakyat. Dengan demikian, kekalahan perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya.

Sejarah perjuangan ternyata bergerak maju. Kekalahan gerakan pembebasan nasional tidak serta merta menyurutkan perjuangan. Posisi PKI di ambil alih oleh PNI yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1927 dibawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan partai massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme.Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Akhirnya, pada tahun 1929 pimpinan PNI mengambil keputusan untuk membubarkan diri. Tapi aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.

Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus menerus. Sementara itu di Eropa, tahun 1939 Perang Dunia II meletus ketika Jerman dibawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang seperti pelabuhan, jalan raya dan lapangan udara tanpa di upah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll. Sebab-sebab dari timbulnya PD II adalah persaingan diantara negara-negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis


4. REVOLUSI BORJUASI 1945

Pada tanggal 14 dan 16 Agustus 1945, Nagasaki dan Hiroshima di bom atom oleh tentara sekutu yang menyebabakan Jepang mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II, maka terjadi kevakuaman kekuasaan di tanah-tanah jajahan pemerintahan fasis Jepang termasuk Indonesia sementara tentara Sekutu belum datang. Maka pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.

Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional.Tampuk kekuasaan negara repulik Indonesia hanya pindah dari tangan para kolonialis-kapitalis ke tangan sisa-sisa feodalisme yang berhasil mentransformasikan diri menjadi borjuasi nasional (kapitalis local). Kekalahan start kaum radikal oleh borjuasi nasional dalam mengambil kepemimpinan politik untuk membentuk pemerintahan koalisi nasional kerakyatan dikarenakan penetrasi Amerika yang memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. AS dengan dukungan beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya. Hasil dari revolusi borjuasi secara umum adalah pemindahan kekuasaan dari tangan para kolonialis-kapitalis Hindia-Belanda ke tangan para borjuasi baru sipil dan militer.

Program politik untuk menuntaskan revolusi borjuasi nasional yang belum tuntas dan harus dilanjutkan dengan revolusi sosial menjadi pemikiran dan dijalankan oleh banyak kekuatan partai politik. Pada era demokrasi multi partai ini, terjalin sebuah kehidupan berbangsa yang demokratis karena keterlibatan partisipasi politik rakyat sangat besar di sini dan banyak-nya partai yang mempunyai orientasi yang pro-rakyat. Dalam masa damai era demokrasi multi partai ini, militer dan para pendukungnya tidak mampu berbuat banyak. Oleh karena itu, mereka sering melakukan sabotase ekonomi (lewat penyelundupan), ancaman kudeta, dan menciptakan pemberontakan separatisme, dengan tujuan untuk mengacaukan masa damai yang lebih menguntungkan kalangan sipil dan mayoritas rakyat. Kita catat misalnya dikepungnya Istana Merdeka pada tanggal 17 Oktober 1952. Dalam usaha kudeta itu militer bekerja sama dengan bandit-bandit ekonomi-politik dalam negeri, beberapa kekuatan politik kanan, dan agen rahasia luar negeri seperti CIA-Amerika dan MI-6-Inggris.

Militer Indonesia yang di kuasai tentara reguler jebolan KNIL dan PETA hasil dari rasionalisasi dan restrukturisasi yang menyingkirkan laskar-laskar rakyat berhasil memperkuat basis ekonomi-nya melalui program banteng pada tahun 1957. Program in merupakan usaha “penciptaan” kelas borjuasi nasional (kapitalis lokal). Program ini juga berisi nasionalisasi besar-besaran aset swasta asing dan ex perusahaan Belanda dengan melibatkan pengusaha pribumi dan jenderal-jenderal militer (TNI). Program ini juga merupakan tonggak masuknya militer sebagai kapitalis dan munculnya pengusaha-pengusaha dari partai-partai politik. Sistem ekonomi Orde Lama juga masih berada disekitar jalur industrialisasi. Dalam situasi ini masih terdapat ilusi tentang tentara yang konstitu sional dan pro-rakyat. Salah tafsir ini mengingkari bahwa ABRI, yang cikal-bakalnya rakyat, telah dikooptasi oleh kaum reaksioner, ini membuktikan tentara mempunyai tendensi-tendensi akan kekuasaan politik. Tendensi ini makin nampak jelas ketika dimasukannya ABRI sebagai golongan fungsional, jadi dapat dipilih tanpa pemilu. Ini semua merupakan bentuk kongkrit dari penjabaran konsep Jalan Tengah dari Nasution, bahwa ABRI harus menjadi kekuatan sosial-politik. konsep ini yang kemudian dikembangkan oleh Jendral Suharto menjadi Dwi Fungsi ABRI.

Militer yang ingin berkuasa penuh secara politik dengan konsep jalan tengahnya dan mendapat perlawanan yang keras dari kekuatan buruh dan tani lewat PKI. Puncaknya meletuslah peristiwa 65 yang lebih kita kenal dengan G 30 S/PKI. Dan militer akhirnya mengkudeta Soekarno dan membantai massa dan simpatisan PKI dan Soekarno.


5. Orde Baru dan Kapitalis Bersenjata

Konsolidasi kapitalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari scenario lembaga-lembaga sistem kapitalisme dunia seperti IMF dan World Bank. Kapitalisme dengan syarat-syarat kekuatan produktif yang rapuh dibidang teknologi serta kurangnya dana segar untuk modernisasi menjadikan penguasa Orba harus bergantung sepenuh-penuhnya pada kekuatan modal Internasional Jepang, Amerika, Inggris, Jerman, Taiwan, Hongkong, dll. Pengabdian Orba pada modal semakin membuktikan bahwa pada prinsipnya negara Orba dibawah kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Soeharto adalah ALAT KEPENTINGAN-KEPENTINGAN MODAL.

Pada tahapan awal konsolidasi kekuasaannya, Soeharto berhasil memanfaatkan pinjaman hutang luar negeri dan penanaman modal asing. Soeharto melahirkan orang kaya baru (OKB) dan tumbuhnya Kapitalis. Soeharto juga memberikan lisensi penuh kepada sekutu dan kerabatnya untuk monopoli Export-import, penguasaan HPH dan perkebunan-perkebunan kepada yayasan-yayasan Angkatan Darat. Sehingga seluruh aset ekonomi kekayaan negara dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto. Dan Rezim Orba ini juga menggunakan kekuatan militernya untuk merefresif, membungkam dan meredam kekritisan dan protes dari rakyat. Senjatanya yaitu Dwi Fungsi ABRI dengan manifestasinya yaitu kodam, kodim, korem, koramil, babinsa/binmas. Juga badan extra yudisialnya seperti BIA, BAIS,dll.

Pada masa kekuasaan Rezim Orba ada beberapa perlawanan rakyat, tetapi organisasi perlawanannya lemah sehingga dapat dipukul dengan mudah seperti kasus Aceh, Tanjung Priuk, Lampung,dll. Di Gerakan Mahasiswanya sendiri Rezim Orba mengeluarkan kebijakan NKK/BKK yang jelas-jelas sangat meredam kekritisan mahasiswa, dan membuat mahasiswa jadi sulit untuk merespon kondisi masyarakat Indonesia.

Pada tahun 1997 terjadi krisis yang melanda dunia. Krisis ini diakibatkan oleh over produksi yang menyebabkan pengembalian modal mengalami kesulitan. Dampak dari krisis Global ini sangat berpengaruh sekali pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Ditambah lagi dengan jatuh temponya hutang luar negeri. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia awal dari keruntuhan Rezim Orba.

Runtuhnya Orba yang dimulai dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Dampak dari krisis ekonomi tersebut adalah naiknya harga sembako. Sehingga terjadi pergolakan dimana-mana yang menuntut diturunkannya harga sembako. Gerakan Mahasiswa yang selama ini vakum mulai bangkit melawan Rezim otoriter Soeharto. Tuntutan Mahasiswa dan Rakyat yang tadinya mengangkat isu-isu ekonomis meningkat menjadi isu-isu politis.

Pada tahun 1998 Gerakan Mahasiswa dan Rakyat berhasil melengserkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Soeharto digantikan oleh Habibie yang masih anak didiknya. Habibie hanya setahun berkuasa di Indonesia. GusDur naik sebagai Presiden RI dan Mega sebagai wakilnya melalui Pemilu 1999 yang katanya demokratis.


6. Indonesia dalam alam Neo Liberalisme.


Neo liberalisme adalah salah satu bentuk baru kapitalisme. Jurus neolib ini dilahirkan oleh kapitalisme Internasional dikarenakan pada saat itu dunia sedang mengalami krisis global. Persaingan pasar bebas menurut kapitalisme Internasional adalah jawabannya. Sehingga kesepakatan WTO pada November 1999 di Seattle Amerika adalah tahun 2003 sebagai tahun diberlakukannya pasar bebas di Indonesia. Dampak dari pasar bebas di Indonesia ini akan mematikan perekonomian rakyat kecil di Nidonesia. Karena produksi Indonesia belum mampu bersaing dengan produksi luar negeri, karena keterbatasan teknologi.

Rezim Mega-Hamzah yang saat ini memimpin Indonesia ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk menolak Neolib ini. Karena pemerintahan GusDur-Mega masih sangat bergantung pada pinjaman hutang luar negeri terutama IMF dan World Bank.

Sementara rakyat Indonesia menuntut kepada Rezim yang baru naik, yang katanya mendapat legitimasi dari rakyat untuk menuntaskan agenda-agenda Reformasi total, yang beberapa pointnya yaitu pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, cabut dwi Fungsi TNI/Polri(ABRI), Pengadilan Soeharto & kroninya serta sita asset-aset kekayaannya untuk subsidi kebutuhan rakyat. Dan sampai saat ini Rezim Mega-Hamzah belum mampu. Bahkan pemerintahan Mega-Hamzah membuat konsesi dengan sisa kekuatan lama (sisa Orba dan militer). Inilah yang membuat terhambatnya proses demikratisasi di Indonesia. Rezim yang diharapkan rakyat banyak juga menggunakan militer sebagai pendukung kekuasaannya. Ini terbukti bahwa Rezim Mega-Hamzah sama saja dengan rezim Orba. Bahkan militer berkali-kali mencoba ingin berkuasa kembali di Indonesia dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu RUU PKB, dll (terakhir mereka mencoba untuk mengaburkan tuntutan pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri dengan isu TNI/POLRI mempunyai hak untuk memilih dan dipilih lewat Pemilu), dan ini justru didukung oleh Rezim. Ini berarti mereka memberi peluang untuk terjadinya kembali praktek-praktek militerisme di Indonesia.


7. Hal-hal yang harus kita lakukan untuk merubah Indonesia.

Untuk merubah Indoneisa, kembali kepada cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia yang sesungguhnya, yaitu membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur. Kita harus menghancurkan dulu sistem kapitalisme yang sangat menindas tehadap hak-hak kaum pekerja yang menjadi mayoritas dari rakyat Indonesia. Kita harus membangun Organisasi-organisasi perlawanan rakyat untuk menentang segala macam system yang tidak berpihak pada rakyat. Dan kita juga harus mampu mempelopori membentuk system yang berpihak kepada rakyat. Sistem yang berpihak kepada rakyat yaitu system Demokrasi Kerakyatan. Kita harus merebut demokrasi sejati, untuk itu kita harus mentaskan revolusi demokratik di Indonesia. Kita harus menegakkan demokrasi sepenuhnya di Indonesia. Demokrasi Tanpa Penindasan.

*Sumbangan PRD untuk Indonesia(Dunia)!

Tambang Batu Mangan di NTT

Sekadar catatan/tukar pikiran-----semoga bermanfaat)

 Kualitas batu Mangan dari NTT termasuk yang terbaik di dunia, dan jumlah yang terukur saat ini cukup untuk penuhi kebutuhan Indonesia serta Korea Selatan selama lima puluh tahun mendatang. Hal ini disampaikan seorang pejabat kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat berkunjung ke Kupang akhir 2009 lalu. Ini kabar baik atau buruk bagi rakyat NTT? Tampak banyak jawaban negatif. Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur (DPRD NTT) mendesak pemerintah daerah untuk menghentikan seluruh proses eksploitasi mangan di daerah tersebut, sampai ada regulasi (peraturan daerah) di tingkat provinsi yang mengatur hal ini. Namun, sementara tuntutan tersebut dikemukakan, proses eksploitasi terus berlangsung dengan berbagai dampaknya. Regulasi yang menjadi pegangan sekarang adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Penambangan Mineral dan Batubara dan peraturan daerah atau keputusan pemegang wewenang di level pemerintahan daerah kabupaten. Regulasi di tingkat kabupaten ini mengatur hal yang lebih spesifik seperti batas minimal harga komoditi, ijin usaha penambangan (IUP), dan lain-lain.

Persoalan-persoalan

Hasil sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh LSM Simpul Demokrasi Belu baru-baru ini menyebut empat poin dampak positif dan dua puluh tiga poin dampak negatif dari pertambangan mangan, disertai sejumlah rekomendasi kepada pemerintah (lihat di: http://www.simpuldemokrasi.org/news_detail.php?nid=68). Di sini penulis tidak merincikan kembali satu per satu hasil FGD tersebut. Beberapa poin di bawah ini coba merangkum persoalan yang ada, yaitu; pertama, aktivitas penambangan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Di banyak tempat di pulau Timor, bebatuan berfungsi sebagai tangkapan air hujan yang kemudian bermanfaat menyediakan sumber air bersih bagi penduduk. Penambangan mangan dikhawatirkan mengganggu daya tampung alam terhadap air hujan, sehingga mengganggu juga pasokan kebutuhan akan air.

Kedua, kondisi kesejahteraan rakyat tidak mengalami perubahan setelah penambangan dilakukan secara masif selama beberapa tahun terakhir. Ada manfaat jangka pendek berupa tambahan penghasilan, namun jumlahnya tidak cukup buat penuhi kebutuhan hidup, dan berdampak buruk dalam jangka panjang. Angka kemiskinan di NTT tetap tinggi, dan masih tergolong provinsi yang paling miskin atau terbelakang. Ketiga, hal-hal terkait ketenagakerjaan, seperti kesehatan dan keselamatan kerja, keberadaan pekerja anak, pendidikan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan rakyat mengenai obyek kerjanya, pengupahan, dan lain-lain. Keempat, dampak-dampak sosial budaya di tengah masyarakat, seperti meningkatnya persaingan disertai pudarnya semangat gotong royong, bergesernya sumber penghidupan masyarakat dari bertani menjadi “penambang tradisional”, dan lain-lain.

Disadari, persoalan-persoalan tersebut tak bisa diatasi hanya oleh regulasi di tingkat daerah. Namun sebagai upaya menciptakan kondisi yang lebih baik, langkah (pembuatan regulasi) tersebut dapat kita manfaatkan sebagai sebuah “tahapan” yang diposisikan sesuai dengan kapasitasnya. Artinya, pembuatan dan pengesahan sebuah peraturan daerah tingkat provinsi, dan atau berbagai peraturan daerah tingkat kabupaten, tidak menjamin proses yang lebih sehat dalam pemanfaatan kekayaan alam. Acuan terbaik seharusnya [sic] adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun keadaan yang baik itu (menjadikan pasal 33 UUD 1945 sebagai acuan) tidak sedang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.

Mangan dalam perekonomian

Batu mangan berguna sebagai bahan baku industri, seperti untuk pembuatan baterai, keramik, bahan kimia, dan baja. Namun saat ini mangan paling banyak digunakan untuk kebutuhan industri baja yang penggunaannya mencapai 90% (Majalah Tambang, 3 November 2008). Kandungan mangan dapat menghasilkan baja dengan kualitas bagus, yaitu lebih kuat dan ringan dibandingkan baja dari bahan mentah lain. Kualitas demikian membuat batu mangan menjadi bahan baku paling banyak dicari oleh kalangan industriwan baja akhir-akhir ini. Sebagaimana diketahui, industri baja merupakan salah satu industri dasar (hulu) yang sangat dibutuhkan, baik untuk kebutuhan konstruksi, elektronik, otomotif, dll. Negara yang pembeli mangan terbesar di dunia saat ini adalah Tiongkok dan India. Sementara produsen terbesar adalah Ukraina dan Afrika Selatan. Kedua negara tersebut menguasai sekitar 80% cadangan mangan dunia.

Eksploitasi mangan perlu juga dilihat dalam skema perkembangan ekonomi-politik global dan nasional. Sejak penaklukkan “Barat” terhadap “Timur”  (kurang lebih antara abad 16 sampai abad 20), tercipta keadaan yang disebut kolonialisme atau penjajahan. Sistem ini berupaya menguasai sebanyak mungkin tenaga kerja, pasar, dan bahan mentah dari negeri-negeri jajahan untuk diperdagangkan, yang kemudian berlipatganda keuntungannya di negeri-negeri penjajah. Eksploitasi bahan mentah dari negeri terjajah oleh negeri penjajah terus berlanjut dalam penampakan yang berganti dari sebelumnya, namun sama dalam hakekat. Pemerintah di negeri ex-jajahan diberikan ‘kedaulatan’ secara politik, tapi tetap menciptakan ketergantungan (sebagai syarat eksploitasi) terhadap ekonomi asing. Pentingnya komoditi mangan saat ini mungkin sebanding dengan palawija diburu-buru oleh VOC pada masa lampau.

Fungsi strategis bahan baku mangan belum tergantikan oleh bahan lain, sehingga masih akan terus dibutuhkan oleh industri. Namun kondisi industri saat ini tidak menjamin kestabilan produksi akibat krisis periodik dalam sistem kapitalisme, sehingga juga tidak menjamin kestabilan harga bahan mentah. Ada perspektif lebih maju untuk memanfaatkan pasar dalam negeri dengan pembelian langsung misalnya oleh industri baja milik negara. Namun hal ini tidak ada dalam skema rencana industrialisasi dari sebuah pemerintahan neoliberal. Sejauh ini Indonesia hanya memiliki satu pabrik baja yaitu PT. Krakatau Steel (dibangun pada masa Soekarno) dan sudah berada dalam daftar privatisasi. Pasokan kebutuhan baja sebagian besar masih dari luar negeri seperti India dan Cina. Tak heran, di berbagai daerah masih terjadi kelangkaan produk baja sehingga harganya menjadi sangat mahal.

NTT dalam pertambangan

Menilik situasi perekonomian di atas, kita perlu belajar dari kasus-kasus pertambangan di daerah lain. Ekspansi kapital pertambangan ke kepulauan NTT tergolong baru dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bisa dikatakan tak ada perusahaan raksasa tambang yang beroperasi di NTT sebelum liberalisasi dimulai tahun 1998. Jenis usaha atau industri yang berkembang pun lebih banyak pada industri jasa, seperti kontraktor, pariwisata, perdagangan hasil bumi, dan sejumlah kecil percetakan. Paling banter singgungan pada pertambangan lewat usaha kontraktor yang melakukan galian C (batu dan pasir) untuk bahan campuran bangunan atau jalan. Demikian halnya satu-satunya industri besar yang merupakan aset milik pemerintah daerah adalah PT. Semen Kupang yang memasok kebutuhan di daerah. Perusahaan daerah ini mulai bangkrut sejak masuknya produk semen Tonasa dan semen Gresik.
 Pasca 1998, terutama seiring berlakunya Undang-Undang Penanaman Modal (2007), mulai banyak perusahaan besar masuk dan mencari peluang keuntungan pada berbagai bidang ekonomi, terutama yang terkait dengan keberadaan sumber daya alam. Beberapa perusahaan asal Jepang berinvestasi di bidang kelautan, seperti budi-daya mutiara, rumput laut, penangkapan ikan, kemudian pembelian dan penjualan ikan. Meski belum sepenuhnya menggusur kekuatan ekonomi lama, perusahaan besar lainnya mulai masuk ke perdagangan komoditi pertanian dengan menjemput langsung ke tangan petani. Sementara pada bidang pertambangan, eksplorasi dan eksploitasi telah dilakukan pada marmer, pasir besi, minyak bumi, gas alam, emas, dan mangan.
 Persoalan-persoalan seperti disebutkan pada awal tulisan, yang sekarang masih tampak menyerupai gejala, di kemudian hari akan memburuk jika tidak ada perubahan yang fundamental. Pengalaman berbagai daerah lain telah mengajarkan kita untuk tidak mengulang kesalahan. Beberapa contoh bisa disebut, seperti penambangan emas oleh Freeport di Papua, Newmont di Nusa Tenggara Barat, tembaga di Sulawesi Selatan, pertambangan timah di Bangka Belitung, berbagai pertambangan Batubara di Kalimantan, dan lain-lain. Dalam ketiadaan skema industrialisasi nasional yang jelas maka keberadaan pertambangan hanya memperkaya segelintir orang, terutama kapitalis di luar negeri, tanpa meninggalkan nilai tambah apapun bagi rakyat.
 Pencarian batu mangan ke NTT akan terus ada dan bertambah dalam beberapa tahun ke depan, bahkan bisa lebih lama. Alasan utamanya sederhana, yaitu pemenuhan kebutuhan industri di negeri Tiongkok dan Asia Timur lainnya (Jepang dan Korea) yang cenderung mencari sumber bahan baku terbaik dan terdekat, dibandingkan harus mendatangkan komoditi tersebut dari Ukraina ataupun Afrika Selatan yang memakan biaya lebih besar.
 Pada saat yang sama pemiskinan sistematis dalam sistem neoliberalisme sekarang seperti jebakan pragmatisme bagi banyak orang. Kesulitan ekonomi menggiring orang untuk memilih apapun yang saat ini bisa diperoleh secara cepat, sambil secara sengaja ataupun tidak sengaja meluputkan perhatian dari dampak dan keadaan jangka panjang. Dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama ini, jajaran di kekuasaan pemerintahan daerah tampaknya berada di sisi pragmatisme tersebut. Contohnya bisa dilihat dari penentuan harga jual batu mangan yang sangat murah oleh pemerintahan daerah. Di tingkat penambang rakyat saat ini, bahkan, harga batu mangan per kilo bisa jatuh sampai tiga ratus rupiah per kilogram. Dalam ketidakberdayaan rakyat, situasi ini cenderung diterima hanya dengan advokasi yang minimalis dari para pemerhati, baik itu aktivis mahasiswa atau LSM tertentu.
 Respon dan tawaran strategis
 Kekayaan tambang adalah milik rakyat. Namun ‘pemanfaatan’ oleh rakyat yang terjadi saat ini, dalam bentuk penambangan tradisional maupun modern, sebenarnya berada di luar rencana rakyat sendiri. Rencana atau desain ini diciptakan oleh kepentingan industri di luar negeri, didesakkan kepada pemerintah pusat maupun daerah, kemudian rakyat menjadi korban pasif dari kehendak para pemodal.

Karena itu perlukan langkah awal yang tegas untuk menghentikan seluruh proses pertambangan mangan di NTT. Penghentian tidak sekadar sampai ada regulasi tapi sampai ada gambaran manfaat yang jelas untuk kepentingan rakyat dan kebutuhan industri nasional. Terkait penghentian ini, tentunya sebagian masyarakat akan kehilangan mata pencarian dari penambangan dan penjualan mangan yang digeluti. Oleh karena itu diperlukan jaminan modal dan lapangan kerja baru yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu, juga dibutuhkan kajian mendalam mengenai dampak lingkungan sehingga dapat ditentukan daerah mana yang boleh dieksploitasi dan daerah mana yang menjadi kawasan terlarang atau harus dilestarikan.
 Sejalan dengan poin pertama, hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah memastikan adanya nilai tambah yang sebesar-besarnya bagi rakyat dari proses penambangan. Nilai tambah yang besar dapat diperoleh melalui dua jalan yaitu; pertama, menaikkan harga jual batu mangan dari tangan penambang, yang bisa dilakukan dengan memotong mata rantai perdagangan; kedua, dengan mendirikan pabrik pengolahan batu mangan menjadi produk yang lebih siap pakai. Penjualan batu mangan dalam bentuk bongkahan mentah ke luar pulau harus dilarang, sehingga mendorong pendirian industri yang bisa menarik tenaga kerja. Industri yang berdiri pun harus memberikan kompensasi yang sebesar-besarnya kepada rakyat, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur, dan lain-lain. Sampai di sini, perusahaan tidak dapat dibiarkan bergerak sendiri dengan logika untung-rugi bagi dirinya sendiri, melainkan harus dikendalikan oleh sebuah pemerintahan yang terus menjaga komitmennya memajukan kesejahteraan rakyat. Pengorganisasian rakyat dalam kegiatan-kegiatan yang mencerdaskan secara politik adalah salah satu langkah kunci yang dapat dilakukan oleh para pemerhati masalah tambang dan masalah pemiskinan yang dihadapi rakyat NTT sekarang(DO)

---untuk referensi!

SEJARAH KOTA BAJAWA

Bapak H. Nainawa, seorang tokoh dan pemuka adat yang kini berusia 88 tahun menuturkan bahwa nama Bajawa sebenarnya berasal dari “ Bhajawa ” yaitu nama satu dari antara tujuh kampung di sisi barat Kota Bajawa. Tujuh kampung yang disebut “ Nua Limazua ” tersebut adalah Bhajawa, Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo dan Wakomenge. Nua Limazua tersebut merupakan suatu persekutuan “ ulu eko ” yang dikenal dengan “ Ulu Atagae, Eko Tiwunitu ”.


Nua Bhajawa adalah kampung terbesar dari antara tujuh kampung tersebut dan merupakan tempat tinggal Djawatay sebagai Zelfbertuurder atau raja pertama dan Peamole sebagai raja yang kedua. Mungkin karena itulah nama Bhajawa lebih dikenal dari yang lainnya dan digunakan oleh Belanda sebagai nama pusat pemerintahan Onder Afdelling Ngada. Bhajawa kemudian berubah menjadi Bajawa karena penyesuaian pengucapan terutama bagi orang Belanda ketika itu yang tidak bisa berbahasa daerah dengan benar.

Dari aspek etimologi, kata “ Bhajawa ” terdiri dari “ bha ” yang berarti piring dan “ jawa ” yang berarti perdamaian. Jawa bisa berarti tanah Jawa. Sehingga “ Bhajawa ” bisa berarti piring perdamaian, bisa juga berarti piring dari Jawa, sama seperti “ Pigasina ” yang berarti pinggan dari Cina.

Dataran di sebelah timur dari tujuh kampung tersebut, yang kemudian menjadi pusat kota Bajawa, pada mulanya masih merupakan kebun ladang dengan banyak nama seperti “ Mala ”, “ Ngoraruma ”, “ Surizia ”, “ Umamoni ”, “ Padhawoli ”, “ Ngedukelu ”, dan lain-lain. Kawasan gereja dan pastoran Paroki MBC bernama Surizia, kawasan rumah jabatan Bupati, Mapolres dan Kantor Daerah lama bernama Ngoraruma, kawasan tangsi Polisi dengan nama lain lagi, dan seterusnya.

 AWAL BERDIRINYA KOTA BAJAWA SAMPAI KEMERDEKAAN INDONESIA ( 1908-1945 )

Tidak mudah menentukan tanggal, bulan dan tahun lahirnya Kota Bajawa, karena sulit mendapatkan rujukan tertulis. Walaupun demikian, penuturan Bapak H. Nainawa dan beberapa sumber lain dapat sedikit menyingkap kisah awal Kota Bajawa.

Kota Bajawa dirintis oleh penjajah Belanda. Pada tahun 1907 di bawah pimpinan Kapiten Christoffel, setelah menguasai Larantuka dan Sikka, Belanda mengadakan aksi militer untuk menguasai wilayah Ende, Ngada dan Manggarai. Pada 10 Agustus 1907, pasukan Christoffel tiba di Ende dan hanya dalam waktu sekitar 2 minggu berhasil mengalahkan Rapo Oja dari Woloare dan Marilonga dari Watunggere serta menguasai wilayah Ende. Pada 27 Agustus 1907, pasukan Christoffel mulai melakukan agresi militer ke wilayah Ngada. Sesudah pertempuran di Rowa, Sara, Mangulewa dan Rakalaba, pada 12 September 1907 Bajawa menyerah. Di Bajawa pasukan Belanda menempati lokasi di pinggir kali Waewoki (sekitar rumah potong hewan sekarang) karena dekat mata air Waemude sebagai sumber air minum. Dalam waktu 3 bulan pasukan Christoffel berhasil menguasai seluruh wilayah Ngada dan selanjutnya pada 10 Desember 1907 seluruh wilayah Manggarai dikuasainya. Setelah pemberontakan Marilonga dapat dipadamkan pada tahun 1909 maka pada tahun 1910 seluruh wilayah Flores takluk kepada pemerintah Kolonial Belanda.

Belanda mulai mengatur pemerintahan yang pada mulanya bersifat militer di bawah pejabat militer yang disebut “ Gezaghebber ”, kemudian bersifat sipil di bawah pejabat sipil yang disebut “ Controleur ”. Kapiten Spruijt yang menggantikan Christoffel diangkat sebagai Gezaghebber Ende, van Suchtelen menjadi Gezaghebber Lio, dan Couvreur menjadi Gezaghebber mulai dari wilayah Nangapanda, Ngada, sampai Manggarai.

Agar kegiatan pemerintahan penjajah lebih tertib, keamanan lebih terkontrol dan pemungutan pajak serta kerja rodi yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat Ngada, dapat terlaksana dengan baik, Belanda membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sistem tradisional. Sebelumnya, masyarakat Ngada hidup berkelompok dalam “ ulu eko ”, “ nua ” dan “ woe ” yang bersifat otonom dan tidak ada struktur yang lebih tinggi di atasnya. Demi efektivitas penjajahan, dibentuklah struktur baru di atasnya yaitu “ Zelfbesturende Landschap ” atau “Landschap Bestuur” yang dipimpin oleh seorang “ Zelfbestuurder ” atau raja yang diangkat oleh Belanda dari antara pemuka masyarakat setempat yang paling berpengaruh.

Pada tahun 1912, di seluruh Flores terdapat 27 Landschap Bestuur dan di wilayah Ngada terdapat 6 Landschap Bestuur yaitu Landschap Bestuur Ngada di bawah Djawatay, Nage di bawah Roga Ngole, Keo di bawah Moewa Tunga, Riung di bawah Petor Sila alias Poewa Mimak, Tadho di bawah Nagoti, dan Toring di bawah Djogo.

Pada 1 April 1915, menurut Indisch Staatsblad Nomor 743, Afdeling Flores dibentuk dipimpin seorang Asistant Residen berkedudukan di Ende, membawahi 7 Onder Afdeling, termasuk Onder Afdeling Ngada. Onder Afdeling Ngada dengan ibukotanya Bajawa terdiri dari 4 Landschap Bestuur yaitu Ngada dipimpin Djawatay, Nage dipimpin Roga Ngole, Keo dipimpin Moewa Tunga dan Riung dipimpin Petor Sila. Sedangkan Tadho dan Toring yang sebelumnya berdiri sendiri, bergabung dengan Riung. Karena pada tahun 1916-1917 terjadi perang Watuapi dipimpin Nipado, maka pengangkatan menjadi Bestuurder ( raja ) melalui penandatanganan Korte Verklaring ( perjanjian pendek ) sebagai pernyataan takluk kepada kerajaan Belanda baru dapat dilakukan pada 28 November 1917. Sebelum penandatanganan Korte Verklaring tersebut, Bestuurder (raja) diangkat dengan Keputusan Pemerintah ( Government Besluit ).

Pada tahun 1931/1932 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di wilayah Ngada adalah Onder Afdeling Ngada berpusat di Bajawa dipimpin oleh Controleur (seorang Belanda), mencakupi 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo di Boawae dan Riung di Riung. Landschap Bestuur Keo dan sebagian komunitas masyarakat adat Toto bergabung dengan Nage, menjadi Landschap Bestuur Nagekeo berpusat di Boawae.

Pada tahun 1938 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di Flores dan di wilayah Ngada mengalami penyempurnaan disesuaikan dengan Inlandsche Gemmente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ) yang dimuat dalam Ind. Stb. 1938 Nomor 490 jo Ind. Stb. 1938 Nomor 681. Struktur baru tersebut adalah Onder Afdeling Ngada dipimpin oleh Controleur ( orang Belanda ) mencakup 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung masing-masing dipimpin raja. Di bawah Landschap Bestuur adalah Gemmente / Haminte dipimpin oleh Kepala Haminte / Kepala Mere atau Gemmente Hoofd yang membawahi kampung-kampung yang dipimpin oleh kepala kampung.

Sebenarnya pada mulanya Belanda memilih Aimere sebagai ibukota Onder Afdelling Ngada karena mudah dijangkau melalui laut, sedangkan Bajawa dengan udaranya yang sejuk dan ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut disiapkan dan memang sangat cocok untuk tempat peristirahatan. Di Bajawa dibangun 3 buah pesanggrahan ( penginapan ) yaitu pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa, Mapolres Ngada dan Kantor Banwas Ngada sekarang. Tanah tempat bangunan pesanggrahan tersebut ditunjuk oleh Djawatay yang ketika itu diangkat menjadi Bestuurder Landschap Ngada. Bajawa kemudian ditetapkan sebagai ibukota Onder Afdeling Ngada mungkin dengan pertimbangan bahwa Bajawa lebih di tengah untuk bisa menjangkau wilayah Riung dan Nagekeo, sedangkan Aimere terlalu di pinggir barat. Ketika terbentuk Onder Afdeling Ngada pada 1 April 1915 dan Bajawa ditetapkan sebagai ibukotanya, maka pesanggrahan pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa dijadikan kantor, pada Mapolres Ngada sekarang menjadi tempat tinggal Gezaaghebber / Controleur dan pada Kantor Banwas sekarang tetap menjadi pesanggrahan. Kantor Controleur kemudian dibangun dari kayu pada sisi timur pesanggrahan ( pada lokasi Kantor Dinas Pendapatan sekarang ). Sangat disesalkan bangunan bersejarah tersebut, yang kemudian juga digunakan sebagai gedung DPRD Kabupaten Ngada telah diruntuhkan dan kini berganti dengan bangunan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ngada. Sedangkan Kantor Bestuurder ( raja ) dibangun di Kampung Bajawa.

Ketika Belanda mulai menjajah wilayah Ngada secara fisik, mereka menemukan kehidupan masyarakat masih sangat sederhana bahkan primitif serta sering bergolak karena terjadinya pertikaian antara suku. Untuk itu, Belanda berupaya mendirikan sekolah rakyat, selain untuk menjalankan “ politik etis “ pemerintah Belanda, juga agar masyarakat dapat baca-tulis, tidak primitif, dan juga memperhalus budi dan perilaku sehingga mengurangi pertikaian antar suku serta mengurangi pola pikir yang tidak rasional ( takhiul atau percaya sia-sia ).

Pada tahun 1908 Gezaaghebber Couvreur menyurati Misionaris Jesuit di Larantuka untuk mengirimkan guru ke Flores bagian barat, termasuk ke Bajawa, namun belum dikabulkan. Pada tahun 1911 Gezaaghebber Koremans dan Controleur Hens menyurati lagi Misionaris Jesuit di Larantuka dengan maksud yang sama. Pada tahun 1912 Misionaris Jesuit di Larantuka melalui Panitia Persekolahan Flores ( School Vereniging Flores ) yang baru dibentuk, mengirimkan seorang guru bernama Johanes Patipeilohy dan pada tahun yang sama membuka sekolah rakyat yang pertama untuk Onder Afdeling Ngada dengan nama Sekolah Rakyat Katolik Bajawa. Sekolah pertama ini menggunakan gedung yang sekarang ini menjadi Kantor PWRI di Jalan Gajah Mada. Pada tahun 1915 datang lagi dari Larantuka seorang guru bernama Markus Fernandez.

Kedua guru tersebut sekaligus menjadi Misionaris Awam Katolik pertama untuk Bajawa. Tercatat pada 19 Oktober 1915, Mgr. Petrus Noyen, SVD, dalam kunjungan pertamanya ke Bajawa, mempermandikan 28 orang anak sekolah menjadi orang Katolik pertama di Bajawa hasil didikan kedua guru tersebut. Mgr. Petrus Noyen, SVD menginap di pesanggrahan / tempat kediaman Controleur. Pada 28 April 1920, Mgr. Petrus Noyen, SVD bersama Pater J. de Lange, SVD dan Pater J. Ettel, SVD kembali mengunjungi Bajawa melalui Aimere dengan kapal KPM. Pada hari Minggu 9 Mei 1920 sebelum Pentekosta ada perayaan Komuni Pertama dan Krisma yang didahului dengan permandian 30 anak. Pater Ettel mencatat peristiwa itu sebagai berikut : “ Dari dekat dan jauh semua anak sekolah berdatangan bersama guru-guru mereka. Bajawa penuh dengan kuda. Upacara berlangsung dengan gemilang, belum pernah orang menyaksikan peristiwa semacam itu. Putera sulung Hamilton ( Gezaaghebber Onder Afdeling Ngada ) termasuk anak-anak yang menerima Komuni Pertama, ayah dan puteranya sama-sama menerima Sakramen Penguatan (Krisma), suatu hal yang memberi kesan yang sangat mendalam. Di halaman Gezaaghebber diselenggarakan suatu perjamuan pesta. Juga semua kepala desa / kampung diundang.”

Karena perkembangan umat Katolik sangat pesat, maka pada 11 Oktober 1921 berdirilah Paroki Mater Boni Consilii Bajawa, dengan Pastor Paroki pertama Pater Gerardus Schorlemer, SVD. Paroki yang baru ini belum memiliki gedung gereja, sehingga peribadatan dilakukan di gedung SRK Bajawa. Pada tahun 1922 sebuah gereja kecil di bangun pada lokasi gedung Patronat MBC yang lama. Pada 19 Juni 1928 Paroki MBC Bajawa menerima surat resmi dari kantor Van Inland Zelfbestuur yang ditandatangani oleh Raja Peamole yang menyerahkan sebidang tanah untuk membangun gedung gereja, pastoran dan kebutuhan lain bagi umat Katolik Paroki MBC Bajawa. Selanjutnya pada Oktober 1928, dimulailah pembangunan gedung gereja oleh seluruh umat dipimpin oleh Bruder Fransiskus, SVD. Bangunan gereja bergaya Gotik tersebut rampung dan diresmikan dalam upacara pemberkatan meriah oleh Mgr. Arnold Vestraelen, SVD pada 30 Mei 1930. Sedangkan pastoran MBC baru mulai dibangun pada 14 April 1937 dipimpin oleh Bruder Coleman, SVD.

Ketika itu masih sering terjadi pembunuhan akibat pertikaian antar suku. Karenanya, untuk menampung para hukuman, pemerintah membangun rumah tahanan atau penjara atau karpus yang dalam bahasa setempat menyebutnya “bui” atau “baru dheke”. Pada mulanya rumah tahanan dibangun darurat berdinding seng pada lokasi yang kemudian dibangun pasar (sekarang menjadi kantor Dinas Nakertrans). Sekitar tahun 1918 rumah tahanan berpindah lokasi ke depan tangsi Polisi dan dibangun permanen. Gedung tersebut sampai sekarang masih terjaga.

Untuk menjaga keamanan wilayah, di Bajawa ditempatkan sejumlah tentara. Untuk itu, dibangun tangsi tentara Belanda yang selanjutnya sekitar tahun 1939 beralih menjadi tangsi Polisi sampai sekarang. Sedangkan Mapolres yang ada sekarang adalah bekas pesanggrahan yang kemudian menjadi tempat kediaman Gezaaghebber.

Sebuah rumah sakit dibangun dalam bentuk bangunan kayu. Bangunan ini kemudian pernah menjadi Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Ngada dan sekarang telah diruntuhkan dan dibangun rumah dinas. Lokasi rumah sakit kemudian berpindah ke arah timur pada tempat Kantor Bappeda Ngada di Jalan Gajah Mada sekarang.

Kawasan perdagangan terletak pada sisi barat kota. Pada bekas bangunan darurat rumah tahanan dibangun pasar Bajawa, yang ketika pasar berpindah ke lokasi yang baru sekarang, bangunan pasar lama tersebut setelah direnovasi, digunakan berturut-turut sebagai kantor Dinas P dan K, Dinas PU, Kantor Departemen P dan K dan terakhir ditempati oleh Dinas Nakertrans. Kompleks pertokoan berada pada sepanjang Jalan Peamole sekarang.

Untuk kebutuhan pegawai, pemerintah Belanda membangun sejumlah rumah pegawai yang sekarang berada di Jalan Imam Bonjol, Jalan Gajah Mada, dan jalan di belakang Kantor Dinas Perkebunan menuju ke arah pasar Bajawa sekarang. Sedangkan rumah tinggal Controleur yang dibangun sekitar tahun 1928-1930, hampir bersamaan waktunya dengan pembangunan gedung Gereja Paroki MBC Bajawa, kini menjadi rumah jabatan Bupati Ngada.

Untuk memenuhi kebutuhan air minum, diambil air dari sumber mata air Waereke dan dibangun pula bak penampungan yang kini masih berdiri di depan TKK Bhayangkari Bajawa.

Untuk memenuhi kebutuhan akan pekuburan, sekitar tahun 1930, dibuka pekuburan Katolik pada lokasinya sekarang ini.

Perkembangan kota Bajawa yang bergerak ke arah utara dan timur, mengakibatkan “ Nua Limazua ” yang sebelumnya menjadi pusat pemukiman berada di pinggir kota. Di samping itu, sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan hampir semua rumah adat, terutama di kampung Bhajawa, Bokua dan Boseka, menyebabkan mereka mulai berpindah ke lokasi yang baru mengikuti arah perkembangan kota Bajawa. Sekitar tahun 30-an kampung Bokua dan Boseka berpindah ke arah timur pada lokasi sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan sesudahnya berpindah lagi ke arah selatan kaki bukit Pipipodo, pada lokasi kampung Bokua dan Boseka sekarang. Kampung Bongiso berpindah ke arah utara bergabung dengan Wakomenge yang turun dari puncak bukit Wolowakomenge ke tempatnya sekarang. Kampung Pigasina berpindah ke arah timur berdampingan dengan kampung Boripo sekarang. Sedangkan sebagian dari warga kampung Bajawa berpindah ke arah timur membentuk kampung Bajawa B, berlokasi di sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan kampung Bajawa C, berlokasi di kawasan Rumah Tahanan Bajawa sekarang.

Dalam struktur pemerintahan ketika itu, kawasan kota Bajawa termasuk dalam wilayah Haminte Ngadabawa dengan kepala haminte atau kepala mere yang pertama Waghe Mawo yang kemudian diganti oleh Nono Ene. Wilayah Haminte Ngadabawa meliputi kawasan kota Bajawa dan kampung sekitarnya yaitu Bhajawa, Bokua, Boseka, Bongiso, Boripo, Pigasina, Wakomenge, Wolowio, Beiposo, Likowali, Warusoba, Watujaji, Bowejo, Bosiko, Bejo, Bobou, Fui, Seso dan Boba. Setelah kemerdekaan, Nono Ene digantikan oleh Thomas Siu sebagai Kepala Mere Ngadabawa melalui pemilihan langsung. Menjelang pembentukan Daerah Tingkat II Ngada, Thomas Siu diganti oleh Paulus Maku Djawa.

DARI KEMERDEKAAN INDONESIA SAMPAI TERBENTUKNYA KABUPATEN NGADA 
( 1945-1958 )

Sampai kemerdekaan tahun 1945, kawasan kota Bajawa hanya terdiri dari kompleks gereja dan pastoran Paroki MBC, lapangan, rumah jabatan Controleur, pesanggrahan, kantor Controleur, Sekolah Rakyat Bajawa, rumah sakit lama, pasar lama, kompleks pertokoan lama, rumah penjara, tangsi Polisi dan sejumlah rumah dinas pegawai. Pemukiman penduduk berada di luar kawasan kota pada kampung-kampung sebagaimana digambarkan di atas.

Perkembangan kawasan kota Bajawa setelah kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1950 berjalan sangat lambat. Keadaan Negara Indonesia yang berada dalam masa perang kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kota Bajawa. Hampir tidak ada perkembangan. Setelah pada tahun 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan suasana perang berakhir, kota Bajawa mulai sedikit bertumbuh.

Pada 5 Desember 1953, para Suster Karmel Tak Berkasut membuka biara di Bajawa. Mereka langsung menempati pintu masuk kota Bajawa. Kehadiran para Suster Karmel Tak Berkasut dengan Klausura Agung di Bajawa, dengan doa dan keteladanan mereka, membawa nuansa yang khas bagi kota Bajawa dan perkembangan Gereja Katolik di Bajawa dan sekitarnya.

Pada tahun 1954, SRK Bajawa II ( sekarang SDK Kisanata ) didirikan. Bersamaan dengan itu, SRK Bajawa I ( sekarang SDK Tanalodu ) yang dibangun pada tahun 1912 berpindah lokasi ke tempat sekarang. Kedua sekolah tersebut akhirnya berdiri berdampingan, SRK Bajawa I untuk anak laki-laki dan SRK Bajawa II untuk anak perempuan.

Pada bulan Januari 1955, Yayasan Vedapura yang berdiri di Ende membuka Kantor Cabang Vedapura di Bajawa. Yayasan ini menangani persekolahan Katolik untuk seluruh wilayah Ngada, Nagekeo dan Riung, dan menempati kantornya sampai sekarang di Jalan Sugiopranoto Bajawa. Selain Yayasan Vedapura, berdiri pula Yayasan Sanjaya yang mendirikan SMPK Sanjaya Bajawa pada 1 Agustus 1955, sebagai SMP yang pertama untuk kota Bajawa dan menempati lokasi pada SMPN I Bajawa sekarang.

Pada 4 Maret 1957, para Suster FMM memulai karya mereka di bidang pendidikan, kesehatan dan karya sosial lainnya di Bajawa. Mereka membangun biara di luar kawasan kota bagian utara, pada lokasi yang mereka tempati sekarang di Jalan Yos Sudarso.

Luas kawasan pusat kota Bajawa mengalami sedikit perkembangan dengan kehadiran biara Karmel, SMPK Sanjaya, Susteran FMM dan SRK Bajawa II. Pada saat ditetapkan menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada, kawasan pusat kota Bajawa adalah utara dengan biara FMM, selatan dengan biara Karmel, timur dengan SMP Sanjaya dan pekuburan Katolik, barat dengan kali Waewoki, yang kini kita kenal sebagai “ down town ” atau kota lama.

Mengenai terpilihnya kota Bajawa menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada, H. Nainawa menuturkan bahwa pada mulanya Bajawa bersaing ketat dengan Boawae sebagai calon ibukota Daerah Tingkat II Ngada yang akan dibentuk. Dalam suatu pertemuan pada awal tahun 1958 di rumah jabatan Bupati sekarang yang dipimpin oleh Don J. D. da Silva yang ketika itu sebagai pejabat dari Provinsi Sunda Kecil, Frans Dapangole dan Emanuel Lena sebagai utusan dari Swapraja Nagekeo mengusulkan Boawae sebagai ibukota karena lebih berada di tengah. Sedangkan utusan dari Swapraja Ngada, A. J. Siwemole dan H. Nainawa serta Jan Jos Botha sebagai Ketua Partai Katolik Ngada mengusulkan Bajawa sebagai ibukota dengan pertimbangan sejarah yaitu bahwa Bajawa pernah menjadi ibukota Onder Afdeling Ngada dan sudah tersedia rumah jabatan serta kantor-kantor peninggalan Onder Afdeling Ngada.

Bajawa kemudian ditetapkan menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada dengan Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanggal 12 Juli 1958, dan peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 1958.