Jumat, 30 Maret 2012

Rakyat Melawan Tirani

Penguasa berkoar tentang statistika dan janji-janji
Raut meyakinkan dalam balutan senyum yang mengilusi
Menciptakan manajemen konflik dalam berbagai opini

Aparat militer tak ubahnya zombi
Alat rezim untuk menjaga supremasi
Agar kekuatan modal tetap menghegemoni

Rakyat dihadapkan dengan TNI-Polri
Perlengkapan perang versus perlengkapan aksi
Selongsongan peluru menghajar pekikan orasi


Sebagian elit lainnya mencoba manfaatkan situasi
Kembali berusaha membangun kampanye citra diri
Seolah membela gerakan yang sedang teradikalisasi

Rakyat tak boleh lagi sampai dibodohi
Harus berani percaya dengan kekuatan sendiri
Menggugat kemanusiaan yang terus dibantai

Gugus kelindan jaringan yang terangkai
Derapkan langkah satukan nurani
Bergerak maju menggempur tirani!

*******


Dante Che, 30 / 03 / 2012

Kamis, 29 Maret 2012

Dialog Dalam Barisan Demonstrasi

"Dalam bertarung, para pejuang rela berkorban, mati-matian, militan; para pemberani memenangkannya; dan para pecundang menguasainya. Coba kamu ingat, apa yang partai ini lakukan saat ibu pimpinan mereka menjadi penguasa negeri ini. Bukankah mereka tenang-tenang saja saat ibu pimpinan mereka menjual aset-aset nasional ke pihak asing? Bukankah saat berkuasa dulu, ibu pimpinan mereka berkali-kali menaikkan harga BBM, mensahkan UU no 13 tahun 2003 yang sangat merugikan kaum buruh, membebaskan koruptor-koruptor besar, tak berani mengadili para jenderal pelanggar HAM, tak berani mengusut kejahatan-kejahatan Orba, dsbnya. Mereka ini jelas bukan petarung, pejuang, atau pemberani. Mereka hanyalah lingkaran pecundang yang ingin memanfaatkan situasi dan wacana kenaikan BBM kali ini", Keithy membuka percakapan menghilangkan rasa bosan yang sejak tadi melanda.

"Kamu jelas bukan sosok pemaaf. Yang kedua, kamu harus paham bahwa materi itu selalu berubah, berdialektika. Yang dahulu kawan sekarang bisa jadi lawan, begitupula sebaliknya, yang dahulu lawan sekarang bisa jadi kawan. Di kelompok para elit sana juga ada perpecahan, juga ada faksi-faksi", Sishee menimpali sambil tetap asyik mengamati metode aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh Partai Dekrit Ibu Pimpinan.

Saat itu, belum genap tiga perempatnya senja, tapi Keithy sudah gerah berada di tengah hiruk-pikuk aksi demonstrasi yang lebih menyerupai rangkaian acara kampanye ini. Sementara aksinya konon bakal berlangsung hingga malam menjelang. "Kaum gerakan tak boleh kekiri-kirian, tak boleh berlaku elitis. Harus menghampiri kaum ekonomis, moralis, bahkan yang reaksioner sekalipun. Karena tak ada gerakan yang besar yang tak politis", lanjut Sishee di sela-sela dentuman musik dangdut yang mengalun dari mobil komando. Tampak pula para kader-kader dan simpatisan yang berkaraoke, asyik berjoget ria sambil memaki-maki ketua DPRD (dewan pimpinan rok-mini daerah), Gubernur, dan Presiden yang kebetulan berlatarbelakang dari Partai Duit. Bahkan Walikota perempuan yang mereka usung dan menangkan dalam pilkada-pun dimaki-maki karena tak mau menemui mereka. Beberapa Polwan cantik tampak berusaha untuk tidak salah tingkah, saat jadi sasaran godaan massa aksi, yang didominasi kaum pria.

"Tapi begini Sishee, orang-orang selalu menjadi korban tipu muslihat atau sering menipu diri dalam kehidupan politiknya, dan mereka akan terus menerus bersikap demikian bila mereka tidak berhasil memahami kepentingan-kepentingan klas di balik tabir moral, agama, sosial-politik, deklarasi-deklarasi, dan janji-janji".  Sishee tersenyum, mengangkat bahu, sejurus kemudian, tampak teringat sesuatu. "Ah Keithy, itu kan kata-katanya Vladimir Lenin tentang prinsip metodologi Marxisme yang paling mendasar, tentang pendekatan klas. Yang mengasumsikan bahwa masyarakat terbagi ke dalam klas-klas".

Maka, mulailah dua sahabat yang bolos kuliah untuk ikut demonstrasi itu tenggelam dalam debat tentang berbagai hal yang mereka baca ataupun pelajari sendiri. "Begini Sishee, benar bahwa di antara kaum elit-pun ada perpecahan, persaingan, ataupun faksi-faksi. Tapi berbeda dengan faksi-faksi dalam kaum gerakan yang punya perspektif anti imperialisme asing dan menolak sisa-sisa feodalisme, elit-elit kita kan tak lebih dari borjuasi komprador. Bermental pengecut sejak kemunculannya, progresif saat tertekan, dan konservatif saat memimpin. Sebelum berkuasa, ibu Megawereng muncul sebagai sosok yang dizolimi pak Hartomcat. Setelah turun dari kekuasaan, malah menuduh Jend (Purn) SiBuaYa menusuknya dari belakang. Itu politik Sishee, tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Mereka sama-sama berkepentingan terhadap berlangsungnya hegemoni kapitalisme dan mendapatkan ceceran kekuasaan. Pro-kontra kenaikan BBM tak lebih dari upaya kampanye merebut simpati rakyat, atau yang lebih parah lagi, seperti biasa, adalah media pengalihan isu. Mulai dari persoalan peradilan para tersangka korupsi, pilkada di daerah pusat kekuasaan, dll. Sebagaimana yang Don Corleone katakan, di balik setiap keuntungan yang besar, terdapat kejahatan yang besar".

Saat Keithy sedang panjang lebar memberikan penjelasannya pada Sishee, tampak beberapa kader Partai Dekrit Ibu Pimpinan sedang membagi-bagikan nasi bungkus, tahu isi, dan minuman kepada massa aksi yang sejak beberapa menit lalu mulai berkurang drastis, ditinggal pulang.  Belakangan diketahui kalau ternyata banyak yang lapar, sebagian lagi beralasan ngantuk, dan beberapa punya agenda lain. Dari atas mobil komando, sang orator mewanti-wanti massa aksi agar jangan ikut-ikutan pulang, karena makanan untuk alas perut sudah datang.

"Nah Sishee coba kamu lihat. Seumur-umur ikut aksi, baru kali ini ada aksi yang bagi-bagi nasi bungkus tanpa kita urunan sebelumnya". Sishee tampak sedikit kesal, " Keithy, kita ke sini kan bukan untuk mengamati pembagian makanannya. Kita kan bersolidaritas. Ini partai oligarkis, yah kita-pun sama-sama tahu. Tapi coba kamu ingat-ingat, setelah PKI (Partai Komunis Indonesia), belum ada lagi partai besar yang punya basis massa banyak yang memakai politik mobilisasi massa. Partai-partai besar kan selalu berkompromi, penyelesaian dengan jalan deal-dealan. Ada partai besar memobilisasi basis massa dengan tuntutan menolak kenaikan BBM seperti ini tentulah sebuah kemajuan, dan patut diapresiasi. Kita harus bisa mengambil manfaat dari radikalisasi isu kenaikan BBM ini".

"Hey Sishee, sebelum ini kan ada Partai Keongracun Selamat yang juga memakai politik mobilisasi massa, menyerukan jihad melawan Yahudi. Tapi mobilisasi massanya Partai Keongracun Selamat dengan Partai Dekrit Ibu Pimpinan ini berbeda dengan politik mobilisasi massanya PKI. PKI adalah partai modern pertama di Indonesia yang sejak kemunculannya tetap konsisten melawan kolonialisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme. Memimpin perjuangan berbagai organisasi kaum progresif revolusioner yang terorganisir dan terpimpin, yang terdiri dari klas buruh, kaum tani, mahasiswa, pemuda, seniman, dan kaum perempuan. PKI juga tercatat sebagai organisasi politik pertama yang melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kolonial. Caat itu: massa yang terorganisir dan terpimpin, bukan massa mobilisir seperti ini", sahut Keithy berapi-api.

"Iya tapi semua kan butuh proses, Keithy. Harus selalu sabar dan cerdik memasok kesadaran sejati dalam setiap panggung yang disediakan". Keithy tak mengindahkan celetukan Sishee, terus melanjutkan, "Januari lalu ibu Megawereng menganjurkan pemerintah menaikan harga BBM. Tapi beberapa minggu lalu, malah mengecam wacana kenaikan harga BBM yang digulirkan pemerintah, dan sekarang justru meneken tanda tangan yang berisi seruan melarang kader-kader Partai Dekrit Ibu Pimpinan terlibat dalam aksi demontrasi menolak kenaikan BBM. Di bawah radikal, kok di atas malah main MoU-an".

"Iya Keithy, semoga kaum gerakan bisa menjadi alternatif menuju perubahan yang lebih baik di negeri ini, tanpa perlu merusak lampu merah, mobil dinas, tanki, fasilitas umum, atau ketentraman warga." Senja telah turun menghampiri, keduanya makin jauh dari barisan massa aksi, hanya lagu iwak peyek yang masih samar-samar terdengar. SPBU yang baru dilewati-pun tampak sepi, hanya satu-dua kendaraan yang singgah untuk mengisi bahan bakar. Tak ada antrian panjang seperti yang heboh diberitakan di media massa. Kota Showrockboyo tetap seperti sediakala.

[Note: Kesamaan atau kemiripan nama, peristiwa, lokasi, maupun momen hanyalah kebetulan semata,- tanpa ada kesengajaan.:)]


******* 

Dante Che, 28/ 03/ 2012

Minggu, 25 Maret 2012

Sepak-Bola Modern

Permainan purba turun temurun
Berbalut melodi dramatik yang mengalun

Sejak masa Chao-Chao di pertempuran bukit merah
Hingga masa modern yang berdarah-darah

Berubah berkembang seiring lintasan benua
Berebut klaim pemilik sah di bawah semesta

Cikal bakal, penemu, sekaligus maestro
Bak gladiator jaman Romawi kuno

Para prajurit beradu tangkas
Kerja sama sebelas melawan sebelas

Gemuruh gegap gempita suporter
Mengiringi tiupan peluit sang arbiter

Dewa dewi pantas blingsatan
Kawula telah mulai beralih pemujaan

Lapangan hijau melahirkan banyak penyelamat
Dalam aksi-aksi menawan nan memikat

Pele, Maradona, Zidane, hingga Messi
Kepada merekalah dialamatkan novena dan devosi

Akhir pekan peringatan penciptaan alam
Kapital berputar kencang tak kenal siang-malam

Sebutir bola mungil yang liar menggelinding
Menghadirkan berbagai kenikmatan dalam gemerincing

*******

Dante Che, 25 / 03 / 2012

Kamis, 22 Maret 2012

Bukan Sebuah Ratapan Prihatin

Kami takkan berunding dengan maling di rumah kami sendiri, begitulah guratan seruan Tan Malaka pada kolonialisme dan fasisme yang menjajah Indonesia kala itu. Kini memang tak ada lagi para kompeni berambut api yang seenaknya memerintah kerja rodi atau para prajurit cebol yang semena-mena menyiksa pekerja romusha. Van den Bosch ataupun Hirohito telah lama mati, tapi warisan ide-ide mereka tentang eksploitasi negeri jajahan kini telah hadir dalam kemasan baru yang berbeda. Konon sopan, beretika-moral, dan sesuai dengan beragam tetek bengek regulasi.

Para pemimpin negeri masa kini lebih asyik dalam selubung demokrasi elitisme yang mereka ciptakan sendiri. Lima tahun sekali mendekati rakyat dengan macam-macam janji, selebihnya tiap hari memenuhi layar media elektronik ataupun menjadi berita di media cetak, sok mengutuki sistem tanpa memberikan jalan keluar yang konkrit dan sejati bagi rakyat.

Tan tentu saja bukan orang yang suka berputus asa, lebay, atau suka curhat pada publik. Tetapi, kalau menyaksikan situasi saat ini, paling tidak akan sungguh terperangah. Sebelum wafat, dia masih menyaksikan dan mendengar ada pemimpin negeri bekas jajahan yang berani menyerukan dan menegakkan kedaulatan politik, ekonomi yang berdikari, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Berani menolak dominasi modal asing, berani bilang pada negeri imperialisme; go to hell with your aid, atau kata-kata; Inggris kita linggis-Amerika kita seterika, dll.

Elit-elit sekarang seolah-olah lupa pada sejarah bangsanya sendiri. Lebih memilih berkolaborasi, berkompromi, atau menjadi komprador-calo hegemoni modal asing, ketimbang mendukung atau mendorong progresifitas rakyat yang sedang marak di mana-mana. Kalaupun saat ini ada elit yang terlibat dalam aksi-aksi massa rakyat, toh tak lebih, hanya dipakai sebagai posisi tawar berebut ceceran kekuasaan.

Sehingga, rakyat haruslah belajar berorganisasi dan berpolitik, mendirikan lebih banyak organisasi-organisasi kerakyatan, rakyat haruslah punya kepercayaan diri untuk tidak lagi percaya pada elit-elit komprador, agar perjuangan rakyat yang tulus dan militan tidak sia-sia dan hanya sekedar tumpangan kaum oportunis.

Rakyat haruslah mempelajari kembali sejarah bangsanya secara lurus, bahwa negara ini terbentuk karena perjuangan rakyat, bukan hadiah dari siapapun. Tidak boleh lagi lupa, atau seolah-olah lupa. Seperti yang Milan Kundera tulis, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.


*******

Dante Che, 22 / 03 / 2012

Rabu, 21 Maret 2012

Jogging Pagi

Lembaran hari baru dibuka
Sejuknya udara pagi menerpa
Sisa-sisa kantuk hilang sirna
Segar memupuk asa
Memacu gerak menatap cakrawala
Walau nafas tersengal satu-dua
Desahan nafas menyesaki rongga dada
Kadang menafikan fakta sebagai insomnia
Arungi lingkaran jalanan kota
Deretan pepohonan sepanjang jalan raya
Padu padanan penyehat raga
Menikmati pagi dan sejuk-segarnya udara
Yang sungguh sangat mahal harga
Bersemangatlah senantiasa!

*******

Dante Che, 22 / 03 / 2012

Cerpen Tanpa Dialog

Pengunjung mulai tampak penuh ketika Juan dan Evita memasuki kafe ini. Kafe bernama X-tra Large. Nama yang mirip dengan brand sebuah kartu seluler yang sedang tren, kartu seluler tersebut yang juga kebetulan menjadi media berkomunikasi Juan dan Evita hingga akhirnya janjian untuk bertemu di kafe yang terletak di pinggiran kota yang cukup panas ini. Kota yang beberapa waktu lalu baru saja menghentakkan pentas nasional dengan menampilkan kecerdasan dan kreatifitas anak-anak SMK dalam membuat mobil.Yang entah kenapa pula, ditolak sebagai mobil nasional dan tak bisa diproduksi massal.


Juan dan Evita yang ini tentu saja bukan Juan dan Evita Peron, pasangan beken dari Argentina, negara favorit mereka setelah Indonesia, karena trinitasnya; Evita, Maradona, dan Che Guevara. Juan dan Evita Peron yang legendaris itu, kini tinggalah menjadi legenda yang dikenang sebagai pemimpin yang membela kepentingan rakyat marginal, yang berkuasa pada dekade 1940-an sampai 1970-an. Juan dan Evita Peron tentu saja adalah idola mereka, tepatnya sejak mereka duduk di kelas 1 SD, medio tahun 1996. Tahun di mana film Evita yang dibintangi Madonna, Antonio Banderas, dan Jonathan Pryce laku keras di pasaran. Walau kini Argentina telah memiliki pasangan baru dan menjadi pemimpin yang membela kepentingan rakyat dalam diri Nestor dan Christina Kirchner, tetap saja pesona Juan dan Evita Peron tak lekang dari keduanya.

Juan dan Evita bersama melewati masa kanak-kanak mereka di daerah Dukuh Kupang, Surabaya Selatan. Kala itu, Dukuh Kupang belumlah seramai dan sepadat sekarang, yang kini diapiti oleh beragam bangunan dan corak budaya. Sebelah selatan ada kawasan prostitusi Dolly di jalan Jarak yang menjadi kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara dan menjadi salah satu sumber terbesar pendapatan daerah, ada perkuburan Kristen-Belanda di Kembang Kuning yang kini ramai dipakai sebagai tempat mangkal kaum waria kala malam menjelang, di utara ada deretan sekolah-sekolah mulai SD sampai SMA, di bagian timur ada wilayah Simo yang sore hari selalu ramai dengan pasar rakyat yang menjual berbagai macam barang dengan harga terjangkau, di bagian barat ada Ciputra World yang superlengkap sebagai sarana rekreasi, ada Vida Triple Seven sebagai tempat menonton film dan arena permainan billyard, ada juga julangan hotel yang salah satunya adalah Shangri-La; yang biasa dipakai elit-elit untuk mengkonsolidasikan kekuatan sekaligus memacetkan jalanan Mayjend Sungkono, ada juga berbagai apartemen, tempat karaoke, dan restoran cepat saji Mc Donald yang berhadapan dengan citarasa Ikan Bakar Cianjur.

Karena di Dukuh Kupang ketika itu hanya ada Supermarket, Islamic Centre, Gereja, Kampus, Kantor Polres, dan deretan berbagai macam warung, maka akhir pekan masa kecil mereka biasanya diisi dengan nonton film di Tunjungan Plaza atau jalan-jalan ke Taman Kenjeran. Ada banyak tempat, baik sebagai tempat rekreasi maupun tempat-tempat bersejarah yang bisa dikunjungi untuk menambah pengetahuan ataupun memaknai perjuangan para pahlawan. Ada Tugu Pahlawan, Bambu Runcing, Hotel Majapahit (dulu Hotel Oranje/Yamato), Jembatan Merah, Balai Pemuda, Gedung Cak Durasim, dan masih banyak lagi tempat-tempat lainnya. Tapi mereka seringkali memilih mengunjungi Taman Kenjeran untuk melihat Patung Liberty tiruan di pintu masuk taman tersebut, atau Patung Buddha dan Dewi Kwam Im di kuil yang terletak di tepi pantai. Tentu saja dengan ditemani kedua orangtua mereka. Taman yang pantainya kini tak lagi indah, karena sering tercemar, dan kini lebih sering dipakai sebagai tempat pacaran bebas ala anak-anak ABG kala malam gulita.

Ketika kelas 4 akan memasuki caturwulan (cawu) ke-2, Evita pindah ke Jakarta, mengikuti orang tuanya. Saat itu, usia 9 tahun dan hubungan di antara orang tua keduanya yang hanya diikat oleh kepentingan usaha dan pekerjaan, membuat keduanya putus komunikasi sama sekali. Hingga akhirnya usia mereka memasuki 21 tahun. Mark Zuckerberg, orang Yahudi-Amerika yang tak pernah mereka kenal itu, menolong mereka untuk kembali merajut tali komunikasi melalui media buatannya yang bernama facebook. Selanjutnya telephone, sms, dan BBM-an menjadi media perantara untuk menghilangkan jarak jauh yang membentang antara Jakarta dengan Surabaya, media yang meminimalisir rindu yang membuncah di antara mereka.

12 tahun tak pernah bersua, ada banyak perubahan yang mereka rasakan. Demikianlah, alam beserta isinya akan selalu berubah dan berkembang maju seturut lajunya sang khronos, waktu. Dulu, makanan favorit mereka adalah AW paket 1; sekepal nasi, 2 potong ayam, dan root-beer dingin. Kini, Juan yang menderita asma dan tak tahan dengan udara atau cuaca dingin, punya teori sendiri yang diyakininya, yakni cukup meminum air putih tanpa es, sedangkan Evita yang menderita kolesterol pada usia muda ini, dilarang untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung minyak, termasuk buah duren yang menjadi kesukaannya.

Suasana kafe yang tenang meski lagi ramai pengunjung, iringan lantunan spesial lagu-lagu Oldies milik Nike Ardilla yang kebetulan adalah penyanyi Indonesia yang sangat diidolakan Evita, membuat percakapan di awal sua menjadi lebih santai. Karakter tanpa basa basi say hello ba-bi-bu ciri khas mereka ternyata tak pernah hilang. Dalam sebentar saja, mereka sudah pindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mulai dari kisah Gesang sang seniman kerakyatan yang menguraikan kisah aliran sungai yang mengaliri bagian bawah kafe ini lewat lagu kroncongnya, wacana kenaikan BBM dan isu pelarangan rok mini, pemilukada wilayah pusat yang melibatkan walikota daerah ini, kilasan film Pak Belalang yang jadi trending topic obrolan masa kecil mereka di sekolah dasar, diskusi filsafat tentang pertarungan materi versus ide, tentang menteri yang mengamuk di pintu tol, hingga perebutan Gunung Kelud antara Blitar dengan Kediri, dan ngalor-ngidul berbagai macam obrolan lainnya. Tak kalah keceriannya dengan seorang perempuan berkebaya dan sekelompok seniman lokal yang mengalunkan tembang demi tembang di sudut kafe ini.

Menjelang senja mereka pamitan pulang, berpisah. Juan harus segera kembali ke Surabaya, karena besok paginya dia ada jadwal kuliah. Tugasnya sebagai mahasiswa fakultas hukum yang melakukan penelitian di kota ini telah selesai sejak seminggu yang lalu. Sebaliknya, Evita harus kembali ke Jogja, menjemput anaknya yang baru berumur 2 tahun untuk kembali ke Jakarta.


Sekian.

*******

Dante Che, 21 / 03 / 2012

Selasa, 13 Maret 2012

Mak Ojan di Jalan Diponegoro

Deru kendaraan membelah jalanan
Lampu berpendaran
Nampak beringsut-ingsut sesosok bayangan
Yang hilang muncul di balik taman
Cahaya lampu yang temaran
Satu dua genangan
Sisa-sisa garukan penggusuran
Sedikit menghambat pencarian
Hingga akhirnya nampak orang sekumpulan
Yang sejurus pada lari berhamburan
Menyisakan seorang nenek sendirian
Dan tampak keletihan
Baru diketahui belakangan
Konon sang nenek dari Lamongan
Biasa disapa Mak Ojan
Tak punya handai taulan
Sehari-hari mengais di tempat sampah pembuangan
Buat penyambung nafas kehidupan
Tempat sampah menjadi media pengais keadilan
Yang dibuang dari balik gedung-gedung kekuasaan
Diponegoro, nama seorang pahlawan
Menjadi sebuah nama jalan
Tempat bersembunyi orang-orang yang disingkirkan


*******

Dante Che, 14 / 03 / 2012

Coretan Tentang Bangsa

Dalam salah satu tulisan dialogalnya, antara Candide kepada Martin, Voltaire menulis, "percayakah anda bahwa manusia selalu berbunuh-bunuhan, bahwa manusia selalu merupakan pengkhianat, idiot, maling, bajingan, rakus, pelit, pencemburu, dan munafik?" Sahut Martin, "elang selalu makan anak burung kalau berhasil menemukannya". Tentu saja, jawab Candide.  Cuplikan dari goresan Voltaire di atas bagaikan analogi terhadap realitas obyektif bangsa ini. Sejak negara-bangsa ini dibentuk, sudah tercatat begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling sadis misalnya, pembunuhan masal pada kelompok progresif di akhir dekade 1960-an, pembantaian di Santa Cruz-Timor Leste dan wilayah konflik lainnya (semisal; Papua, Aceh, dll), penyiksaan dalam tahanan secara sadis, penggusuran penduduk dari tempat tinggalnya, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang dilakukan penguasa atas nama negara dan kepentingan umum.

Yang terbaru, polemik kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mengiringi hingar-bingar wacana pelarangan pemakaian rok mini di seputaran gedung para wakil rakyat. Dua wacana yang sangat bertolak belakang dengan pesan Bung Karno sejak jauh-jauh hari, tentang bahaya neokolonialisme - imperialisme dan patriarki warisan tatanan feodalisme. Alih-alih mengkritisi kenaikan harga BBM yang akan ditempuh pemerintah, para wakil rakyat justru memilih untuk meributkan 'kenaikan' rok.

Seperti sudah dikatakan di atas, kenaikan BBM adalah cerita kesekian tentang kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Sudah sejak lama pula perlawanan rakyat dilakukan bertubi-tubi, mulai dari pemogokan buruh, petani dan rakyat miskin yang menolak penggusuran, perlawanan mahasiswa, hingga perjuangan kaum perempuan menuntut kesetaraan; dengan berbagai macam kesadaran dan tuntutan, entah itu ekonomis, moralis, humanis, politis, ideologis, dsb-nya.

Melihat spontanitas perlawanan rakyat yang marak terjadi, para elit yang tak mau dicap SDM mini di tengah SDA yang maksi, berlomba-lomba merebut simpati rakyat. Setiap hari, di media massa, entah itu media cetak ataupun media elektronik, rakyat disuguhkan tontonan sengketa politik para elit sisa-sisa orde baru, reformis gadungan, dan aktifis-aktifis oportunis, berkoar-koar tentang kesejahteraan rakyat yang terancam akibat dinaikkannya harga BBM, tentang menolak neoliberal, tanpa memberikan jalan keluar sejati bagi rakyat yang konon mereka atas-namakan.

Pertarungan para elit yang tentu saja sama-sama pengabdi modal asing ini, menimbulkan kebingungan pilihan bagi rakyat. Kekuatan gerakan rakyat sendiri masihlah sangat kecil dan terpecah-pecah, padahal globalisasi penindasan modal asing semakin mencengkeram melalui regulasi-regulasi yang terlihat ilmiah dan rasional buatan elit-elit kita sendiri. Di antaranya, masifikasi eksploitasi kekayaan alam, penguasaan perdagangan (dengan membebaskan pajak impor, sedangkan ekspor harus dibatasi), intervensi politik (untuk meloloskan serangkaian kebijakan investasi), privatisasi BUMN, pencabutan subsidi pendidikan dan kesehatan, serta yang terbaru adalah pengurangan subsidi BBM, dll.

Di tengah situasi dan kondisi rakyat yang tanpa kekuatan; tanpa tanah, pengetahuan, modal, teknologi, dan organisasi, perlahan-lahan menyeruak pertanyaan dari sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arus Balik, "masih dapatkah arus balik membalik lagi?"

Menjadi suatu tuntutan, kebutuhan untuk menuntaskan perjuangan pembebasan nasional dengan melawan imperialime dan pemerintahan agen imperialisme, serta tidak berkolaborasi dengan elit-elit pengabdi modal asing, dengan cara mengembalikan partisipasi rakyat banyak dalam kehidupan politik, serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat melalui politik mobilisasi massa, demokrasi partisipatoris.

*******

Dante Che, 13 / 03 / 2012

Sabtu, 03 Maret 2012

Renungan Singkat Meditasi Harian

Pada zaman dahulu, ada seorang pangeran yang menerima seekor burung yang sangat bagus dan jarang terdapat. Ia memberi nama Twee-twee, dan ditaruhnya pada sebuah sangkar emas. Tetapi makhluk yang malang itu tidak terkesan oleh sangkarnya. Ia memohon supaya dilepaskan. Tetapi sang pangeran sangat suka padanya, sehingga tak mau melepaskannya. Lalu Twee-twee memohon kepada pangeran agar sudi mengunjungi keluarganya di tengah hutan dan menceritakan pada mereka, bahwa meskipun ditahan, tetapi masih hidup.

Didorong oleh rasa sukanya pada burung tersebut, sang pangeran menyanggupi permintaannya. Berangkatlah pangeran ke hutan untuk menemui komunitas burung tersebut. Singkat cerita, setelah mendengar penuturan sang pangeran, segera kakak perempuan Twee-twee jatuh ke tanah dan pangeran sadar bahwa ia mati karena kesedihannya. Sedih karena mengetahui bahwa Twee-twee yang indah dan sangat mencintai kebebasan itu kini dikurung. Dengan sedih hati, sang pangeran kembali dan menceritakan kepada Twee-twee mengenai hal itu.

Seketika itu juga, Twe-twee jatuh tak sadarkan diri dengan cara yang sama seperti kakak perempuannya, lemas tak berdaya ke bawah dasar sangkarnya dan mati. Pangeran tersebut lalu mengeluarkan Twee-twee dari sangkar emasnya dan melemparkannya melalui jendela dan berkata bahwa, apakah gunanya menyimpan burung ini, jika ia telah mati. Dalam sekejap Twee-twee terbang pergi, berkicau dari ranting pohon yang satu ke ranting pohon yang lainnya. Yang pangeran sangkai adalah kabar buruk ternyata adalah sebuah pelajaran. Dengan pura-pura mati, kakakku mengajarkan kepadaku cara yang sama untuk lari, begitulah kicau Twee-twee dengan riangnya.

Demikianlah, banyak yang mencari-cari arti dari wafatnya Yesus di bukit Kalvari, dengan berbagai latar sentimentilnya. Karena itu, banyak yang hanya melayang-layang saja, meneliti berbagai hal yang mungkin dan tidak pasti, serta terus mencari dalam keabsurditasannya. Anak seorang tukang kayu yang mengubah  dunia sejak kelahirannya, pelayanan-pelayanannya, hingga kematiannya.

Kisah hidupnya mengajarkan kepada siapa saja untuk berani memikul salib hidupnya masing-masing, menghadapi berbagai kontradiksi dalam hidup dengan berani, teguh dalam pilihan, konsisten dalam menjalankan, dan bertanggungjawab pada hidup. Begitulah, orang bijaksana selalu mengajarkan hidup dengan pralambang perbuatan-perbuatan.

Selamat menjalankan masa Pra-Paskah buat semua!


*******

Dante Che, 03/03/2012