Kamis, 22 Maret 2012

Bukan Sebuah Ratapan Prihatin

Kami takkan berunding dengan maling di rumah kami sendiri, begitulah guratan seruan Tan Malaka pada kolonialisme dan fasisme yang menjajah Indonesia kala itu. Kini memang tak ada lagi para kompeni berambut api yang seenaknya memerintah kerja rodi atau para prajurit cebol yang semena-mena menyiksa pekerja romusha. Van den Bosch ataupun Hirohito telah lama mati, tapi warisan ide-ide mereka tentang eksploitasi negeri jajahan kini telah hadir dalam kemasan baru yang berbeda. Konon sopan, beretika-moral, dan sesuai dengan beragam tetek bengek regulasi.

Para pemimpin negeri masa kini lebih asyik dalam selubung demokrasi elitisme yang mereka ciptakan sendiri. Lima tahun sekali mendekati rakyat dengan macam-macam janji, selebihnya tiap hari memenuhi layar media elektronik ataupun menjadi berita di media cetak, sok mengutuki sistem tanpa memberikan jalan keluar yang konkrit dan sejati bagi rakyat.

Tan tentu saja bukan orang yang suka berputus asa, lebay, atau suka curhat pada publik. Tetapi, kalau menyaksikan situasi saat ini, paling tidak akan sungguh terperangah. Sebelum wafat, dia masih menyaksikan dan mendengar ada pemimpin negeri bekas jajahan yang berani menyerukan dan menegakkan kedaulatan politik, ekonomi yang berdikari, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Berani menolak dominasi modal asing, berani bilang pada negeri imperialisme; go to hell with your aid, atau kata-kata; Inggris kita linggis-Amerika kita seterika, dll.

Elit-elit sekarang seolah-olah lupa pada sejarah bangsanya sendiri. Lebih memilih berkolaborasi, berkompromi, atau menjadi komprador-calo hegemoni modal asing, ketimbang mendukung atau mendorong progresifitas rakyat yang sedang marak di mana-mana. Kalaupun saat ini ada elit yang terlibat dalam aksi-aksi massa rakyat, toh tak lebih, hanya dipakai sebagai posisi tawar berebut ceceran kekuasaan.

Sehingga, rakyat haruslah belajar berorganisasi dan berpolitik, mendirikan lebih banyak organisasi-organisasi kerakyatan, rakyat haruslah punya kepercayaan diri untuk tidak lagi percaya pada elit-elit komprador, agar perjuangan rakyat yang tulus dan militan tidak sia-sia dan hanya sekedar tumpangan kaum oportunis.

Rakyat haruslah mempelajari kembali sejarah bangsanya secara lurus, bahwa negara ini terbentuk karena perjuangan rakyat, bukan hadiah dari siapapun. Tidak boleh lagi lupa, atau seolah-olah lupa. Seperti yang Milan Kundera tulis, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.


*******

Dante Che, 22 / 03 / 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar