Selasa, 13 Maret 2012

Coretan Tentang Bangsa

Dalam salah satu tulisan dialogalnya, antara Candide kepada Martin, Voltaire menulis, "percayakah anda bahwa manusia selalu berbunuh-bunuhan, bahwa manusia selalu merupakan pengkhianat, idiot, maling, bajingan, rakus, pelit, pencemburu, dan munafik?" Sahut Martin, "elang selalu makan anak burung kalau berhasil menemukannya". Tentu saja, jawab Candide.  Cuplikan dari goresan Voltaire di atas bagaikan analogi terhadap realitas obyektif bangsa ini. Sejak negara-bangsa ini dibentuk, sudah tercatat begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling sadis misalnya, pembunuhan masal pada kelompok progresif di akhir dekade 1960-an, pembantaian di Santa Cruz-Timor Leste dan wilayah konflik lainnya (semisal; Papua, Aceh, dll), penyiksaan dalam tahanan secara sadis, penggusuran penduduk dari tempat tinggalnya, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang dilakukan penguasa atas nama negara dan kepentingan umum.

Yang terbaru, polemik kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mengiringi hingar-bingar wacana pelarangan pemakaian rok mini di seputaran gedung para wakil rakyat. Dua wacana yang sangat bertolak belakang dengan pesan Bung Karno sejak jauh-jauh hari, tentang bahaya neokolonialisme - imperialisme dan patriarki warisan tatanan feodalisme. Alih-alih mengkritisi kenaikan harga BBM yang akan ditempuh pemerintah, para wakil rakyat justru memilih untuk meributkan 'kenaikan' rok.

Seperti sudah dikatakan di atas, kenaikan BBM adalah cerita kesekian tentang kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Sudah sejak lama pula perlawanan rakyat dilakukan bertubi-tubi, mulai dari pemogokan buruh, petani dan rakyat miskin yang menolak penggusuran, perlawanan mahasiswa, hingga perjuangan kaum perempuan menuntut kesetaraan; dengan berbagai macam kesadaran dan tuntutan, entah itu ekonomis, moralis, humanis, politis, ideologis, dsb-nya.

Melihat spontanitas perlawanan rakyat yang marak terjadi, para elit yang tak mau dicap SDM mini di tengah SDA yang maksi, berlomba-lomba merebut simpati rakyat. Setiap hari, di media massa, entah itu media cetak ataupun media elektronik, rakyat disuguhkan tontonan sengketa politik para elit sisa-sisa orde baru, reformis gadungan, dan aktifis-aktifis oportunis, berkoar-koar tentang kesejahteraan rakyat yang terancam akibat dinaikkannya harga BBM, tentang menolak neoliberal, tanpa memberikan jalan keluar sejati bagi rakyat yang konon mereka atas-namakan.

Pertarungan para elit yang tentu saja sama-sama pengabdi modal asing ini, menimbulkan kebingungan pilihan bagi rakyat. Kekuatan gerakan rakyat sendiri masihlah sangat kecil dan terpecah-pecah, padahal globalisasi penindasan modal asing semakin mencengkeram melalui regulasi-regulasi yang terlihat ilmiah dan rasional buatan elit-elit kita sendiri. Di antaranya, masifikasi eksploitasi kekayaan alam, penguasaan perdagangan (dengan membebaskan pajak impor, sedangkan ekspor harus dibatasi), intervensi politik (untuk meloloskan serangkaian kebijakan investasi), privatisasi BUMN, pencabutan subsidi pendidikan dan kesehatan, serta yang terbaru adalah pengurangan subsidi BBM, dll.

Di tengah situasi dan kondisi rakyat yang tanpa kekuatan; tanpa tanah, pengetahuan, modal, teknologi, dan organisasi, perlahan-lahan menyeruak pertanyaan dari sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arus Balik, "masih dapatkah arus balik membalik lagi?"

Menjadi suatu tuntutan, kebutuhan untuk menuntaskan perjuangan pembebasan nasional dengan melawan imperialime dan pemerintahan agen imperialisme, serta tidak berkolaborasi dengan elit-elit pengabdi modal asing, dengan cara mengembalikan partisipasi rakyat banyak dalam kehidupan politik, serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat melalui politik mobilisasi massa, demokrasi partisipatoris.

*******

Dante Che, 13 / 03 / 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar