Kamis, 26 Januari 2012

Nasi Goreng, Aqua, Mild (Malam Kala Krisis)

Malam tepat berada di tengah-tengah
Satu dua, nafas terengah-engah
Maag menyambangi bangkitkan desah
Asma menyerang, hampir menyerah
Kesana kemari mencari tanpa lelah
Mata tak awas seolah lengah
Seakan lupa pada tradisi nyatat yang mewabah
Nasi goreng berpadu hentakan kunyah
Aqua membuat tenggorokan tetap basah
Mildpun didapat sambil menahan jengah
Akhirnya kantuk hadir tanpa resah
Menutup kalut usang sebagai kisah
Tentang hidup yang diliputi senang dan susah
Yang kan terkenang sebagai sejarah


*******

Dante Che, 27/01/2012

Selasa, 24 Januari 2012

Sehari Mengunjungi Translok [1]

Lapang padang luas menghijau
Beterbangan pipit, jalak, dan bangau
Gamal, johar, lamtoro, kesambi, dan bakau
Tempat berteduh kuda, sapi, dan kerbau

Tongkat gembala sebagai penghalau
Seruling berpadu angin mendesau
Berawal dari aliran Aemau [2]
Bermuarakan Aesesa [3] di Danga-Au [4]

Kabut tebal membayangi cakrawala
Petir gemuruh halilintar membahana
Pertanda segera turun butiran-butiran mega
Membersihkan noda-noda angkasa

Kumpulan kambing dan kawanan domba
Bergegas dari bekas panenan palawija
Pak tani makan ditemani tembang anak dara
Tentang kampung halaman yang jauh dari tatap mata

Sejurus saja telah penuh terisi di pondok
Beberapa orang melinting daun enau di pojok
Menari-nari irus bambu sebagai sendok
Yang lain mempersiapkan gelas dan mangkok

Tak ada tuan ataupun jongos yang jongkok-jongkok
Sebagaimana tuduhan kelas menengah perkotaan yang menohok
Bahwa terbelakang, hanya bisa mengambil dari alam untuk dicipok
Tentang watak cupet dan barbar dengan saling membacok

Ah, orang kota memang sok tahu tentang bercocok tanam
Tanpa tahu harus menunggu berapa lama penyemaian padi disiram
Berapa ikatan bibit padi dalam lumpur direndam
Atau kenapa bisa kulit menjadi keras dan hitam legam

Akhirnya senja dijemput matahari yang tenggelam
Topi-topi caping berpadu pakaiann tambal sulam
Beriringan menyongsong malam kelam
Menerobos butiran-butiran langit yang tertinggal tenggelam

Sudah ada traktor yang dimodifikasi ber-bak
Tapi hanya pas untuk memuat roda besi dan mata bajak
Sedianya diperuntukkan juga bagi anak-anak
Dengan resiko terhimpit tertindih berdesak-desak

Mata kanak-kanak mengamati dari atas pundak
Tanpa tahu sulitnya arungi malam di jalan setapak
Karena yang dilihat ada yang terkekeh juga terbahak
Seolah tak peduli pada nasib baik yang tak berpihak

Kala itu tahun 1995, awal bulan Januari
Belum santer teriakan tentang reformasi
Atau segala macam omong kosong demokrasi
Tapi malam itu translok makan nasi pembagian dari propinsi

Anak-anak sekolah dibagikan sikat gigi
Ada GN-OTA [5] untuk anak-anak miskin berprestasi
Juga ada PMT-AS [6] untuk menambah gizi
Pengamatan libur sehari di translok saat berkuasanya tirani

Awal Januari 2012, kulihat di berbagai pemberitaan
Penghuni translok itu kini mengalami kelapan
Belum ditotal dengan rendahya akses pendidikan dan kesehatan
Yang berarti bercokolnya wabah kemiskinan

Rezim Cendana [7] 14 tahun yang lalu telah digulingkan
Sudah 5 tahun Nagekeo [8] mandiri secara pemerintahan
Pun banyak putera daerah yang berhasil di perantauan
Marilah bersatu untuk kemanusiaan dan persaudaraan!


*******
[1] Transmigrasi Lokal
[2] Sungai di selatan Kabupaten Nagekeo
[3] Nama Kecamatan (Juga nama sungai di ibukota kabupaten Nagekeo, Mbay)
[4] Nama tempat di ibukota kabupaten Nagekeo
[5] Gerakan Nasional - Orang Tua Asuh
[6] Pemberian Makanan Tambahan - Anak Sekolah
[7] Soeharto & the genk
[8] Kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Ngada, berdasarkan UU No. 2/2007 (Luas wilayah sekitar1.386 km2 persegi dan berpenduduk sekitar110.147 jiwa).

*******

Dante Che, 25/ 01/ 2012

Senin, 23 Januari 2012

Belajar Menulis Lirik Ala Slim Shady!

Ini bukan kisah iri hati ataupun dengki. Bukan pula mau mencari sensasi dengan cara menciptakan kontroversi. Ini tentang gambaran hidup yang ironi. Yang suka silahkan membaca narasi ini, bagi yang tak suka silahkan membenci tanpa perlu memaki-maki.Selebihnya kau urus sendiri, toh bukan ku yang menjalani atau mengalami. Tentang kau yang bergaya dengan blackberry, ke sana kemari dengan kawasaki. Mengidolai Valentino Rossi tanpa tahu kalau team-nya adalah Ducati. Ibumu yang tukang cuci dan ayahmu yang bertahun-tahun jadi kuli, hanya bisa pasrah bergumul dengan sakit hati. Kau meninggikan diri sebagai matahari, konon sumber segala percik api. Ku baru saja melihat ulang 8-Mile dari Slim Shady, kisah tentang muridnya Dr. Dre, MB Jimmy 'Eminem' Matters III. Kekejaman aksaranya menggambarkan kerendahan hati dan jujur tentang jati diri sendiri. Tentang ayahnya yang pencuri dan ibunya yang pelacur melayani kelas rendah hingga kelas tinggi.
Ku bertemu ayahmu di warung kopi, jujur awalnya ku menyangka itu mummy, karena kurus kering tinggal tulang seolah tak berisi. Ku menyuruh ayahmu memesan segelas kopi, semangkuk mie, sepiring nasi, dan kalau belum kenyang silahkan menambah*dengan beberapa potong roti. Oops, not did it again, seru Britney , tolong periksa data buku bon di laci, supaya kita tak menjadi tukang cuci sehari di warung kopi ini, karena tingkahmu yang lahap sekali atau mungkin rakus setengah mati. Sampai-sampai sup babi pun dihabisi, tanpa peduli lagi pada ayat-ayat suci.
Hanya gara-gara ditraktir segini, berkisahlah si papi tentang sang anak yang suka onani dan bertingkah bagai banci, sok jadi orang berani kala di depan mami-mami jablay, alay nan lebay, agar direkrut jadi gigolo kelas tinggi atau biar bisa setiap malam nongkrong di dolly, jadi preman kelas teri sambil bawa belati.
Esoknya kubertemu sang isteri dari si papi, yang masih setia keliling-keliling sebagai tukang cuci, mulai dari pakaian orang dewasa hingga anak bayi. Dengan gaji perhari dan uluran belas kasih, lumayan buat membayar kontrakan mini, yang tanpa toilet dan kamar mandi.
Di luar hujan telah berhenti, ijinkan aku goreskan kisah ini di atas kertas putih dengan tinta pesan damai agar terwujud harmony sebagaimana pesan Piyu sahabatnya Fadly dari band Padi. Tertanda, buatmu yang berselera tinggi, tanpa tahu apa beda langit dengan bumi. Harapku, semoga ku tak seperti Shaidy 'Proof' Shalton yang mati ditembaki di Detroit City, oleh orang-orang sinting yang sakit hati. Ku hanya iseng-iseng merangkai aksara narasi imajinasi pertengahan Januari, korban euforia setelah menonton Battle Slim Shady.   Terima kasih!

********

 DC, 23/01/2012

Minggu, 22 Januari 2012

Sedikit Kisah Tentang Tanah Air!

Ini kisah Indonesia yang dahulu bernama Nusantara
Cerita balada negeri kaya yang penuh derita duka lara
Bermula dari penyerangan bangsa utara menduduki selat Malaka
Meluas menyebar menerkam pantura menghajar semua ksatria
Berlaksa armada dari negeri berambut merah masuki Jawadwipa
Ambonese negeri kaya rempah-rempah penghias kisah selanjutnya
Silih berganti ibu pertiwi dijarah, bangsa utara menjajah para kawula
Kisah duka nestapa yang meluluhlantakan kehebatan sumpah palapa
Portugis, Spanyol, Inggris hingga Belanda, gelap pekat di cakrawala
Jepang datang sebagai saudara tua, mengaku cahaya dari Asia Timur Raya
Kepengecutan warisan raja-raja sebelumnya, memuluskan Jepang memulai era
Kembali merah darah terpatri di angkasa, berpadu dengan putih mega-mega
Metode Dai Nippon bernama  romusha, ternyata lebih kejam dari tanam paksa
Kala lingua franca meluas menyebar antar nusa, lahirlah kesadaran akan Indonesia
Impian akan satu kata merdeka, mandiri sebagai satu bangsa dan negara
Diperjuangkan dengan sepenuh jiwa; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa
Aceh hingga Papua! 


*******

Dante Che, 22/01/2012

Sabtu, 21 Januari 2012

Kepada Kawan! (Notes Lama)

Jalanan macet setelah hujan menggenang
Berdua mengisi malam di pojok yang remang
Bergelas-gelas wine kita bersulang
Mengusir kekalutanmu yang selalu menyerang

Asap mild mengepul berpadu
Mendekap sepasang insan obati rindu
Menyusuri alur pikir yang berpacu
Ditemani musik blues yang mengalun syahdu

Lintingan-lintingan selanjutnya membuat terbang
Membawa kita meninggi melayang
Diperingatkan perihal berpikir-pikir ulang
Tenang mendelik tajam memandang

Lara bersembunyi dalam elok parasmu
Kepandaianmu pun tak kuasa menghalau
Pedihmu yang bergolak dalam kalbu
Berkaca-kaca dilap syal biru

Apa yang harus kukatakan
Mungkin kau hanya butuh ketenangan
Atau mungkin juga butuh kenyamanan
Lantunan lagu sejenak mengisi kesunyian

Tangismu belum juga reda
Menumpahkan segala gundah gulana
Aku tetap terpaku tak mengerti apa-apa
Desismu, kehadiran sudah membuat bahagia

Kita memang satu generasi angkatan
Walau kau lebih dahulu menggapai sukses kehidupan
Tapi masih ingatkah kau akan awal pula perkawanan
Kala kita seru mengobrol tentang La Tahzan

Tak ada duka lebih duka yang orang lain punya
Kalau tetap berkubang tenggelam di kedalamannya
Malampun dihabiskan menemanimu yang tertidur di meja
Bangkitlah, bukankah kita masih harus merenda asa


*******

Dante Che, 21/01/2012

Selasa, 17 Januari 2012

Bidak-Bidak

Bidak-bidak maju bergerak
Pion-pion tampak berserak
Kuda bersayap dengan liar mengepak
Menteri mencari peluang ciptakan skak

Benteng membungkus rahasia tak terkuak
Menahan gempuran ganas nan tamak
Perdana Menteri setia di sisi Raja dengan bijak
Semua maju mundur menjalankan kehendak

Yang tampak di depan mata
Belumlah tentu keadaan yang sebenarnya
Saling menyerang menebar intrik dan cerca
Mengingkari pikiran, hati, dan jiwa

Sehari-hari dihiasi pro dan kontra
Kekacauan subur di antara para kawula
Lupa pada sang pemilik kehendak kuasa
Modal yang menghegemoni para penguasa

Demikianlah bidak-bidak yang gagah
Mengalun menerjang tanpa takut kalah
Tanpa diselimuti duka ataupun resah
Sebesar-besarnya menjalankan kehendak amanah

Bidak-bidak pemanis kisah
Menghiasi lembaran-lembaran sejarah
Menyembunyikan tangan-tangan tanpa wajah
Yang penuh dengan lumuran darah


*******

Dante Che, 17/01/2011

Senin, 16 Januari 2012

Hujan di Pusat Kota

Hujan berderai diiringi petir menyambar, menyambut senja yang tak pernah usang walau terus saja berulang. Mega-mega tampak putih di kejauhan, membuat angkasa tetap terlihat cerah walau biru langit tersaput, seolah menjadi saksi keriuhan parkiran dan hiruk pikuk deretan pedagang kaki lima yang diapiti julangan plaza modal dan wisma para musafir.

Media massa, baik elektronik maupun cetak, pernah memuat berita bahwa lahan tersebut milik Pemkot, sementara warga yang mendiami wilayah tersebut mati-matian mempertahankan bahwa itu adalah lahan warisan turun temurun dari leluhur mereka. "Mbokne ancuk, ga tepa kabeh wong-wong iku, ga jelas ngurusi negoro", tukas Pak Muklas, seorang penjaga parkir di lahan tersebut kala ditanya perihal polemik ini. sementara Bu Fatimah yang sehari-harinya mengolah warung makan miliknya, melanjutkan dengan ketus, "Lha, iki yo omah omahku dewe, warung warungku dewe, ya opo diatur-aturno karo wong liyo barang". Itulah salah satu lahan yang dahulu dipakai sebagai tempat berkumpul arek-arek Suroboyo melawan Kolonialisme Belanda yang dibonceng Imperialisme Sekutu.

Sebotol aqua tanggung dan segelas es teh menemani dua insan yang mengembara dalam nalar tentang lika-liku kehidupan, hingga senja merayap menuju malam dan hujan lelah mencurah mengguyur jalanan. Amplop putih bergaris-garis merah disemat, kiriman hati yang baik. Yang satu beranjak ke timur, dan seorang lagi bergerak ke barat. Hidup memang selalu menawarkan dua sisi yang berlawanan membentuk harmoni.

*******

Dante Che, 16/01/2011

Kamis, 12 Januari 2012

Casta Meritrix*

Casta Meritrix -Based On True Story in Dream Island-

Suara lirih wajah sendu bermuram durja. Konon impiannya adalah api, bumi, laut, ataupun senja. Liukan-liukan persetubuhan nakal dan liar dikemasnya dalam untaian-untaian rangkaian aksara yang paling manis. Semanis wajah dan seharum kemaluannya yang tetap abadi, walau telah berkali-kali dipamerkan, dieksplorasi, dan dieksploitasi di berbagai ranjang. Utopianya akan kebebasan, kemanusiaan, ataupun putusnya belenggu penindasan, adalah uraian-uraian ilmiah yang meluncur mengalir rapi dari memori otaknya yang cerdas. Malam dihabiskannya dengan tubuh polos telentang tanpa sehelai benang sembari tangan diborgol di peraduan melayani nafsu sang penyedia modal rumah tangga. Rumah tangga, sesuatu yang dikutuknya sebagai sebuah bentuk kepemilikan pribadi, basis bagi terciptanya klas-klas dalam masyarakat, dan oleh karenanya merupakan suatu penindasan; akan tetapi, mulut yang sama jualah yang bertualang mengulum zakar demi zakar dengan lahap, dengan penuh nafsu yang konon berbalut rasa sayang, yang dibungkus dalam apologi klasik, suka sama suka. Mulut yang sama pula, akan mengutuk orang-orang yang balik mengkritiknya dengan sebutan anti demokrasi, bukan pendukung feminis, kolot, ataupun kampungan. Melayani nafsu birahi sopirnya sendiri agar bisa bertemu dengan pemuda-pemuda mainannya, pun demikian dengan melayani nafsu atasan-atasan suami demi pangkat yang lebih baik. Suka sama suka dan kepentingan yang sama-sama menguntungkan, begitulah kira-kira logika berpikirnya, sehingga persenggamaannya yang gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun, ditolaknya kala disebut sebagai murahan. Rumah mewah, mobil bergonta-ganti, profesi, dan status sosialnya dari lingkungan kelas atas membuatnya berpikir bahwa ia tetaplah seorang terhormat dan modern. Yang tak bisa memahaminya, disebutnya sebagai para sisa-sisa feodal nan primitif. Begitupula, kala berulangkali mengganggu relasi perkawanan, biang riak-riak keutuhan rumah tangga orang lain, ataupun kala menjadi topik gosip memalukan paling sensasional, dianggapnya sebagai suatu hal yang lumrah, memang demikian adanya, sembari berlindung di balik deretan kata sakti tak tertandingi; "hargai dan tinggikan perempuan, agar hidupmu menjadi baik". Begitulah wejangannya, yang lebih menyerupai ancaman moral pada para pengkritiknya.


*) Casta Meritrix=Pelacur Suci

*******

Dante Che, 13/01/2012

Laporan Perjalanan Fiksi (Warta Angin)

*******

Taman di timur wilayah kota ini tampak menarik. Tapi tak ada kumbang atau kupu-kupu yang mendesing desau meliuk-liuk di taman itu. Walau semuanya semerbak mewangi dan banyak bunga yang bermekaran segar, namun tak sedikit yang tampak tumbuh tertaih-tatih, dihiasi layu.

Tampaklah sebuah seruni tua dan tampak layu di antara aneka kembang . Meski demikian, pekat gelap rimbunan tak kuasa menyembunyikan keindahannya. Terik matahari tak mampu membuatnya lemah, hembusan angin tak kuasa membuatnya goyah. Sebaliknya, fatamorgana yang ditampilkan aspal seberang taman di samping jembatan, menarik perhatiannya yang telah lama tak diguyur belaian kesegaran butiran-butiran air.

*******

Di barat kota, tukang-tukang sedang kebanjiran job, Entah tukang batu maupun tukang kayu. Sedang ada penyisiran lahan, menggusur kekumuhan dan menyulapnya menjadi julangan tembok-tembok tinggi penuh kemewahan ala borjuasi. Kemiskinan makin terperosok menjadi kesengsaraan, anak-anak negeri hanya mampu mengagumi keindahan yang ditawarkan lewat intipan dari kolong-kolong jembatan. Di puncak kemegahannya yang dibalut seruan-seruan humanisme, pemilik modal dan para teknokrat mengulum senyum sedikit membungkukan badan mengangkat tangan tanda hormat dan salam, sembari tangannya yang lain meneken memastikan mendapat bekingan preman-preman yang bertebaran; mulai dari preman berdasi bermodal kuasa membuat regulasi-regulasi hingga preman tanggung bermodal belati berkarat. Semuanya agar spirit sejati; ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi tetap on the track.

*******

Rumah bercat putih dengan dua lantai yang dihuni 6 anggota keluarga di selatan kota ini sekilas nampak damai. Keluarga Pak Makuwu dan Bu Kahayati, dan anak-anak mereka; Nalib, Arianto, Diana, dan Hana. Nalib, seorang pemuda tampan yang menderita sakit bawaan sejak lahir. Arianto, seorang remaja periang yang banyak teman. Sedangkan Diana dan Hana, kembar jenius yang jadi kebanggaan keluarga. Pak Makuwu, seorang pegawai negeri penganut pancasila warisan orba dan agamis yang sangat taat, adalah seorang sesepuh yang dihormati di kota ini. Sementara isterinya adalah seorang pegawai negeri juga yang memilih menjadi ibu rumah tangga, dengan pertimbangan agar lebih mudah mengawasi dan menjaga Nalib yang cacat.

Entah karena kegundahan yang membuncah, kedekatan yang tercipta karena udara malam yang menggigit tulang, ataukah karena pengaruh yang ditimbulkan oleh teguk demi teguk arak lokal, mengalirlah kisah demi kisah dari mulut sang pemilik rumah. Pak Makuwu mengeluhkan akan tingkah isterinya yang tak henti-hentinya bertualang seks dari satu lelaki ke lelaki lain. Mulai dari Hendrikus, seorang komisaris perusahaan sosial yang adalah juga kenalan Pak Makuwu; Eko, seorang pengusaha dari kota rokok yang lagi-lagi adalah kenalan Pak Makuwu; hingga teman-teman Arianto yang datang belajar bersama di rumah pun pernah menjadi korban keliaran Kahayati. Yang palinf fenomenal adalah petualangannya bersama Gusti, seorang pria mapan beristri asal kota mas. Kisah ini bahkan mewarnai debat-debat panjang di Pengadilan Agama, karena Gusti ternyata telah memberikan sebuah apartemen, uang pendaftaran masuk sekolah anak-anak, hingga kebutuhan rumah tangga keluarga Kahayati. Masih ada lagi kisahnya yang mengganggu keutuhan rumah tangga Inno, pria muda asal ibukota,; kisahnya bersama pemuda pengangguran, Jones; bersama Jose, seorang aktifis karang taruna yang sehari-harinya berprofesi sebagai preman, preman tanggung tepatnya. Dan masih banyak kisah lagi kisah Pak Makuwu, yang kelihatannya sudah di bawah pengaruh alkohol kandungan arak lokal kota ini.

"Modusnya selalu sama. Meratapi hidupnya yang bagai burung dalam sangkar emas. Hidup di atas ranjang emas, tapi mengisi malam dengan telentang telanjang sambil tangan diborgol. Masokhisme yang didapat di dalam istana rumah tangga. Punya segalanya, tapi tak mendapatkan kenyamanan dan kebebasan". Selesai berkata begitu, Pak Makuwu meneguk tandas isi gelasnya. Ah, omongan orang mabuk, setengah sadar setengah tidak, diputuskan untuk setengah percaya setengah tak percaya.

*******

Jose sedang membelah malam utara kota dengan kendaraan barunya, ketika tiba-tiba Blackberry-nya berdering. Walau ibunya sesekali jadi tukang cuci keliling dan ayahnya pekerja serabutan, dan rumahnya hanya memiliki 1 pintu dan 1 jendela, serta tanpa toilet atau kamar mandi, dan rumah hanya 4 x 5 m, dia memilih gaya hidup mewah. Diliriknya sekilas,  "Di rumah orang ramai. Lagipula si Jones rese, dasar kampungan. Sekarang kutunggu di tempat biasa. Tempat kita memandangi laut, menikmati api yang membakar menanti senja". Dibalasnya sms Kahayati seadanya, "Tenang, anak itu nanti saya yang urusi". Ketiknya sambil digenggamnya belati berkarat miliknya. Jones adalah kawan Jose di organisasi karang taruna kelurahan. Tapi agar tampak jantan di mata Kahayati, pemuda yang mendekati 30-an itu rela tampil sebagai jagoan, dengan menjadikan Jones sebagai musuhnya. Menurutnya, siapa yang memenangkan adu strategi, membangun opini, dan menggalang dukungan, dialah yang mendapatkan Kahayati. Seabrek intrik dan belati berkaratnya akan dipakai untuk mendapatkan tante genit yang mengaku sebagai seruni layu. "Brilian dan tolol ternyata berbeda tipis", ucap kawan-kawannya kala mendengar Pak Makuwu mendapati Jose dan Kahayati yang bersenggama di tepi kali. Ah, ternyata orang mabuk adalah orang yang paling jujur.

*******

Dante Che, 12/01/2012

Rabu, 11 Januari 2012

Kedatangan Bangsa Eropa atawa Sebuah Kelahiran yang Cacat


Kedatangan Bangsa Eropa atawa Sebuah Kelahiran yang Cacat

Ragil


-J/13/06/02                      
AnD,
Ijinkan aku melanjutkan dongenganku. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan di negeriku patah menjadi berkeping-keping. Masing-masing saling bermusuhan satu dengan lainya. Tidak ada kekaisaran yang mampu menyatukannya. Dalam situasi seperti ini datang bangsa dari Utara. Mereka hebat dalam segalanya. Kapal mereka besar, tapi ramping, layar kapal mereka terbentang lebar dengan tanda palang besar di tengahnya, sehingga lajunya cukup kencang. Senjata mereka aneh, pelurunya terbuat dari bola besi, yang ketika menghantam kapal musuh, bisa hancur berantakan. Perahu-perahu itu membawa orang-orang yang juga aneh, hidungnya mancung dan rambutnya seperti rambut jagung. Armada laut kerajaan-kerajaan yang ada di Asia, tidak ada satupun yang sanggup melawan, semuanya lari terbirit-birit. Itulah bangsa Portugis dan Spanyol, AnD. Setelah ditandatangani perjanjian Tordasillas diantara dua kerajaan tersebut, yang disaksikan oleh Paus, seperti buah semangka, dunia dibelah menjadi dua, satu bagian untuk Spanyol, satu bagian lagi untuk Portugis.  Mulailah mereka menjelajahi dunia, untuk mencari emas dan rempah-rempah. Setelah sekian lama mencari, sampailah mereka di Selat Malaka, pelabuhan besar di Asia, pusat perdagangan rempah-rempah dunia.

1511, Selat Malaka jatuh kecengkraman Portugis. Pelabuhan besar itu telah jatuh ke tangan bangsa Eropa. Matilah jaring-jaring perdagangan yang telah dirajut beberapa abad. Hancur berantakan. Hanya menyisakan kolonialisme. Negeriku, yang sudah terpatah-patah sejak keruntuhan Majapahit, semakin sepi. Pelabuhan-pelabuhan besar, yang selama ini selalu ramai dipenuhi pedagang-pedagang asing, kini, hanya menyisakan jembel-jembel dan pelacur-pelacur. Semuanya, menjadi pelabuhan mati. Mati perdaganganya, mati jiwanya, mati peradabannya. Satu demi satu, kerajaan-kerajaan yang selama ini menjadikan laut sebagai masa depan, mulai memungungi harapan dan cita-cita mereka. Perahu-perahu mereka biarkan terombang-ambing di pelabuhan, seperti nasib pelabuhan mereka yang juga terombang-ambing. Selamat datang bagsa dari Utara. Silahkan kau bentangkan jubah kolonialismemu. Silahkan kau julurkan tangan-tangan guritamu untuk menghisap kekayaan alam kami, rakyat kami. Kami akan pasrah kepadamu karena kami telah lumpuh. Silahkan kalian pasang rantai-rantai penindasanmu. Ma’af, kami tidak bisa berbuat banyak, peradaban kami telah runtuh. Kalaupun ada perlawan disana-sini, itu semata-mata agar mata dunia melihat, bahwa kami masih ada. Beri kami sedikit ruang hidup. Kalian akan disambut dengan tangan terbuka oleh tangan feodalisme yang sudah bangkrut.

Belanda datang kemudian. Tahun 1596, bangsa Belanda sampai di Batavia lengkap dengan senjatanya; dengan modal-modalnya tentu—sebelumnya mereka sudah sampai Banten, Gresik, yang dipimpin oleh Cornelis Houtman. VOC (Verenigle Oost-Indishe Compagnige) yang didirikan tahun 1602—organisasi ini merupakan serikat dagang yang didirikan para pedagang Bataaf, tugas badan ini tidak hanya mengawasi perdagangan di Indonesia, tetapi juga di Srilangka, dan kawasan yang merentang dari Tanjung Harapan ke Jepang.  Kongsi dagang ini dipimpin oleh “de XVII Heeren” atau “Yang Mulia 17 Bangsawan”. Memang kedatangan mereka tertinggal 100 tahun setelah Vas da Gamma sampai di Goa. Perlahan-lahan, mereka mulai menancapkan modalnya di negeriku. Tahun 1610 mereka mendirikan loji di Batavia sebagai pusat perdagangan mereka. Tugas mereka tidak ringan. Mereka harus bersaing dengan pedagang Portugis, Spanyol, Inggris, dan juga dari pedangan lokal yang sudah lama menguasai jaringan perdagangan  Melayu, Bugis, India, Tiongkok.  Dengan bantuan penduduk Tionghoa, JP Coen berhasil membangun Batavia dari rawa-rawa yang merupakan tempat bersarangnya nyamuk malaria, menjadi pusat perdagangan internasional, menjadi magnet bagi pedagang-pedagang dari berbagai manca negara.  

Sebagai kumpulan para pedagang, pada masa-masa awalnya,  VOC lebih memperhatikan lautan dan belum memikirkan pedalaman. Kota-kota pesisirlah yang yang mereka tundukkan pertama kali. Ambon diduduki pada 1605, kemudian Banda (1621), dan berturut-turut merebut Selat Malaka (1641). Dalam perjanjian Painan, VOC memperoleh hak atas bandar di pantai Barat Sumatera, berusaha menguasai ladang emas di daerah sekitarnya, tapi tidak berhasil. Di Palembang dan Banjarmasin VOC memperkuat loji-lojinya. Akan tetapi, sebenarnya kekuasaan mereka masih terpusat di Jawa. Di Jawa, posisi mereka lebih terjamin. Setelah penundukan-penundukan itu, VOC baru melirik ke pedalaman. Situasi kekuasaan Jawa di pedalaman saat itu sedangmengalami perang saudara, saling berebut kekuasaan. Pemberontakan Trunojoyo dari Madura, Untung Suropati--seorang budak dari Bali-- dan orang-orang Tionghoa terhadap Mataram, dimanfaatkan oleh Belanda untuk menawarkan bantuan terhadap raja Jawa. Melalui cara-cara seperti ini, VOC mulai menantapkan kukunya di daerah pedalaman, yang feodalismenya sudah sekarat. Walupuan Banten berhasil dikuasai (1705) dan kota-kota pesisir lain dapat dikuasai, bukan berarti memperkokoh posisi VOC di Batavia. Pemberontakan-pemberontakan dari daerah pesisir terus saja terjadi.

Dalam bidang perdangan, VOC memang bisa melakukan monopoli, tapi banyak juga korupsi. Gaji pejabat yang rendah, sedangkan gaya hidup mereka bak raja-raja kecil penuh dengan kemegahan dan kemewahan, menyebabkan korupsi menjadi hal yang lumrah. Dengan posisi keuangan yang semakin menurun, berbagai jalan dicari oleh VOC. Semasa Gubunur Jendral Van Imhoff (1743-1750) dilakukan pembaruan-pembaruan, diantarnya, penyeragaman mata uang dan menjalin hubungan dagang tras Pasifik dengan koloni Spanyol di Amerika, tapi, tetap saja tidak dapat menghanbat kebrangkutan VOC.  Revolusi Prancis dan naiknya kekuasaan Napoleon menjadi titik akhir kekuasaan VOC, dan tangung jawabnya diambil alih oleh pemerintahan Belanda. Akhirnya, mendekati awal abad ke-19, VOC walaupun mulai berhasil memonopoli perdagangan—khususnya rempah-rempah-–mengalami kebangkrutan karena korupsi besar-besaran yang dilakukan pegawainya sendiri. Inilah akhir jaring-jaring merkatilisme Eropa yang dibentangkan di negeriku.

AnD,
Setelah keruntuhan VOC, situasi negeriku semakin parah, semakin jatuh dalam cengkraman kolonialisme. Tuan Guntur, seorang pengagum Napoleon Bornapate, mendapat mandat dari kerajaan Belanda untuk menyelamatkan negeriku dari kehancuran. Ia berpaling dari lautan, menjadikan daratan sebagi penopang kuku-kuku kolonialismenya. Jalan Raya Pos, ia bentangkan dari Ayer di ujung barat Pulau Jawa sampai Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. Ia satukan Pulau Jawa yang telah patah-patah setelah keruntuhan Majapahit.

Langkah-langkah yang diambil Tuan Guntur sesuai tujuan baru dari bangsa Eropa yang mulai berubah. Kalau selama ini tujuan utama mereka adalah memonopoli perdagangan sehingga hanya memfokuskan pada hasil hutan—rempah-rempah—kini tujuan mereka adalah mengolah pedalaman. Artinya, bahwa tanah-tanah di pedalaman—yang selama ini dikuasai oleh raja-raja—mulai mereka ambil, untuk diolah guna menanam tanaman perkebunan—kopi, kapas, gula, tembakau dan tanaman ekspor lainnya. Tanaman-tanaman tersebut merupakan barang-barang ekspor yang sangat laku di pasaran Eropa. Arah baru ini jelas membutuhkan sarana pendukung. Maka, untuk memperlancar arus barang-barang tersebut dari pedalaman menuju ke pelabuan-pelabuhan, sarana transportasi merupakan kebutuhan yang vital. Pembangunan Jalan Raya Pos mempunyai tujuan seperti itu—memperlancar tujuan kolonial untuk mengeruk kekayaan. Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Tuan Guntur, sebetulnya merupakan usahanya untuk mengikis feodalisme yang ada di negeriku. Tanah-tanah yang dahulunya tersentral dalam kekuasaan raja-raja, kini diambil alih oleh pemerintah Belanda. Tuan Guntur merupakan ancaman bagi raja yang masih tersisa. Sebagai pengagum Revolusi Prancis, ia sangat beci terhadap feodalisme. Kerja-kerja paksa yang dilakukan Tuan Guntur secara langsung telah melucuti kekuasaan raja-raja yang selama ini  memonopoli tenaga manusia dan sumber daya alam. Usahanya juga merupakan pematokan terhadap kapitalisme di Indonesia. Patok pertama kapitalisme telah ditancapkan Tuan Guntur di Negeriku.

Langkah Tuan Guntur, memang tidak selesai. Belanda harus menyerahkan kekuasaan terhadap negeriku kepada Inggris. Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1826) tampil sebagai penguasa tertinggi di Jawa. Ia adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan. Kebun Raya Bogor merupakan monumen ilmu pengetahuan yang sampai saat ini masih ada. Tetapi yang terpenting bagi perkembangan corak produksi di negeriku adalah kebijaksaan tentang sewa tanah. Berdasrkan hukum kuno, tanah merupakan milik raja, sehingga siapa saja yang mengunakanya harus membayar sewa.

Ada tiga pengolongan dalam pemungutan pajak ini: 1). Golongan orang depan. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak mendapatkan bagian dalam pengelolaan tanah komunal. Sebagian besar mereka juga sebagai pemilik tanah sikep. 2). Golongan orang tengah/kuli setengah gogol/kuli kendo. Mereka adalah golongan masyarakat yang memiliki pekarangan dan rumah, tapi tidak mempunyai sawah. Golongan ini termasuk mempunyai hak untuk menggarap tanah komunal. 3). Golongan orang belakang/petani tak bertanah.dibagi menjadi dua golongan, yaitu indung/tumpang/pondok karang, mereka yang mempunyai rumah yang menumpang diperkarangan orang lain. Sedangkan golongan kedua yaitu tumpang tlosor/pondok tlosor/kumpulan/nusup,mereka adalah warga desa yang tidak mempunyai rumah dan menumpang pada orang lain.

Dari ketiga golongan tersebut, golongan pertama dan kedualah yang dikenai pajak. Selain pemajakan, kebijakan yang dilakukan oleh Rafless adalah sewa tanah.Ini membawa dua pengaruh: (1). Tanah-tanah kerajaan diambil alih oleh pemerintah Inggris. Raja tidak lagi mendapat upeti dari rakyatnya, tetapi dari gaji yang diberikan oleh pemerintah kolonial. (2). Rafles menyewakan tanah-tanah pemerintah kepada swasta, terutama orang-orang Tionghoa. Kebijakan ini telah menggiring modal-modal swasta mulai masuk ke pedalaman, terutama untuk investasi perkebunan. Secara pasti modal-modal semakin masuk ke pedalaman. Perkebunan-perkebunan, terutama tebu, mulai dirintis. Kehidupan petanipun mulai berubah menjadi buruh-buruh perkebunan. (3). Kekuasaan raja Jawa mulai terkikis. Konflik internal dikalangan kraton membuat peranan Inggris dibutuhkan untuk mendukung proses pergantian raja. Naiknya Hamenkubuwono III merupakan babak baru bagi feodalisme di Jawa. Sebagai balas jada kepada Inggris, HB III harus menyerahkan daerah-daerah pesisir dan membanyar pajak untuk daerah Kedu dan Klaten. Juga kerajaan dibelah, dengan didirikan Paku Alaman. Lama kelamaan, tanah mereka semakin sempit, yang tetap besar adalah watak feodal mereka. Semakin menciutnya hak-hak para bangsawan, menjadi salah faktor perang Jawa berkobar.

-J/23/07/02
AnD,
Sepanjang 1825-1830 Jawa diterjang badai, yaitu perang. Perang ini kemudian terkenal dengan perang Jawa. Pangeran Diponegoro, seorang pangeran dari kraton Yogyakarta, memimpin sebuah pemberontakan terhadap Belanda. Banyaknya hak-hak bangsawan Jawa yang dilucuti oleh pemerintah kolonial menyebabkan pemberontakan ini banyak mendapat dukungan—bangsawan-bangsawan kraton, yang dirugikan oleh pemerintah kolonial, banyak yang bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Tidak mengherankan, kalau Belanda harus mengonsentrasikan kekuatanya—baik dana maupun angkatan senjatanya—untuk mematahkan perlawanan Diponegoro. Zaman memang belum bisa berpihak pada perjuangan melawan kolonialisme, perlawanan itu dapat dipatahkan. Akan tetapi, Belanda harus memutar otak untuk mencari jalan keluar, mengisi kas mereka yang kosong.

Du Bus, Gubenur Jendral Belanda waktu itu, tidak punya jalan keluar untuk membayar hutang Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar f 37 juta lebih. Buntu otaknya. Sampai kemudian, seorang pensiunan Komisaris Jendral Hindia Barat, Johanes van de Bosch, datang menghadap Raja Williem dengan rencana barunya, Cultuurstelsel. Rencana ini sungguh indah: “Orang Jawa tidak boleh dibebani pekerjaan baru yang tidak mereka sukai, Culturrstesel ini hanya boleh dilaksanakan apabila penduduk menghendaki”. Dengan rencana baru ini, van de Bosch datang ke Hindia Belanda. Sesampainya di Jawa, ia melakukan pembersihan-pembersihan, Raad Hindia dibersihkan dari kekuatan oposisi, yang kemudian diubah menjadi kumpulan-kumpulan boneka penasehat, yang tidak mempunyai hak untuk ikut mementukan. Semakin lapang jalan Van de Bosch untuk menghisap bumi dan manusia negeriku. Rencananya mulai dilaksanakan. “Kami tidak memaksa kalian penduduk Jawa. Kami hanya memintamu untuk bekerja, karena kerja adalah mulia. Maka, tanamilah seperlima tanah kalian dengan tanaman-tanaman yang kami inginkan: lada, kopi, tebu, nila, kayu manis atau kapas. Pilihlah tanaman-tanaman itu. Agar kalian tidak kelaparan, tanamlah sisa-sisa tanah yang tidak kalian serahkan kepada pemerintah, untuk keperluan kalian sendiri. Kalian boleh kerja keras, tapi jangan lupa bayar pajak, bukankah pajak adalah warisan dari raja-rajamu sendiri? Maka, bayarlah dengan hasil memeras keringat kalian. Sedangkan kerja untuk pemerintaha, bukankah tidak perlu diupah? Selama ini kalian kerja untuk raja juga tidak pernah di upah, karena mengabdi pada pemerintah sama dengan mengabdi pada raja. Nanti kalau kalian sudah panen, akan kami beli hasil kalian (yang bukan dari kewajiban pemerintah) dengan harga pasar, dan angkut sendiri hasil-hasil itu ketempat-tempat yang telah kami tentukan. Bagi kalian yang tidak punya tanah, cukup bekerja 66 hari saja bagi pemerintah. Sementara untuk kalian priyayi-priyayi pribumi, akan kami berikan hadiah apabila bisa menghailkan produk yang melimpah. Kalian akan kami bayar dengan gaji yang cukup, dan jabatan kalian boleh diwarsikan kepada anak cucu kalian. Bekerja keraslah!”—Itulah Cultuurstesel. Itulah kehidupan rakyat negeriku ketika cultuurstelsel diterapkan, kata ini karena sulit diucapkan oleh rakyat negeriku, diubah menjadi Tanam Paksa.

Jalan keluar van de Bosch terbukti memang ampuh. Hindia Belanda bukan tempat yang kering kerontang. Kapal-kapal N.H.M—yang saham terbesarnya dimiliki Raja Belanda—selalu punuh muatnya, membaw` barang-barang dari Jawa ke Belanda. Keuntungan-keuntungan Cultuurstelsel setiap tahunnya laksana emas yang turun dari langit. Tidak salah kalau dikatakan, Pulau Jawa adalah “gabus tempat negeri Belanda mengapung”. Hanya dalam waktu 5 tahun pelaksanaan Tanam Paksa, uang kelebihan anggaran belanja Hindia Belanda, yang bisa dialirkan ke negeri Belanda mencapai 800 juta gulden. Dengan keuntungan sebesar itu, Belanda mulai bisa menggerakkan perdagangan, pelayaran, industri, yang sebelumnya hampir mati. Belanda tumbuh bak laksana surga di Eropa, sementara negeriku tumbuh menjadi neraka yang paling dalam. Penduduk negeriku semakin kering kerontang. Tanah-tanah mereka tidak terurus. Tenaga mereka sudah kering untuk menanam tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Ya, modalah yang mengubah segalanya.

Tanpa terasa, negeri kami memasuki zaman baru, kapitalisme. Rakyat hanya bisa merasakan. Dimana-mana perkebunan Belanda. Jalan-jalan diperbaiki. Kota-kota pelabuhan menjadi ramai, toko-toko mulai berdiri, pasar ramai. Ada perubahan memang. Tapi ditempat lain Rakyat tidak melihat perubahan. Para priyayi masih memakai belangkon, kalau mereka lewat, Rakyat masih diwajibkan untuk bersimpuh di tanah. Rakyat juga masih diwajibkan kerja untuk priyayi-priyayi ini, terutama mendekati hari besar keagamaan atau kalau ada hajatan. Ternak-ternak mereka juga masih sering diminta oleh para priyayi-priyayi ini untuk sebuah acara. Zaman apakah ini kiranya? Ya, zaman kapitalisme yang berpenopong feodalisme.

Negeriku telah memasuki zaman baru, tapi juga masih mengukuhi zaman lama. Memang tidak seperti yang terjadi negerimu. Zaman baru di negerimu, menghancurkan zaman lama yang sudah usang itu. Di negerimu, zaman baru datang setelah melalui perjuangan yang panjang dan berdarah dari rakyat untuk merobohkan tatanan lama. Kaum borjuasilah yang menjadi pendorong perubahan di negerimu. Di negeriku semua itu tidak terjadi. Zaman lama tidak pernah dirobohkan oleh zaman baru. Kedua zaman ini bahkan bergandengan tangan untuk menghisap Rakyat negeriku. Tidak, tidak, borjuasi tidak pernah tumbuh di negeriku, apalagi mengharapkannya memimpin perubahan.  

Gilda-gilda/industri rumah tangga—yang di negerimu kemudian berkembang menjadi industri-industri besar, yang mempunyai kedudukan yang otonom terhadap kerajaan, yang kemudian tumbuh menjadi golongan yang melawan feodalisme—tidak tumbuh di di negeriku. Industri-industri yang berkembang, sebagian besar adalah industri-industri milik borjuasi Belanda, yang langsung menjadi industri besar (misal perkebunan), sehingga golongan borjuasi yang muncul dari gilda-gilda ini—selain dari pedagang-pedagang—tidak tumbuh (kalaupun ada tidak signifikan, misalnya, yang tumbuh seperti kerajinan perak di kota gede, pengusaha-pengusaha yang tumbuh di minangkabau, padang), tetapi tidak pernah bisa mendorong timbulnya perubahan (untuk meruntuhkan feodalisme). Kau tahu sendiri, embrio dari lahirnya borjuasi, kaum pedagang, sudah ludes setelah keruntuhan Majapahit, kembali ke dunia feodal yang sakitan itu, yang belepotan dengan sembah dan jongkok.

Ya, patok ketiga telah dipancang oleh Van de Bosch: Kapitalisme Yang Cacat.

Selanjunya, terpaan demi terpaan terjadi di negeriku:
1. Masuknya biji besi secara besar-besaran ke negeriku. Kau tentunya sudah tahu, bahwa besi merupakan bahan dasar bagi proses industrialisasi–-pembangunan pabrik dan jalan-jalan kereta api. Walaupun letaknya di jalur antara India dan Tiongkok yang sudah maju industri metalurgiya, negeriku ketinggalan—teknik-teknik pengecoran baru digunakan untuk membuat nekara, selebihnya sebatas untuk persenjataan. Persedian biji besipun juga terbatas, hanya ada di daerah-daerah seperti bagian tengara Kalimatan, bagian tengah Su Jukisi, daerah pedalaman Sumatera dan Sumbawa, di Jawa sama sekali tidaka da biji besi. Selama beberapa abad—terutama setelah keruntuhan Majapahit-- hak pengolahan besi hanya  dipegang para pandai besi, sehingga perkembanganya menjadi sangat lambat. Industri pengolahan besi tidak pernah bisa berkembang.

2. Pembangunan jalan kereta api. Jalur pertama jalan kereta api antara Semarang-Kedung Jati di resmikan tahun 1871 (raja Siam Chulaulongkorn datang untuk mengaguminya), juga ditandai terbitnya surat kabar di Semarang, De Lokomotif. Jalur Batavia-Buitenzorg/Bogor (1873) dan jalur Surabaya-Pasuruhan (1878). Semakin panjang jalan kereta api itu. Tahun 1894 selesailah jalur pertama ‘lintas Jawa’, yang menghubungkan Surabaya dengan Batavia, melalui Maos, Yogya dan Solo. Pada tahun 1912 jalur kedua dibuka, melalui Cirebon dan Semarang. Jalan-jalan kereta api ini telah menjadi penghubung industri-industri Belanda dan sekaligus, sedikit-demi sedikit mengikis mental petani setalah mengalami persentuhan dengan kota-kota satelit.

3. Terpaan di bidang kesehatan. Satu pembaruan terpenting adalah diperkenalkanya vaksin--terutama vaksinasi cacar dan ditemuakanya obat untuk malaria. Vaksin ini, denga kemajuan angkutan darat maupun kereta apai telah memungkinkan tersebar ke seluruh pelosak Jawa. Kemajuan ini telah meningkatkan tingkat harapan hidup penduduk Jawa, sehingga ketersedian tenaga kerja guna kepentingan industrialisasi Belanda bisa terjamin. 

4. Terpaan pada jaringan komunikasi. Telegraf sebagai alat komunikasi mulai tahun 1856 --kawat pertama dibangun antara Batavia-Buitenzorg (1857), antara Batavia-Surabaya (1859) dan bisa digunakan oleh pihak swasta, pada tahun 1859, jaringan di Jawa panjangnya 2700 km dan terdapat 20 pos untuk umum – telah membantu perkembangan industrialisasi di Jawa. Yang lebih dasyat jaringan bawah laut dibangun– dan hal ini dipermudah oleh kenyataan bahwa Hindia Belanda adalah salah satu penghasil utama ‘getah perca’ di dunia, getah perca yang pada zaman itu digunakan untuk membuat salut—telah menajadikan jawa telah menjadi bagian dari kapitalis ineternasioanl). Pada tahun 1870, Batavia dihubungkan denegan Singapura, Bayuwangi dihubungkan dengan port Darwin. Tahap terakhir adalah jaringan telepon menghubungkan Surabaya  dengan Batavia pada tahun 1910. 

5. Teknik lain yang juga membawa pengaruh adalah teknik cetak, dengan hadirnya mesin cetak. Adanya mesin cetak inilah yang kemudian memungkinkan Minke menerbitkan Medan Prijaji yang terbit harian sebagai alat propaganda kepada rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan imperialisme/kolonialisme.

6. “Revolusi” pada struktur sosial masyarakat secara ekonomi politik. Seluruh terpaan yang ada di muka pada akhirnya berujung pada satu titik yaitu konsentrasi modal dan tenaga kerja untuk produksi komoditi. Bijih besi untuk membuat mesin mesin pabrik; rel-rel kereta api untuk menghubungkan tempat-tempat penggalian bahan mentah (perkebunan, pertambangan) ke pusat pusat produksi (pabrik), dan dari pusat pusat produksi ke pusat pusat distribusi (pasar). Mobilisasi tenaga kerja, dari desa ke pabrik pabrik dan ke kota-kota, merupakan konsekuensi logisnya. Sebagaimana juga pembagian kerja di dalam masyarakat, sampai akhirnya tercipta struktur kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Ya, kapitalisme sudah dibentangkan. Industri, sebagai tulangpunggung kapitalisme terus dibangun oleh pemerintah kolonial. Seribu Delapan Ratus Tujuh Puluh, merupakan permulaan perubahan zaman bagi negeriku. Sebuah UU baru, yang kemudian dikenal dengan UUPA, ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Ini dilatar belakangi terjadinya perubahan di Eropa. Tanam Paksa, telah menimbulkan perubahan baru di Belanda. Industrialisasi yang semakin berkembang yang didukung dana dari Tanam paksa, tak pelak lagi, telah menumbuhkan kelas baru, borjuasi. Mereka ini, mulai mendirikan perusahaan-perusahaan swasta, yang sangat membutuhkan bahan mentah, dan sekaligus menanamkan modalnya di tanah jajahan. Sementara, selama ini, distribusi bahan-bahan mentah dan penanaman modal di tanah jajahan masih dimonopoli oleh pemerintah. Seperti halnya di negara lain, mereka melakukan gerakan politik. Maka, di negeri Belanda sana, terjadi perubahan yang cukup mendasar, golongan liberaral marak ketangga kekuasaan. Golongan ini, yang sebagian besar pengusaha-pengusaha swasta, medesak agar pemerintah membagi keuntungan dengan mereka. Mereka sadar, bahwa negeriku adalah lahan yang subur untuk mengembangbiakkan modal mereka. Pengusaha-pengusaha swasta ini, kemudian menghadap sang Ratu, sambil berkata, “ijinkan kami mengais-ngais rejeki di Hindia Belanda. Injinkan modal-modal kami bisa beranakpinak agar tidak beku. Bukankah tidak ada artinya sri Ratu, kalau modal dibiarkan membeku. Ijinkan kami juga ikut menyebarkan ajaran Injil, membuat penduduk Hindia Belanda lebih beradab”. Maka, datanglah modal-modal swasta ke negeriku, seperti banjir bah. Mereka datang tidak dengan kekuatan bersenjata—seperti pertama kali Coen datang—mereka datang dengan politik etiknya. Ternyata sudah siap mereka. Segalanya sudah dipersiapkan dengan matang, termasuk alat-alat penghisapanya yang lebih halus. Sedikit demi sedikit, kapitalisme mulai menyatukan wilayah di negeriku yang dipisahkan oleh lautan itu.

-J/9/08/02
AnD,
Memang berbeda dengan yang ditempuh Inggris di India, yang memulai industrialisasi dari membangun industri dasar. Kolonialisme Inggris di India, memulai patok kapitalisme dengan Industri dasar—baja dan besi. Maka di India berkembang industri-industri baja dan besi untuk menopang pembangunan industri-industri yang lain. Di negeriku, yang pertama-tama berkembang adalah industri gula. Pemerintahan Belanda terlalu mefokuskan pada barang-barang impor yang saat itu menjadi idola pasar Eropa, yaitu gula. Bagi pemerintah kolonial yang terpenting adalah mencari cara agar bisa mengakumulasi modal dengan cepat dan biaya yang murah. Gula, yang menjadi barang berharga di Eropa, dijadikan tulangpunggung bagi proses industrialisasi ini. Pada tahap awal, industri gula memang bisa berkembang cukup pesat, tetapi industri ini tidak dapat mendorong tumbuh berkembangnya industri-industri yang lain--karena setelah sarana pendukung tercukupi, jalur kereta api, jalan raya, terpenuhi, industri gula relatif tidak membutuhkan penunjang dari industri-industri lain. Kalaupun ada perluasan industri baru baru, itu bisa terjadi apabila ada perluasan terhadap industri gula—baik dibukanya pabrik baru maupun perkebunan tebu baru. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perkembangan industri lain—selain industri gula, cukup lambat. Industri-industri  manufaktur lain, seperti industri tekstil tidak dibangun di Indonesia, tapi malah dibangun di negeri Belanda, begitu juga dengan industri karet, hanya diproses dengan industri yang sederhana.

Ini semua membawa dampak. (1). Rapuhnya proses industrialisasi di negeriku. Industri gula ternyata tidak bisa menjadi tulangpunngung industrialisasi di negeriku. Ketika harga gula munurun--terutama setelah ditemukan bahan kimia untuk membuat gula tiruan--perekonomian Hindia Belanda mulai goyah, tidak ada industri lain yang bisa menopangnya. Dalam dapak yang lebih panjang—hingga saat ini—industrialisasi di negaraku tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sehingga, negeriku yang semua orang mengatakan kaya raya, tidak bisa mengolah kekayaan sendiri, yang hanya mampu menjual bahan-bahan mentah, atau bahkan diserahkan kepada modal asing untuk dikeruk. (2). Tidak melahirkan kelas proletar yang tangguh. Tidak berkembangnya industrialisasi, menyebabkan Rakyat di negeriku sebagian besar masih bekerja di sektor pertanian/perkebunan. Atau lainya bekerja di pabrik-pabrik gula. Rata-rata yang bekerja di tempat ini adalah petani-petani miskin, yang tanah-tanahnya tidak bisa digarapkan lagi—karena irigasi sudah tersedot untuk kepentingan perkebunan Belanda. Mereka ini, rata-rata tidak mempunyai pendidikan yang memadai, sebagian besar malah masih buta huruf—sedangkan politik etik hanya menjangkau penduduk kalangan bangsawan atau rakyat yang dipersiapkan menjadi pegawai adminitrasi Belanda—sehingga mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang seluk beluk dunia industri/tentang hak-hak mereka. Sementara, buruh manufaktur, yang mempunyai pendidikan lebih tinggi, masih cukup kecil—di Jawa hanya ada sekitar 3,7% atau sekitar 122.270 orang, bandingkan dengan yang bekerja di sektor pertanian, ada sekitar 2.565.974 atau sekitar 76,4%. Situasi ini berdampak pada tingkat kesadaran kaum buruh terhadap penghisapan yang dilakukan oleh kapitalisme Belanda menjadi lambat.

AnD,
            Itulah, tumbuh dan kembangnya kapitalisme di negeriku. Kalau kau membuat suatu perbandingan, banyak perbedaanya dengan yang terjadi di negerimu. Ya, persamaanya mungkin hanya satu: sama-sama menghisap. Kapitalisme yang ada di negaraku ini, yang dipatok oleh kolonialisme Belanda, dalam perjalanan sejarahnya membawa dampak-dampak yang besar, terutama dalam karakter-karakter manusianya. Semoga ada kesempatan bagiku untuk membentangkannya kepadamu.