Kamis, 12 Januari 2012

Laporan Perjalanan Fiksi (Warta Angin)

*******

Taman di timur wilayah kota ini tampak menarik. Tapi tak ada kumbang atau kupu-kupu yang mendesing desau meliuk-liuk di taman itu. Walau semuanya semerbak mewangi dan banyak bunga yang bermekaran segar, namun tak sedikit yang tampak tumbuh tertaih-tatih, dihiasi layu.

Tampaklah sebuah seruni tua dan tampak layu di antara aneka kembang . Meski demikian, pekat gelap rimbunan tak kuasa menyembunyikan keindahannya. Terik matahari tak mampu membuatnya lemah, hembusan angin tak kuasa membuatnya goyah. Sebaliknya, fatamorgana yang ditampilkan aspal seberang taman di samping jembatan, menarik perhatiannya yang telah lama tak diguyur belaian kesegaran butiran-butiran air.

*******

Di barat kota, tukang-tukang sedang kebanjiran job, Entah tukang batu maupun tukang kayu. Sedang ada penyisiran lahan, menggusur kekumuhan dan menyulapnya menjadi julangan tembok-tembok tinggi penuh kemewahan ala borjuasi. Kemiskinan makin terperosok menjadi kesengsaraan, anak-anak negeri hanya mampu mengagumi keindahan yang ditawarkan lewat intipan dari kolong-kolong jembatan. Di puncak kemegahannya yang dibalut seruan-seruan humanisme, pemilik modal dan para teknokrat mengulum senyum sedikit membungkukan badan mengangkat tangan tanda hormat dan salam, sembari tangannya yang lain meneken memastikan mendapat bekingan preman-preman yang bertebaran; mulai dari preman berdasi bermodal kuasa membuat regulasi-regulasi hingga preman tanggung bermodal belati berkarat. Semuanya agar spirit sejati; ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi tetap on the track.

*******

Rumah bercat putih dengan dua lantai yang dihuni 6 anggota keluarga di selatan kota ini sekilas nampak damai. Keluarga Pak Makuwu dan Bu Kahayati, dan anak-anak mereka; Nalib, Arianto, Diana, dan Hana. Nalib, seorang pemuda tampan yang menderita sakit bawaan sejak lahir. Arianto, seorang remaja periang yang banyak teman. Sedangkan Diana dan Hana, kembar jenius yang jadi kebanggaan keluarga. Pak Makuwu, seorang pegawai negeri penganut pancasila warisan orba dan agamis yang sangat taat, adalah seorang sesepuh yang dihormati di kota ini. Sementara isterinya adalah seorang pegawai negeri juga yang memilih menjadi ibu rumah tangga, dengan pertimbangan agar lebih mudah mengawasi dan menjaga Nalib yang cacat.

Entah karena kegundahan yang membuncah, kedekatan yang tercipta karena udara malam yang menggigit tulang, ataukah karena pengaruh yang ditimbulkan oleh teguk demi teguk arak lokal, mengalirlah kisah demi kisah dari mulut sang pemilik rumah. Pak Makuwu mengeluhkan akan tingkah isterinya yang tak henti-hentinya bertualang seks dari satu lelaki ke lelaki lain. Mulai dari Hendrikus, seorang komisaris perusahaan sosial yang adalah juga kenalan Pak Makuwu; Eko, seorang pengusaha dari kota rokok yang lagi-lagi adalah kenalan Pak Makuwu; hingga teman-teman Arianto yang datang belajar bersama di rumah pun pernah menjadi korban keliaran Kahayati. Yang palinf fenomenal adalah petualangannya bersama Gusti, seorang pria mapan beristri asal kota mas. Kisah ini bahkan mewarnai debat-debat panjang di Pengadilan Agama, karena Gusti ternyata telah memberikan sebuah apartemen, uang pendaftaran masuk sekolah anak-anak, hingga kebutuhan rumah tangga keluarga Kahayati. Masih ada lagi kisahnya yang mengganggu keutuhan rumah tangga Inno, pria muda asal ibukota,; kisahnya bersama pemuda pengangguran, Jones; bersama Jose, seorang aktifis karang taruna yang sehari-harinya berprofesi sebagai preman, preman tanggung tepatnya. Dan masih banyak kisah lagi kisah Pak Makuwu, yang kelihatannya sudah di bawah pengaruh alkohol kandungan arak lokal kota ini.

"Modusnya selalu sama. Meratapi hidupnya yang bagai burung dalam sangkar emas. Hidup di atas ranjang emas, tapi mengisi malam dengan telentang telanjang sambil tangan diborgol. Masokhisme yang didapat di dalam istana rumah tangga. Punya segalanya, tapi tak mendapatkan kenyamanan dan kebebasan". Selesai berkata begitu, Pak Makuwu meneguk tandas isi gelasnya. Ah, omongan orang mabuk, setengah sadar setengah tidak, diputuskan untuk setengah percaya setengah tak percaya.

*******

Jose sedang membelah malam utara kota dengan kendaraan barunya, ketika tiba-tiba Blackberry-nya berdering. Walau ibunya sesekali jadi tukang cuci keliling dan ayahnya pekerja serabutan, dan rumahnya hanya memiliki 1 pintu dan 1 jendela, serta tanpa toilet atau kamar mandi, dan rumah hanya 4 x 5 m, dia memilih gaya hidup mewah. Diliriknya sekilas,  "Di rumah orang ramai. Lagipula si Jones rese, dasar kampungan. Sekarang kutunggu di tempat biasa. Tempat kita memandangi laut, menikmati api yang membakar menanti senja". Dibalasnya sms Kahayati seadanya, "Tenang, anak itu nanti saya yang urusi". Ketiknya sambil digenggamnya belati berkarat miliknya. Jones adalah kawan Jose di organisasi karang taruna kelurahan. Tapi agar tampak jantan di mata Kahayati, pemuda yang mendekati 30-an itu rela tampil sebagai jagoan, dengan menjadikan Jones sebagai musuhnya. Menurutnya, siapa yang memenangkan adu strategi, membangun opini, dan menggalang dukungan, dialah yang mendapatkan Kahayati. Seabrek intrik dan belati berkaratnya akan dipakai untuk mendapatkan tante genit yang mengaku sebagai seruni layu. "Brilian dan tolol ternyata berbeda tipis", ucap kawan-kawannya kala mendengar Pak Makuwu mendapati Jose dan Kahayati yang bersenggama di tepi kali. Ah, ternyata orang mabuk adalah orang yang paling jujur.

*******

Dante Che, 12/01/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar