Rabu, 11 Januari 2012

Kedatangan Bangsa Eropa atawa Sebuah Kelahiran yang Cacat


Kedatangan Bangsa Eropa atawa Sebuah Kelahiran yang Cacat

Ragil


-J/13/06/02                      
AnD,
Ijinkan aku melanjutkan dongenganku. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan di negeriku patah menjadi berkeping-keping. Masing-masing saling bermusuhan satu dengan lainya. Tidak ada kekaisaran yang mampu menyatukannya. Dalam situasi seperti ini datang bangsa dari Utara. Mereka hebat dalam segalanya. Kapal mereka besar, tapi ramping, layar kapal mereka terbentang lebar dengan tanda palang besar di tengahnya, sehingga lajunya cukup kencang. Senjata mereka aneh, pelurunya terbuat dari bola besi, yang ketika menghantam kapal musuh, bisa hancur berantakan. Perahu-perahu itu membawa orang-orang yang juga aneh, hidungnya mancung dan rambutnya seperti rambut jagung. Armada laut kerajaan-kerajaan yang ada di Asia, tidak ada satupun yang sanggup melawan, semuanya lari terbirit-birit. Itulah bangsa Portugis dan Spanyol, AnD. Setelah ditandatangani perjanjian Tordasillas diantara dua kerajaan tersebut, yang disaksikan oleh Paus, seperti buah semangka, dunia dibelah menjadi dua, satu bagian untuk Spanyol, satu bagian lagi untuk Portugis.  Mulailah mereka menjelajahi dunia, untuk mencari emas dan rempah-rempah. Setelah sekian lama mencari, sampailah mereka di Selat Malaka, pelabuhan besar di Asia, pusat perdagangan rempah-rempah dunia.

1511, Selat Malaka jatuh kecengkraman Portugis. Pelabuhan besar itu telah jatuh ke tangan bangsa Eropa. Matilah jaring-jaring perdagangan yang telah dirajut beberapa abad. Hancur berantakan. Hanya menyisakan kolonialisme. Negeriku, yang sudah terpatah-patah sejak keruntuhan Majapahit, semakin sepi. Pelabuhan-pelabuhan besar, yang selama ini selalu ramai dipenuhi pedagang-pedagang asing, kini, hanya menyisakan jembel-jembel dan pelacur-pelacur. Semuanya, menjadi pelabuhan mati. Mati perdaganganya, mati jiwanya, mati peradabannya. Satu demi satu, kerajaan-kerajaan yang selama ini menjadikan laut sebagai masa depan, mulai memungungi harapan dan cita-cita mereka. Perahu-perahu mereka biarkan terombang-ambing di pelabuhan, seperti nasib pelabuhan mereka yang juga terombang-ambing. Selamat datang bagsa dari Utara. Silahkan kau bentangkan jubah kolonialismemu. Silahkan kau julurkan tangan-tangan guritamu untuk menghisap kekayaan alam kami, rakyat kami. Kami akan pasrah kepadamu karena kami telah lumpuh. Silahkan kalian pasang rantai-rantai penindasanmu. Ma’af, kami tidak bisa berbuat banyak, peradaban kami telah runtuh. Kalaupun ada perlawan disana-sini, itu semata-mata agar mata dunia melihat, bahwa kami masih ada. Beri kami sedikit ruang hidup. Kalian akan disambut dengan tangan terbuka oleh tangan feodalisme yang sudah bangkrut.

Belanda datang kemudian. Tahun 1596, bangsa Belanda sampai di Batavia lengkap dengan senjatanya; dengan modal-modalnya tentu—sebelumnya mereka sudah sampai Banten, Gresik, yang dipimpin oleh Cornelis Houtman. VOC (Verenigle Oost-Indishe Compagnige) yang didirikan tahun 1602—organisasi ini merupakan serikat dagang yang didirikan para pedagang Bataaf, tugas badan ini tidak hanya mengawasi perdagangan di Indonesia, tetapi juga di Srilangka, dan kawasan yang merentang dari Tanjung Harapan ke Jepang.  Kongsi dagang ini dipimpin oleh “de XVII Heeren” atau “Yang Mulia 17 Bangsawan”. Memang kedatangan mereka tertinggal 100 tahun setelah Vas da Gamma sampai di Goa. Perlahan-lahan, mereka mulai menancapkan modalnya di negeriku. Tahun 1610 mereka mendirikan loji di Batavia sebagai pusat perdagangan mereka. Tugas mereka tidak ringan. Mereka harus bersaing dengan pedagang Portugis, Spanyol, Inggris, dan juga dari pedangan lokal yang sudah lama menguasai jaringan perdagangan  Melayu, Bugis, India, Tiongkok.  Dengan bantuan penduduk Tionghoa, JP Coen berhasil membangun Batavia dari rawa-rawa yang merupakan tempat bersarangnya nyamuk malaria, menjadi pusat perdagangan internasional, menjadi magnet bagi pedagang-pedagang dari berbagai manca negara.  

Sebagai kumpulan para pedagang, pada masa-masa awalnya,  VOC lebih memperhatikan lautan dan belum memikirkan pedalaman. Kota-kota pesisirlah yang yang mereka tundukkan pertama kali. Ambon diduduki pada 1605, kemudian Banda (1621), dan berturut-turut merebut Selat Malaka (1641). Dalam perjanjian Painan, VOC memperoleh hak atas bandar di pantai Barat Sumatera, berusaha menguasai ladang emas di daerah sekitarnya, tapi tidak berhasil. Di Palembang dan Banjarmasin VOC memperkuat loji-lojinya. Akan tetapi, sebenarnya kekuasaan mereka masih terpusat di Jawa. Di Jawa, posisi mereka lebih terjamin. Setelah penundukan-penundukan itu, VOC baru melirik ke pedalaman. Situasi kekuasaan Jawa di pedalaman saat itu sedangmengalami perang saudara, saling berebut kekuasaan. Pemberontakan Trunojoyo dari Madura, Untung Suropati--seorang budak dari Bali-- dan orang-orang Tionghoa terhadap Mataram, dimanfaatkan oleh Belanda untuk menawarkan bantuan terhadap raja Jawa. Melalui cara-cara seperti ini, VOC mulai menantapkan kukunya di daerah pedalaman, yang feodalismenya sudah sekarat. Walupuan Banten berhasil dikuasai (1705) dan kota-kota pesisir lain dapat dikuasai, bukan berarti memperkokoh posisi VOC di Batavia. Pemberontakan-pemberontakan dari daerah pesisir terus saja terjadi.

Dalam bidang perdangan, VOC memang bisa melakukan monopoli, tapi banyak juga korupsi. Gaji pejabat yang rendah, sedangkan gaya hidup mereka bak raja-raja kecil penuh dengan kemegahan dan kemewahan, menyebabkan korupsi menjadi hal yang lumrah. Dengan posisi keuangan yang semakin menurun, berbagai jalan dicari oleh VOC. Semasa Gubunur Jendral Van Imhoff (1743-1750) dilakukan pembaruan-pembaruan, diantarnya, penyeragaman mata uang dan menjalin hubungan dagang tras Pasifik dengan koloni Spanyol di Amerika, tapi, tetap saja tidak dapat menghanbat kebrangkutan VOC.  Revolusi Prancis dan naiknya kekuasaan Napoleon menjadi titik akhir kekuasaan VOC, dan tangung jawabnya diambil alih oleh pemerintahan Belanda. Akhirnya, mendekati awal abad ke-19, VOC walaupun mulai berhasil memonopoli perdagangan—khususnya rempah-rempah-–mengalami kebangkrutan karena korupsi besar-besaran yang dilakukan pegawainya sendiri. Inilah akhir jaring-jaring merkatilisme Eropa yang dibentangkan di negeriku.

AnD,
Setelah keruntuhan VOC, situasi negeriku semakin parah, semakin jatuh dalam cengkraman kolonialisme. Tuan Guntur, seorang pengagum Napoleon Bornapate, mendapat mandat dari kerajaan Belanda untuk menyelamatkan negeriku dari kehancuran. Ia berpaling dari lautan, menjadikan daratan sebagi penopang kuku-kuku kolonialismenya. Jalan Raya Pos, ia bentangkan dari Ayer di ujung barat Pulau Jawa sampai Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. Ia satukan Pulau Jawa yang telah patah-patah setelah keruntuhan Majapahit.

Langkah-langkah yang diambil Tuan Guntur sesuai tujuan baru dari bangsa Eropa yang mulai berubah. Kalau selama ini tujuan utama mereka adalah memonopoli perdagangan sehingga hanya memfokuskan pada hasil hutan—rempah-rempah—kini tujuan mereka adalah mengolah pedalaman. Artinya, bahwa tanah-tanah di pedalaman—yang selama ini dikuasai oleh raja-raja—mulai mereka ambil, untuk diolah guna menanam tanaman perkebunan—kopi, kapas, gula, tembakau dan tanaman ekspor lainnya. Tanaman-tanaman tersebut merupakan barang-barang ekspor yang sangat laku di pasaran Eropa. Arah baru ini jelas membutuhkan sarana pendukung. Maka, untuk memperlancar arus barang-barang tersebut dari pedalaman menuju ke pelabuan-pelabuhan, sarana transportasi merupakan kebutuhan yang vital. Pembangunan Jalan Raya Pos mempunyai tujuan seperti itu—memperlancar tujuan kolonial untuk mengeruk kekayaan. Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Tuan Guntur, sebetulnya merupakan usahanya untuk mengikis feodalisme yang ada di negeriku. Tanah-tanah yang dahulunya tersentral dalam kekuasaan raja-raja, kini diambil alih oleh pemerintah Belanda. Tuan Guntur merupakan ancaman bagi raja yang masih tersisa. Sebagai pengagum Revolusi Prancis, ia sangat beci terhadap feodalisme. Kerja-kerja paksa yang dilakukan Tuan Guntur secara langsung telah melucuti kekuasaan raja-raja yang selama ini  memonopoli tenaga manusia dan sumber daya alam. Usahanya juga merupakan pematokan terhadap kapitalisme di Indonesia. Patok pertama kapitalisme telah ditancapkan Tuan Guntur di Negeriku.

Langkah Tuan Guntur, memang tidak selesai. Belanda harus menyerahkan kekuasaan terhadap negeriku kepada Inggris. Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1826) tampil sebagai penguasa tertinggi di Jawa. Ia adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan. Kebun Raya Bogor merupakan monumen ilmu pengetahuan yang sampai saat ini masih ada. Tetapi yang terpenting bagi perkembangan corak produksi di negeriku adalah kebijaksaan tentang sewa tanah. Berdasrkan hukum kuno, tanah merupakan milik raja, sehingga siapa saja yang mengunakanya harus membayar sewa.

Ada tiga pengolongan dalam pemungutan pajak ini: 1). Golongan orang depan. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak mendapatkan bagian dalam pengelolaan tanah komunal. Sebagian besar mereka juga sebagai pemilik tanah sikep. 2). Golongan orang tengah/kuli setengah gogol/kuli kendo. Mereka adalah golongan masyarakat yang memiliki pekarangan dan rumah, tapi tidak mempunyai sawah. Golongan ini termasuk mempunyai hak untuk menggarap tanah komunal. 3). Golongan orang belakang/petani tak bertanah.dibagi menjadi dua golongan, yaitu indung/tumpang/pondok karang, mereka yang mempunyai rumah yang menumpang diperkarangan orang lain. Sedangkan golongan kedua yaitu tumpang tlosor/pondok tlosor/kumpulan/nusup,mereka adalah warga desa yang tidak mempunyai rumah dan menumpang pada orang lain.

Dari ketiga golongan tersebut, golongan pertama dan kedualah yang dikenai pajak. Selain pemajakan, kebijakan yang dilakukan oleh Rafless adalah sewa tanah.Ini membawa dua pengaruh: (1). Tanah-tanah kerajaan diambil alih oleh pemerintah Inggris. Raja tidak lagi mendapat upeti dari rakyatnya, tetapi dari gaji yang diberikan oleh pemerintah kolonial. (2). Rafles menyewakan tanah-tanah pemerintah kepada swasta, terutama orang-orang Tionghoa. Kebijakan ini telah menggiring modal-modal swasta mulai masuk ke pedalaman, terutama untuk investasi perkebunan. Secara pasti modal-modal semakin masuk ke pedalaman. Perkebunan-perkebunan, terutama tebu, mulai dirintis. Kehidupan petanipun mulai berubah menjadi buruh-buruh perkebunan. (3). Kekuasaan raja Jawa mulai terkikis. Konflik internal dikalangan kraton membuat peranan Inggris dibutuhkan untuk mendukung proses pergantian raja. Naiknya Hamenkubuwono III merupakan babak baru bagi feodalisme di Jawa. Sebagai balas jada kepada Inggris, HB III harus menyerahkan daerah-daerah pesisir dan membanyar pajak untuk daerah Kedu dan Klaten. Juga kerajaan dibelah, dengan didirikan Paku Alaman. Lama kelamaan, tanah mereka semakin sempit, yang tetap besar adalah watak feodal mereka. Semakin menciutnya hak-hak para bangsawan, menjadi salah faktor perang Jawa berkobar.

-J/23/07/02
AnD,
Sepanjang 1825-1830 Jawa diterjang badai, yaitu perang. Perang ini kemudian terkenal dengan perang Jawa. Pangeran Diponegoro, seorang pangeran dari kraton Yogyakarta, memimpin sebuah pemberontakan terhadap Belanda. Banyaknya hak-hak bangsawan Jawa yang dilucuti oleh pemerintah kolonial menyebabkan pemberontakan ini banyak mendapat dukungan—bangsawan-bangsawan kraton, yang dirugikan oleh pemerintah kolonial, banyak yang bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Tidak mengherankan, kalau Belanda harus mengonsentrasikan kekuatanya—baik dana maupun angkatan senjatanya—untuk mematahkan perlawanan Diponegoro. Zaman memang belum bisa berpihak pada perjuangan melawan kolonialisme, perlawanan itu dapat dipatahkan. Akan tetapi, Belanda harus memutar otak untuk mencari jalan keluar, mengisi kas mereka yang kosong.

Du Bus, Gubenur Jendral Belanda waktu itu, tidak punya jalan keluar untuk membayar hutang Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar f 37 juta lebih. Buntu otaknya. Sampai kemudian, seorang pensiunan Komisaris Jendral Hindia Barat, Johanes van de Bosch, datang menghadap Raja Williem dengan rencana barunya, Cultuurstelsel. Rencana ini sungguh indah: “Orang Jawa tidak boleh dibebani pekerjaan baru yang tidak mereka sukai, Culturrstesel ini hanya boleh dilaksanakan apabila penduduk menghendaki”. Dengan rencana baru ini, van de Bosch datang ke Hindia Belanda. Sesampainya di Jawa, ia melakukan pembersihan-pembersihan, Raad Hindia dibersihkan dari kekuatan oposisi, yang kemudian diubah menjadi kumpulan-kumpulan boneka penasehat, yang tidak mempunyai hak untuk ikut mementukan. Semakin lapang jalan Van de Bosch untuk menghisap bumi dan manusia negeriku. Rencananya mulai dilaksanakan. “Kami tidak memaksa kalian penduduk Jawa. Kami hanya memintamu untuk bekerja, karena kerja adalah mulia. Maka, tanamilah seperlima tanah kalian dengan tanaman-tanaman yang kami inginkan: lada, kopi, tebu, nila, kayu manis atau kapas. Pilihlah tanaman-tanaman itu. Agar kalian tidak kelaparan, tanamlah sisa-sisa tanah yang tidak kalian serahkan kepada pemerintah, untuk keperluan kalian sendiri. Kalian boleh kerja keras, tapi jangan lupa bayar pajak, bukankah pajak adalah warisan dari raja-rajamu sendiri? Maka, bayarlah dengan hasil memeras keringat kalian. Sedangkan kerja untuk pemerintaha, bukankah tidak perlu diupah? Selama ini kalian kerja untuk raja juga tidak pernah di upah, karena mengabdi pada pemerintah sama dengan mengabdi pada raja. Nanti kalau kalian sudah panen, akan kami beli hasil kalian (yang bukan dari kewajiban pemerintah) dengan harga pasar, dan angkut sendiri hasil-hasil itu ketempat-tempat yang telah kami tentukan. Bagi kalian yang tidak punya tanah, cukup bekerja 66 hari saja bagi pemerintah. Sementara untuk kalian priyayi-priyayi pribumi, akan kami berikan hadiah apabila bisa menghailkan produk yang melimpah. Kalian akan kami bayar dengan gaji yang cukup, dan jabatan kalian boleh diwarsikan kepada anak cucu kalian. Bekerja keraslah!”—Itulah Cultuurstesel. Itulah kehidupan rakyat negeriku ketika cultuurstelsel diterapkan, kata ini karena sulit diucapkan oleh rakyat negeriku, diubah menjadi Tanam Paksa.

Jalan keluar van de Bosch terbukti memang ampuh. Hindia Belanda bukan tempat yang kering kerontang. Kapal-kapal N.H.M—yang saham terbesarnya dimiliki Raja Belanda—selalu punuh muatnya, membaw` barang-barang dari Jawa ke Belanda. Keuntungan-keuntungan Cultuurstelsel setiap tahunnya laksana emas yang turun dari langit. Tidak salah kalau dikatakan, Pulau Jawa adalah “gabus tempat negeri Belanda mengapung”. Hanya dalam waktu 5 tahun pelaksanaan Tanam Paksa, uang kelebihan anggaran belanja Hindia Belanda, yang bisa dialirkan ke negeri Belanda mencapai 800 juta gulden. Dengan keuntungan sebesar itu, Belanda mulai bisa menggerakkan perdagangan, pelayaran, industri, yang sebelumnya hampir mati. Belanda tumbuh bak laksana surga di Eropa, sementara negeriku tumbuh menjadi neraka yang paling dalam. Penduduk negeriku semakin kering kerontang. Tanah-tanah mereka tidak terurus. Tenaga mereka sudah kering untuk menanam tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Ya, modalah yang mengubah segalanya.

Tanpa terasa, negeri kami memasuki zaman baru, kapitalisme. Rakyat hanya bisa merasakan. Dimana-mana perkebunan Belanda. Jalan-jalan diperbaiki. Kota-kota pelabuhan menjadi ramai, toko-toko mulai berdiri, pasar ramai. Ada perubahan memang. Tapi ditempat lain Rakyat tidak melihat perubahan. Para priyayi masih memakai belangkon, kalau mereka lewat, Rakyat masih diwajibkan untuk bersimpuh di tanah. Rakyat juga masih diwajibkan kerja untuk priyayi-priyayi ini, terutama mendekati hari besar keagamaan atau kalau ada hajatan. Ternak-ternak mereka juga masih sering diminta oleh para priyayi-priyayi ini untuk sebuah acara. Zaman apakah ini kiranya? Ya, zaman kapitalisme yang berpenopong feodalisme.

Negeriku telah memasuki zaman baru, tapi juga masih mengukuhi zaman lama. Memang tidak seperti yang terjadi negerimu. Zaman baru di negerimu, menghancurkan zaman lama yang sudah usang itu. Di negerimu, zaman baru datang setelah melalui perjuangan yang panjang dan berdarah dari rakyat untuk merobohkan tatanan lama. Kaum borjuasilah yang menjadi pendorong perubahan di negerimu. Di negeriku semua itu tidak terjadi. Zaman lama tidak pernah dirobohkan oleh zaman baru. Kedua zaman ini bahkan bergandengan tangan untuk menghisap Rakyat negeriku. Tidak, tidak, borjuasi tidak pernah tumbuh di negeriku, apalagi mengharapkannya memimpin perubahan.  

Gilda-gilda/industri rumah tangga—yang di negerimu kemudian berkembang menjadi industri-industri besar, yang mempunyai kedudukan yang otonom terhadap kerajaan, yang kemudian tumbuh menjadi golongan yang melawan feodalisme—tidak tumbuh di di negeriku. Industri-industri yang berkembang, sebagian besar adalah industri-industri milik borjuasi Belanda, yang langsung menjadi industri besar (misal perkebunan), sehingga golongan borjuasi yang muncul dari gilda-gilda ini—selain dari pedagang-pedagang—tidak tumbuh (kalaupun ada tidak signifikan, misalnya, yang tumbuh seperti kerajinan perak di kota gede, pengusaha-pengusaha yang tumbuh di minangkabau, padang), tetapi tidak pernah bisa mendorong timbulnya perubahan (untuk meruntuhkan feodalisme). Kau tahu sendiri, embrio dari lahirnya borjuasi, kaum pedagang, sudah ludes setelah keruntuhan Majapahit, kembali ke dunia feodal yang sakitan itu, yang belepotan dengan sembah dan jongkok.

Ya, patok ketiga telah dipancang oleh Van de Bosch: Kapitalisme Yang Cacat.

Selanjunya, terpaan demi terpaan terjadi di negeriku:
1. Masuknya biji besi secara besar-besaran ke negeriku. Kau tentunya sudah tahu, bahwa besi merupakan bahan dasar bagi proses industrialisasi–-pembangunan pabrik dan jalan-jalan kereta api. Walaupun letaknya di jalur antara India dan Tiongkok yang sudah maju industri metalurgiya, negeriku ketinggalan—teknik-teknik pengecoran baru digunakan untuk membuat nekara, selebihnya sebatas untuk persenjataan. Persedian biji besipun juga terbatas, hanya ada di daerah-daerah seperti bagian tengara Kalimatan, bagian tengah Su Jukisi, daerah pedalaman Sumatera dan Sumbawa, di Jawa sama sekali tidaka da biji besi. Selama beberapa abad—terutama setelah keruntuhan Majapahit-- hak pengolahan besi hanya  dipegang para pandai besi, sehingga perkembanganya menjadi sangat lambat. Industri pengolahan besi tidak pernah bisa berkembang.

2. Pembangunan jalan kereta api. Jalur pertama jalan kereta api antara Semarang-Kedung Jati di resmikan tahun 1871 (raja Siam Chulaulongkorn datang untuk mengaguminya), juga ditandai terbitnya surat kabar di Semarang, De Lokomotif. Jalur Batavia-Buitenzorg/Bogor (1873) dan jalur Surabaya-Pasuruhan (1878). Semakin panjang jalan kereta api itu. Tahun 1894 selesailah jalur pertama ‘lintas Jawa’, yang menghubungkan Surabaya dengan Batavia, melalui Maos, Yogya dan Solo. Pada tahun 1912 jalur kedua dibuka, melalui Cirebon dan Semarang. Jalan-jalan kereta api ini telah menjadi penghubung industri-industri Belanda dan sekaligus, sedikit-demi sedikit mengikis mental petani setalah mengalami persentuhan dengan kota-kota satelit.

3. Terpaan di bidang kesehatan. Satu pembaruan terpenting adalah diperkenalkanya vaksin--terutama vaksinasi cacar dan ditemuakanya obat untuk malaria. Vaksin ini, denga kemajuan angkutan darat maupun kereta apai telah memungkinkan tersebar ke seluruh pelosak Jawa. Kemajuan ini telah meningkatkan tingkat harapan hidup penduduk Jawa, sehingga ketersedian tenaga kerja guna kepentingan industrialisasi Belanda bisa terjamin. 

4. Terpaan pada jaringan komunikasi. Telegraf sebagai alat komunikasi mulai tahun 1856 --kawat pertama dibangun antara Batavia-Buitenzorg (1857), antara Batavia-Surabaya (1859) dan bisa digunakan oleh pihak swasta, pada tahun 1859, jaringan di Jawa panjangnya 2700 km dan terdapat 20 pos untuk umum – telah membantu perkembangan industrialisasi di Jawa. Yang lebih dasyat jaringan bawah laut dibangun– dan hal ini dipermudah oleh kenyataan bahwa Hindia Belanda adalah salah satu penghasil utama ‘getah perca’ di dunia, getah perca yang pada zaman itu digunakan untuk membuat salut—telah menajadikan jawa telah menjadi bagian dari kapitalis ineternasioanl). Pada tahun 1870, Batavia dihubungkan denegan Singapura, Bayuwangi dihubungkan dengan port Darwin. Tahap terakhir adalah jaringan telepon menghubungkan Surabaya  dengan Batavia pada tahun 1910. 

5. Teknik lain yang juga membawa pengaruh adalah teknik cetak, dengan hadirnya mesin cetak. Adanya mesin cetak inilah yang kemudian memungkinkan Minke menerbitkan Medan Prijaji yang terbit harian sebagai alat propaganda kepada rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan imperialisme/kolonialisme.

6. “Revolusi” pada struktur sosial masyarakat secara ekonomi politik. Seluruh terpaan yang ada di muka pada akhirnya berujung pada satu titik yaitu konsentrasi modal dan tenaga kerja untuk produksi komoditi. Bijih besi untuk membuat mesin mesin pabrik; rel-rel kereta api untuk menghubungkan tempat-tempat penggalian bahan mentah (perkebunan, pertambangan) ke pusat pusat produksi (pabrik), dan dari pusat pusat produksi ke pusat pusat distribusi (pasar). Mobilisasi tenaga kerja, dari desa ke pabrik pabrik dan ke kota-kota, merupakan konsekuensi logisnya. Sebagaimana juga pembagian kerja di dalam masyarakat, sampai akhirnya tercipta struktur kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Ya, kapitalisme sudah dibentangkan. Industri, sebagai tulangpunggung kapitalisme terus dibangun oleh pemerintah kolonial. Seribu Delapan Ratus Tujuh Puluh, merupakan permulaan perubahan zaman bagi negeriku. Sebuah UU baru, yang kemudian dikenal dengan UUPA, ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Ini dilatar belakangi terjadinya perubahan di Eropa. Tanam Paksa, telah menimbulkan perubahan baru di Belanda. Industrialisasi yang semakin berkembang yang didukung dana dari Tanam paksa, tak pelak lagi, telah menumbuhkan kelas baru, borjuasi. Mereka ini, mulai mendirikan perusahaan-perusahaan swasta, yang sangat membutuhkan bahan mentah, dan sekaligus menanamkan modalnya di tanah jajahan. Sementara, selama ini, distribusi bahan-bahan mentah dan penanaman modal di tanah jajahan masih dimonopoli oleh pemerintah. Seperti halnya di negara lain, mereka melakukan gerakan politik. Maka, di negeri Belanda sana, terjadi perubahan yang cukup mendasar, golongan liberaral marak ketangga kekuasaan. Golongan ini, yang sebagian besar pengusaha-pengusaha swasta, medesak agar pemerintah membagi keuntungan dengan mereka. Mereka sadar, bahwa negeriku adalah lahan yang subur untuk mengembangbiakkan modal mereka. Pengusaha-pengusaha swasta ini, kemudian menghadap sang Ratu, sambil berkata, “ijinkan kami mengais-ngais rejeki di Hindia Belanda. Injinkan modal-modal kami bisa beranakpinak agar tidak beku. Bukankah tidak ada artinya sri Ratu, kalau modal dibiarkan membeku. Ijinkan kami juga ikut menyebarkan ajaran Injil, membuat penduduk Hindia Belanda lebih beradab”. Maka, datanglah modal-modal swasta ke negeriku, seperti banjir bah. Mereka datang tidak dengan kekuatan bersenjata—seperti pertama kali Coen datang—mereka datang dengan politik etiknya. Ternyata sudah siap mereka. Segalanya sudah dipersiapkan dengan matang, termasuk alat-alat penghisapanya yang lebih halus. Sedikit demi sedikit, kapitalisme mulai menyatukan wilayah di negeriku yang dipisahkan oleh lautan itu.

-J/9/08/02
AnD,
Memang berbeda dengan yang ditempuh Inggris di India, yang memulai industrialisasi dari membangun industri dasar. Kolonialisme Inggris di India, memulai patok kapitalisme dengan Industri dasar—baja dan besi. Maka di India berkembang industri-industri baja dan besi untuk menopang pembangunan industri-industri yang lain. Di negeriku, yang pertama-tama berkembang adalah industri gula. Pemerintahan Belanda terlalu mefokuskan pada barang-barang impor yang saat itu menjadi idola pasar Eropa, yaitu gula. Bagi pemerintah kolonial yang terpenting adalah mencari cara agar bisa mengakumulasi modal dengan cepat dan biaya yang murah. Gula, yang menjadi barang berharga di Eropa, dijadikan tulangpunggung bagi proses industrialisasi ini. Pada tahap awal, industri gula memang bisa berkembang cukup pesat, tetapi industri ini tidak dapat mendorong tumbuh berkembangnya industri-industri yang lain--karena setelah sarana pendukung tercukupi, jalur kereta api, jalan raya, terpenuhi, industri gula relatif tidak membutuhkan penunjang dari industri-industri lain. Kalaupun ada perluasan industri baru baru, itu bisa terjadi apabila ada perluasan terhadap industri gula—baik dibukanya pabrik baru maupun perkebunan tebu baru. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perkembangan industri lain—selain industri gula, cukup lambat. Industri-industri  manufaktur lain, seperti industri tekstil tidak dibangun di Indonesia, tapi malah dibangun di negeri Belanda, begitu juga dengan industri karet, hanya diproses dengan industri yang sederhana.

Ini semua membawa dampak. (1). Rapuhnya proses industrialisasi di negeriku. Industri gula ternyata tidak bisa menjadi tulangpunngung industrialisasi di negeriku. Ketika harga gula munurun--terutama setelah ditemukan bahan kimia untuk membuat gula tiruan--perekonomian Hindia Belanda mulai goyah, tidak ada industri lain yang bisa menopangnya. Dalam dapak yang lebih panjang—hingga saat ini—industrialisasi di negaraku tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sehingga, negeriku yang semua orang mengatakan kaya raya, tidak bisa mengolah kekayaan sendiri, yang hanya mampu menjual bahan-bahan mentah, atau bahkan diserahkan kepada modal asing untuk dikeruk. (2). Tidak melahirkan kelas proletar yang tangguh. Tidak berkembangnya industrialisasi, menyebabkan Rakyat di negeriku sebagian besar masih bekerja di sektor pertanian/perkebunan. Atau lainya bekerja di pabrik-pabrik gula. Rata-rata yang bekerja di tempat ini adalah petani-petani miskin, yang tanah-tanahnya tidak bisa digarapkan lagi—karena irigasi sudah tersedot untuk kepentingan perkebunan Belanda. Mereka ini, rata-rata tidak mempunyai pendidikan yang memadai, sebagian besar malah masih buta huruf—sedangkan politik etik hanya menjangkau penduduk kalangan bangsawan atau rakyat yang dipersiapkan menjadi pegawai adminitrasi Belanda—sehingga mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang seluk beluk dunia industri/tentang hak-hak mereka. Sementara, buruh manufaktur, yang mempunyai pendidikan lebih tinggi, masih cukup kecil—di Jawa hanya ada sekitar 3,7% atau sekitar 122.270 orang, bandingkan dengan yang bekerja di sektor pertanian, ada sekitar 2.565.974 atau sekitar 76,4%. Situasi ini berdampak pada tingkat kesadaran kaum buruh terhadap penghisapan yang dilakukan oleh kapitalisme Belanda menjadi lambat.

AnD,
            Itulah, tumbuh dan kembangnya kapitalisme di negeriku. Kalau kau membuat suatu perbandingan, banyak perbedaanya dengan yang terjadi di negerimu. Ya, persamaanya mungkin hanya satu: sama-sama menghisap. Kapitalisme yang ada di negaraku ini, yang dipatok oleh kolonialisme Belanda, dalam perjalanan sejarahnya membawa dampak-dampak yang besar, terutama dalam karakter-karakter manusianya. Semoga ada kesempatan bagiku untuk membentangkannya kepadamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar