Senin, 16 Januari 2012

Hujan di Pusat Kota

Hujan berderai diiringi petir menyambar, menyambut senja yang tak pernah usang walau terus saja berulang. Mega-mega tampak putih di kejauhan, membuat angkasa tetap terlihat cerah walau biru langit tersaput, seolah menjadi saksi keriuhan parkiran dan hiruk pikuk deretan pedagang kaki lima yang diapiti julangan plaza modal dan wisma para musafir.

Media massa, baik elektronik maupun cetak, pernah memuat berita bahwa lahan tersebut milik Pemkot, sementara warga yang mendiami wilayah tersebut mati-matian mempertahankan bahwa itu adalah lahan warisan turun temurun dari leluhur mereka. "Mbokne ancuk, ga tepa kabeh wong-wong iku, ga jelas ngurusi negoro", tukas Pak Muklas, seorang penjaga parkir di lahan tersebut kala ditanya perihal polemik ini. sementara Bu Fatimah yang sehari-harinya mengolah warung makan miliknya, melanjutkan dengan ketus, "Lha, iki yo omah omahku dewe, warung warungku dewe, ya opo diatur-aturno karo wong liyo barang". Itulah salah satu lahan yang dahulu dipakai sebagai tempat berkumpul arek-arek Suroboyo melawan Kolonialisme Belanda yang dibonceng Imperialisme Sekutu.

Sebotol aqua tanggung dan segelas es teh menemani dua insan yang mengembara dalam nalar tentang lika-liku kehidupan, hingga senja merayap menuju malam dan hujan lelah mencurah mengguyur jalanan. Amplop putih bergaris-garis merah disemat, kiriman hati yang baik. Yang satu beranjak ke timur, dan seorang lagi bergerak ke barat. Hidup memang selalu menawarkan dua sisi yang berlawanan membentuk harmoni.

*******

Dante Che, 16/01/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar