Sabtu, 09 Februari 2013

Belum Ada Judul


Pagi dini hari, 1 januari 2013, pukul 03.00 pagi. Dunia larut dalam euforia pergantian tahun, berbagai resolusi yang disusun ditumpahkan dalam ledakan kembang api dan panasnya perapian pemanggang ikan yang dibeli dari daerah Pabean. Dipadu dengan arak dari daerah Tuban. Sukacita global yang dinikmati ala lokal. Duduk melingkar beralaskan tanah beratapkan langit.

"Sejarah adalah gerak melingkar maju. Ibarat sebuah titik pada ban, dia akan berulang bergerak dari atas ke bawah ke samping dan seterusnya, kemanapun seturut putaran ban melaju", Erwin yang tampaknya sudah agak oleng tiba-tiba berfilosofis membuka bahan obrolan, mungkin terinspirasi dari ember ikan dan botol-botol yang terguling terkena ayunan kakinya.

"Ah, apakah si Jemblung yang jago panggang ikan ini, suatu saat bisa jadi presiden?", Sekar menyela sekenanya mengalihkan pembicaraan, membuat Erwin mendelik. "Paman Ho alias Ho Chi Minh sebelum menjadi presiden revolusioner karismatis Vietnam, dahulunya adalah juga seorang tukang masak seperti Jemblung ini. Hahaha".

"Ngeledek sekali lagi, aku ga mau panggang lagi ikan-ikan ini lho".

"Bagiku, sejarah itu seperti lampu spion pada kendaraan men. Kita bebas zig-zag atau ugal-ugalan di jalan, tapi kita tetap butuh spion untuk lihat kendaraan lain di belakang kita", sela Mbah pada Erwin, agar si Jemblung tak memperpanjang polemiknya.

"Think globaly, drink localy". "Ngomong tok, mending ngombe ae, ojok abot-abot"(omong tok, mending minum saja, jangan rumit-rumit), Ratna dan Sekar cerocos protes bersamaan, kesal karena topiknya terlalu berat.

Langit Dukuh Kupang diselimuti awan tebal, pendaran kilatan cahaya kembang api ciptakan semburat jingga. Aku sendiri terdiam menyaksikan serunya orang-orang ini berdebat khas Suroboyoan. Baru seminggu kukenal, karena baru seminggu pula kutempati kost-kostan di gang ini.

"Jancok, arek-arek iki gateli. Ga keren blas", seseorang yang kulupa namanya menyela, tampaknya dia tertarik dengan obrolan berat yang sedang berjalan.

Arak Tuban telah ludes, si Jemblung datang lagi dengan Cukri, minuman khas kota ini. Minuman yang membuatku berancang-ancang akan pamit. Tapi, diamku ternyata tak membuatku beruntung, karena mereka menahanku. Pepatah, diam itu emas, tampaknya kadang-kadang tak menguntungkan.

"Sejarah menurutmu bagaimana bung Juan?" Erwin bertanya padaku.

Erwin ini konon kabarnya, mahasiswa yang aktif di gerakan mahasiswa kampusnya. Juan adalah panggilanku sehari-hari di gang ini, setidaknya selama seminggu ini.

"Sejarah itu tergantung bagaiamana masyarakah menerimanya", kucoba pragmatis-diplomatis agar tak berlama-lama.

"Wah, jeru iki" (wah dalam nih), Erwin mencoba mengembangkan percakapan.

"Kami, khususnya saya kurang paham, bisa dijelaskan lebih lanjut?" Mbah memancing.

Sialan, batinku dalam hati. Kuakui juga duet keduanya bagai duo Che-Castro muda yang sedang panas-panasnya belajar agitasi propoganda. Hahaha.

Akhirnya kuteruskan, "tergantung masyarakat atau massa menerimanya. Kalau mereka menerima kisah Arak Tuban, jadilah sejarah Arak Tuban, sebaliknya kalau mereka menerima kisah Cukri, jadilah sejarah Cukri. Begitulah sejarah, tergantung siapa yang membuatnya dan bagaimana orang menerimanya".

"Hahaha, jadi bung mau bilang kalau bung tidak suka Cukri, dan sekarang mau pamit?"

"Hahaha, kurang lebih begitulah"

"Oke, sampai ketemu besok. Hahaha"


*******

Kala perusahaan-perusahaan kartu selular gencar mengeksploitasi euforia pergantian tahun para kawula, ku pernah dengan sedikit kesal menulis, "siang malam hanyalah rotasi bulan pada bumi, dan pergantian tahun adalah revolusi bumi pada matahari. Dan itu selalu berulang membentuk siklus, mengiringi sang waktu". Jadi tak perlulah terlalu ribet dibuatnya. Seperti kata Pramoedya, "hidup itu sederhana, yang rumit hanya tafsiran-tafsirannya saja".

Atau seperti yang Ragil Nugroho tulis, "sejarah resmi menulis tentang gejala, tak menulis tentang sebab. Sejarah resmi akan mengisahkan seorang tokoh atau pahlawan dengan seabrek kebajikan, sembari mengabaikan peranan massa kolektif  dan orang-orang pinggiran. Karena yang dilihat adalah gejala, bukan sebab, maka ketika seorang penipu ditipu, si penipu akan berada pada posisi sebagai korban atau bahkan pahlawan. Sebuah generasi akan menciptakan pahlawannya sendiri sebagai icon angkatannya, sebagai pembasuh dosa segala kebobrokannya. Publik dan era demi era menerimanya sebagai kebenaran".

Sampai di sini, ku-teringat seorang teman tukang ciu asal Maumere yang sangat mengagumi Pablo Escobar dan Che Guevara, karena keeksentrikan dan keeksotisan keduanya. Dia selalu antusias kala Don Pablo atau El Che kusebut-sebut.

USA membangun image buruk tentang Don Pablo sebagai seorang pemimpin kartel Narkoba dan obat-obat terlarang lainnya. Slogan Don Pablo pada saingan-saingannya, " Plata o plomo" (perak atau suap) gencar dikampanyekan AS sebagai sebuah hal yang buruk dan pantas dihancurkan. Sehingga publik internasional merasa sah-sah saja kala Kartel Medellin dan dirinya dihabiskan oleh USA. Tapi berbeda dengan masyarakat kota kelahirannya. Bagi mereka, Don Pablo adalah santo, malaikat, ataupun pahlawan. Hal itu terbukti tak kurang dari 25.000 orang mengantarkannya ke pemakaman, berebut untuk membawa petinya, atau guratan abadi hingga kini Amando Pablo Odiando Escobar.

Publik internasional pun lupa atau seolah tak tahu, selepas Don Pablo masih ada kartel Cali dan perusahaan-perusahaan farmasi USA yang melanjutkan kegiatan ala Don Pablo.

Sebaliknya, USA tak mampu membangun image buruk tentang El Che. Pesonanya terlalu kuat dan besar. Tapi USA memang selalu panjang akal dan tampaknya tak pernah hilang akal. El Che dikapitalisasi. Spirit dan ideologi kiri anti kemapanannya pun hilang tergerus. El Che pun tenggelam dan hanya selesai pada level tattoo, poster, sticker, pernak-pernik, atau kata-kata heroiknya, dll.

Sejarah memang tergantung siapa yang membuat dan bagaimana masyarakat menerimanya. Itu sebenarnya kata-kata milik Yang Du Hee dari film Fugitive: Plan B yang sering kunonton jam 03.00 dini hari di Indosiar. 

*******

Bagi siapapun sekalian yang suka  pada hal-hal yang berbau teori konspirasi, pasti sangat yakin kalau setiap sejarah modern yang terjadi di berbagai belahan bumi saat ini, di baliknya pasti ada Israel atau Mossad. Setidak-tidaknya, itulah yang saya dengar dalam berbagai obrolan kalau sudah bersentuhan dengan isu-isu konflik jalur Gaza saat ini.  

Mossad dikisahkan begitu saktinya, mirip kisah dalam film Wanted yang dibintangi Angelina Jolie. Apa saja yang kemudian terjadi telah diatur sedemikian rupa oleh invisible hand, meminjam istilahnya Adam Smith.

Kisah-kisah teori konspirasi itu sesungguhnya membuat kita terlena dan terlelap dalam alam ketidak-kritisan. Kita menjadi cepat mengambil konklusi dengan metode suudzon alias tanpa bukti, bertindak tanpa strategi dan taktik, menjalani proses dalam limbung hingga mudah terbawa ke sana kemari dalam alam advonturisme.

Seperti halnya publik yang sah-sah saja kala Don Pablo atau El Che ditembak mati, atau yang oke-oke saja kala disodori Cukri.

Tak ubahnya remaja-remaja ababil-labil yang mudah disihir demam K-Pop atau yang memposting status-status galau saban hari di jejaring sosial.

"Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan klas", begitulah kata-kata awal Marx dalam Manifesto Komunisnya. Klas tertindas tidak akan memperoleh haknya kalau tak berjuang. Atau seperti kata kaum agamawan, "Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum tersebut tak berusaha".

Sejarah ditulis oleh pemenang, dan tentu saja tak mewakili keseluruhan dan kebenaran ceritanya.

Euforia Natal dan tahun baru masih menjalar, renungan-renungannya masih belum lekang dari ingatan. Tulisan tanpa judul ini sebenarnya ingin diperpanjang ke hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini di negara dan lingkungan terdekat kita. Akan tetapi berita kebakaran ruang arsip gedung Kemenkumham membuat buyar ingatan kasus-kasus awal tahun tentang perang saudara di Syuriah tak kunjung berakhir, penembakan brutal di USA dalam sebulan, pemerkosaan sadis di India, kasus sodomi di Gresik, tabrakan sang anak menteri, kekerasan seksual berujung kematian anak perempuan pemulung di Jakarta, rumah sakit yang dijadikan sebagai tempat syuting sinetron, dll.

Tampaknya benar apa yang ditulis oleh AS Laksana, "inilah seni menjadi bodoh". Orang-orang bodoh yang menjadi penguasa, mengajak kita untuk ikut menjadi bodoh. Suatu kebodohan yang menjadi seni, dan luas diterima masyarakat.

Yang Du Hee, si pemimpin mafia itu tidak bodoh, tapi kata-katanya diterima luas oleh orang-orang bodoh.

*******

Dante Che, 07 Januari 2013

Rinai-Rinai Kisah Berlawan


Sambil berbaring kutulis kembali kisah ini,
kisah setelah kekalahan kaum progresif,
cerita bermula di awal sembilan belas tujuh puluh empat
ketika pembungkaman mulai secara masif nyata,
ada rinai-rinai perlawanan di ibukota
kaum urban dan mahasiswa memenuhi jalanan
menantang terik dan membakar apa yang ada,
penggusuran, basis lahirnya taman mini Indonesia indah
pembakaran di tanah abang, nyambi yel-yel anti mobil Jepang,
rinai-rinai cuma mampu membentuk kelokan air
yang mengalir, berujung keruh
tanpa dukungan dari desah parau daerah-daerah,
apalah artinya rinai-rinai geopolitik

Di tahun sembilan belas tujuh delapan,
rinai-rinai bergemericik di daerah-daerah
sementara di ibukota kembali kemarau,
rinai-rinai itupun keruh akhirnya,
apalah artinya bejibun rinai-rinai tanpa masifitas geopolitik,
berujung pada nasib naas, dengan munculnya;
normalisas kehidupan kampus-badan koordinasi kampus,
makin kering kerontanglah seluruh negeri,
bahkan rinaipun enggan mampir

Di sembilan belas delapan puluhan,
laksana kaktus di tengah padang gurun kehidupan
berbagai varian praksis dan aliran membentuk awan,
sayup-sayup dan seadanya merenda asa
minoritas bukan alasan berpangku dan memohon iba
kelindan mitra, jaringan, dan sel lewat kontak
manfaatkan kesempatan berbuah peluang
hindari fatamorgana

Di sembilan belas sembilan puluhan,
bendera telah dikibarkan, pantang diturunkan
menyusuri kali-kali kering, meniti lembah mendaki bukit
latihan-latihan menghadapi menara gading tiran,
sembari tetap awas pada fatamorgana,
pada advonturisme dan oportunian,
selalu waspada pada alat-alat rezim militerisme,
mulai dari menwa di kampus hingga organisasi pemuda-mahasiswa
yang terkooptasi rezim

Hingga tibalah saatnya ketika itu, sembilan belas sembilan delapan
rinai-rinai berubah berderai-derai,
tumpah-ruah memenuhi jalanan
banjir bandang perubahan menjungkalkan otoritarian
gejolak massa luar biasa, terlarut dalam euforia
tak awas menatap, banyak yang terapung berenang
tak tenggelam

Pekik reformasi ke seantero negeri
keluar mulut buaya masuk mulut singa
situasi kini kembali terjajah
derai-derai hanyalah tinggal kisah,
bahkan rinai-rinaipun enggan menyapa

28 oktober di depan mata
guratan prasasti heroik para pemuda-pemudi
83 tahun silam berikrar
satu nusa, satu bangsa, satu bahasa
tanah air tanpa penindasan
bangsa yang gandrung akan keadilan
bahasa tanpa kebohongan
Jangan biarkan itu kerontang tanpa rinai-rinai
mari bersatu bangkit melawan,
mengguratkan kisah berlawan generasi
dua ribuan!

*******

YKG, 07 / 10 / 2011

Sabtu, 09 Juni 2012

Sebuah Pertemuan

Setelah sekian lama menghilang
Kembali bertemu dirimu dalam tualang
Duhai Kamaratih yang didamba pulang

Membolak-balik lembaran sejarah
Ikhtiar menggapai aneka arah
Agar tak menjadi usang sejumput kisah

Butir-butir harap yang tersemai
Tersembul pohon rindu yang tegak berdiri
Menggelegak menjulang tinggi

Sang bayu membelai dalam desau
Padu padan lantunan notasi lagu
Mengguncang menghempas segala penjuru

Berderap langkah tegap sang Kamajaya
Lantang menantang tatap pandang semesta
Pamrih pengisi kekosongan dalam jiwa


******* 

Dante Che, 02 / 06 / 2012

Kisah Tentang Kehilangan Handphone

Dini hari menjelang subuh, ada yang mengendap datang. Di halaman, gerbang tak terkunci. Suasana hening sepi, pertanda para penghuninya sedang dibuai mimpi dalam lelap tidur. Keadaan yang damai dan tenang seperti itu, rupanya menggoda insan yang lewat untuk mendongakkan kepala melihat-lihat keadaan di dalam, sekedar iseng-iseng mengamati atau bahkan untuk maksud-maksud tertentu yang lebih khusus dan serius.

Itulah yang terjadi pada pagi hari 19 Mei itu. Dewo Dawo, seorang anak kost-kostan yang sedang dalam kesulitan keuangan, mencoba bermusafir ria dari satu ke lain tongkrongan, mencari sedikit pengganjal perut dari kawan-kawan yang mungkin berbaik hati membagi rejeki.

Sampailah ia di depan kostnya Etus Atus, kawan sefakultasnya yang berasal dari kepulauan Sunda Kecil. Gerbang kost yang tak terkunci, suasanan kompleks yang tenang, dan keadaan kost yang sepi, memudahkan Dewo Dawo untuk dengan bebas mendatangi kamar kawannya di lantai dua. Tekadnya sudah bulat. Ia akan berpura-pura datang berkunjung atau meminjam buku, kemudian meminjam uang.

Sesampainya di depan kamar Etus, didapatinya kamar dalam keadaan terbuka.Etus sendiri telah lelap tertidur dengan sebuah buku tebal masih terhampar terbuka di hadapannya. Kamar tampak rapi, walau beberapa buku, baju, dan gelas bekas minum teh tampak belum dibereskan. Mungkin Etus ketiduran, begitulah Dewo mencoba menerka-nerka. Di samping bantal pembaringan, tepat di depan pintu, dilihatnya ada tiga buah handphone teronggok pasrah.

Rasa lapar yang membuncah, mendorongnya untuk segera membangunkan Etus dari nikmatnya lelapan. Akan tetapi, sejurus kemudian, ia tampak ragu. Mendadak pikiran liarnya bergemuruh, menghujam nurani mengobrak-abrik logika. Kesempatan emas yang terbentang telah melahirkan ide brilian mengatasi krisis yang dialaminya.

Diredamnya teriakan rasa bersalah dalam dirinya, disingkirkannya sentimen kesetiakawanan. Segera dengan gesit ia mengambil dua dari tiga handphone tersebut, yang dianggapnya paling gres, dan dengan gesit pula segera meninggalkan kamar dan kost kawannya tersebut. Semuanya berlangsung cepat, dan keadaan tetap hening sepi, tenang dan damai.

Segera Dewo Dawo menjualnya pada orang yang mampu menebusnya, berapapun harganya. Ia membutuhkan uang dalam waktu cepat. Malam nanti ada pertandingan final Liga Champions antara Bayern Muenchen vs Chelsea. Walau bukan penggemar fanatik sepakbola, ia juga butuh dana untuk terlibat dalam euforia masal ini.

Satu dua hari berjalan setelah kejadian tersebut, Dewo Dawo tak melihat adanya tanda-tanda adanya respon di kalangan kawan-kawannya atas kehilangan handphone yang dialami oleh Etus Atus. Kawan-kawannya pun tampak tenang-tenang saja, sambil menduga jangan-jangan kedua handphone tersebut justru dijual oleh Etus Atus sendiri.

Dengan demikian, Dewo Dawo merasa aman. Tak ada yang mengetahui perbuatannya. Itu telah menjadi rahasia dalam penggalan sejarah. Apalagi dilihatnya Etus Atus tampak bersikap baik-baik dan wajar sebagaimana biasa kepadanya.

Dalam kegelapan aksinya, ia lupa pada bumi tempatnya berpijak, pada langit yang diterangi rembulan tempatnya bernaung, menjadi saksi, juga dalam keadaan hening sepi, tenang, dan damai. Akan selalu ada mata yang memandang, mengamati segala gerak-gerik tingkah laku setiap makhluk. Baik yang hanya iseng-iseng ataupun yang punya maksud khusus dan serius.

Mendengar penuturan dari semua saksi mata maupun sukma, Etus Atus tampak tenang dan tak terburu-buru meresponnya. Ia tahu bahwa handphone-nya telah dijual, tapi sim card masih disimpan oleh Dewo Dawo. Rupanya kawannya Dewo Dawo itu tak tega untuk membuang sim card tersebut, dan masih mencari-cari peluang untuk mengembalikan sim card tersebut.

Etus hanya berharap bahwa tak perlu mengganti rugi handphone tersebut, tapi segeralah kembalikan sim card-nya, karena ia sangat membutuhkan. Selebihnya, biar bagaimanapun, mereka tetaplah kawan.


******* 

Dante Che, 31 / 05 / 2012

Minggu, 27 Mei 2012

Pentakosta Pagi Bersama Pelopor Epenisme

Mentari masih mengitari sisi bumi, tanpa lelah memancarkan keperkasaan sinarnya ke segala penjuru jagat, menyisakan bias-biasnya, residu pertarungan angkasa dengan pekat gelapnya mega-mega berlapis-lapis langit. Di balik julangan tinggi gedung-gedung kota metropolis, di pojokan bangunan-bangunan berdarah warisan kota pahlawan, dua anak manusia merenda asa meletupkan vitalitas dalam gairah kawula muda yang membakar menyala-nyala.

Hari minggu pagi ini, umat kristiani merayakan hari raya pentakosta. Hari raya yang panjang kisahnya dengan benturan pergumulan sosiologis di tempat kelahirannya. Mulai dari kemunculan Kristiani, pengikut Kristus, yang berbenturan dengan dua budaya mapan yang telah ada sebelumnya, budaya Yahudi dan budaya Yunani hingga persoalan teologis yang melingkupinya, dan tentu saja ancaman kekuasaan politik dengan segala macam perangkat regulasi beserta alat pemaksanya.

Konon, roh kudus yang turun dalam bentuk api pada hari Pentakosta inilah yang membuat para jemaat awal Kristiani ini tercerahkan kesadaraannya, dapat bercakap-cakap dalam berbagai bahasa, dan merekrut pengikut-pengikut baru dari berbagai belahan ras. Api yang tentu saja tak jauh beda racikannya dengan api yang sedang bercumbu dengan ujung lintingan sigaret subuh ini, membakar tembakau, penghangat raga menanti terbitnya fajar. Api yang sama juga yang dibawa Promotheus atau John Walker.

Mereka tak mengenal Promotheus, sang pembawa api utusan para dewa Olympus. Juga mereka sama sekali tak mengenal John Walker, si kimiawan asal Inggris yang mencampurkan potas dan antimon hingga menghasilkan korek api gesek untuk pertama kali. Dalam pelajaran di sekolah menengah, mereka tahu bahwa api dihasilkan dari oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi, yang menghasilkan panas, cahaya, dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya.

Kontradiksi itu tak mereka persoalkan, mungkin juga telah dilupakan. Mereka punya pegangan baru, namanya epenisme. Sebuah pegangan ala anak-anak anarki, yang bersemai di warung pojok alias wapo yang juga kadang-kadang disebut sebagai rumah tua. Wapo atau rumah tua inilah yang sehari-hari menjadi base-camp anak-anak wapo yang biasa disingkat AW, mirip sebuah tempat makan cepat saji asal negeri dedengkotnya kapitalisme, USA.

Subuh yang hening, sepi. Epenisme ala wapo sedang membawa mereka menapaktilasi jejak langkah sejak kali pertama bertualang ke Jawadwipa ini. Yang seorang berasal dari Sunda Kecil, dan yang satunya lagi berasal dari Mameluk. Dua negeri yang di masa lalu, sebelum kedatangan Olanda dan Jepun,  pernah menjadi perebutan daerah koloni antara Peranggi dan Ispanya, karena kekayaan cendana dan rempah-rempahnya.

Epenisme bisa lahir-tumbuh dan mekar, menjalar ke berbagai ras, terangkai menjadi gugusan kelindan, karena ternyata disatukan oleh pandangannya yang tak ingin dikuasai oleh siapapun, juga tak ingin menguasai siapapun. Hidup bebas seturut jatidiri dan kemauannya sendiri. Mereka sepakat bahwa hidup itu sederhana, sedangkan yang rumit adalah tafsiran-tafsirannya.

Sejauh tangan menggapai, kaki melangkah, mata memandang, nyatalah bahwa kaum epenisme jauh lebih banyak jumlahnya daripada kaum inteletual yang memberikan cap stempel individualistik atau semau gue pada mereka. Kaum intelektual, lebih-lebih 'intelektual-urban', selain kalah kuantitas juga lebih daripada itu, sama sekali tak lebih baik secara kualitas, malah lebih banyak yang gagap menghadapi modernitas dalam praksis. Siangnya berteriak melawan Imperialisme ataupun feodalisme dan malamnya keluyuran menjajal dunia gemerlap alias dugem sembari mencari kupu-kupu malam, bahkan banyak yang melacurkan prinsipnya demi watak oportunisnya.

Begitulah yang terjadi, subuh itu, mereka pulang dari acara in the hoy-nya. Kaum intelektual yang menjadi anggota Gereja, segera bersiap merayakan pentakosta. Dan yang bukan anggota Gereja pun berkumpul, bersiap-siap merayakan peringatan hari ulang tahun idola mereka, Ibnu Khaldun sang filsuf asal Tunisia, dengan menggelar diskusi di lobby kampus. Undangan diskusi mereka yang seharusnya bisa diletakan sebagai pembawa api pencerahan kesadaran, justru malah membuyarkan acara napaktilas kedua anarkis epenisme itu.

Hiruk pikuk muncul dari arah pasar tradisional, pertanda telah bangkitnya penghuni kolong langit dari buaian malam. Perlahan sang Apollo menampakan rupanya dari balik kabut pagi, kaum epenisme pun pamit, wapo pun kembali sepi, merindui senja segera datang membawa malam, karena malam adalah sahabat kaum epenisme.

Terima kasih untuk kaum epenisme, karena pernah diizinkan untuk numpang nongkrong. Selamat hari raya Pentakosta buat yang merayakan! 

*******

Dante Che, 27 / 05 /2012

Senin, 16 April 2012

Selamat Ulang Tahun!

Fajar masih bergulat dengan pekat rimbunnya Pipodo, berusaha menaklukkan dingin yang seolah-olah abadi menyelimuti kota kecil Bajawa. Inerie di selatan dan Inelika di utara setia mengapiti, memayungi lembah kota di daerah pegunungan yang terletak kurang lebih 1.100 m di atas permukaan laut ini.


Puncak-puncak Wolongadha menjadi pemantul sedikit kehangatan dari sang surya, menghalau para kawula yang masih asyik menggolekkan diri dalam kain panas (selimut) di tempat tidur atau rutinitas pagi hari; duduk-duduk melingkari tungku api sambil menikmati kopi Bajawa.

Itu selasa pagi pukul 09.15 wita- 17 april tahun 1990, tentu ada yang harus bangun pagi-pagi untuk pergi dheso sapi atau loka ngana, berangkat ke sekolah atau pergi kerja, ataupun sekedar ngeu nata atau weghi ulu, dan macam-macam lainnya. Di sana-sini, beberapa keluarga tampak masih asyik terlelap dalam epik romantisisme berkumpul dengan keluarga besar masing-masing, walau pesta paskah telah lewat seminggu.

Sementara itu, di RSUD Bajawa, tangis bayi memecahkan kesyahduan pagi, membahana memenuhi lembah. Tak jelas motifnya menangis. Yang jelas, tak ada yang mencubit atau memarahinya. Mungkin karena dingin atau karena kenyamanannya selama 9 bulan dalam kandungan harus berakhir. Atau jangan-jangan ada janjian di antara para bayi untuk menciptakan tren menangis saat dilahirkan, dan hanya sesama bayi saja yang mengerti. Entahlah!

Konon, setelah melalui pendiskusian, mungkin juga perdebatan terhadap beberapa opsi yang diajukan, si bayi campuran Turekisa-Mangulewa yang baru lahir itu diberi nama Juanito Cletino Gurado Delano. Jelas tanpa melalui voting, karena sudah ada mekanismenya tersendiri bernama Soro Fena, alias bersin saat pertama kali diberikan nama.

Berdasarkan kepercayaan turun temurun yang diwariskan nenek moyang, kalau bayi bersin atau buang air tepat ketika diberikan sesuatu nama, itu artinya si bayi setuju dengan nama tersebut.

Tentu saja mekanisme ini lain dengan bayi yang sehari sebelumnya juga baru memekikkan tangis pertamanya di dunia. 4 selat ke arah barat kota Bajawa, di tengah-tengah hiruk-pikuk kota Jakarta tepatnya. Juga tak jelas apa motifnya menangis, karena toh tak ada bukit atau pepohonan rimbun yang menghalangi sang surya, tak ada dingin abadi di kota metropolis tersebut. Gedung-gedung pencakar langit yang dibangun di atas penggusuran, darah, dan air mata kaum marjinal pun tampaknya tak menciptakan kepengapan bagi yang mendiaminya.

Yang jelas, juga tak ada voting di sini. Entah bagaimana mekanismenya. Besar kemungkinan, nama tersebut telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Maka jadilah si bayi diberi nama Nia Ramadhani.

Makin bergeser ke arah barat kota Bajawa, melewati 2 samudera, di kota Harlow, Essex-Inggris, seorang gadis remaja bernama Victoria Adams sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke-16. Rambut hitam panjang berpadu kulit cokelat, cemerlang dalam balutan tawa ria Barbeque Party. Tentu ada banyak gadis Bajawa yang lebih cantik daripadanya.


Seandainya nenek moyangnya lebih lama menjajah Hindia (Indonesia), mungkin rutinitas pagi di Bajawa adalah memadukan kopi dengan barbeque, atau Stadion Lebijaga dipermak menjadi stadion dengan kapasitas besar dan PSN Ngada menjadi salah satu raksasa sepakbola, dan Bajawa dipenuhi dengan mansion-mansion mewah para pesepakbola atau selebriti di kampung Bena. Tenunan-tenunan ikat disulap jadi kiblat mode. Mungkin.

Terlalu rumit kalau mengandai-andaikan sejarah. Yang pasti, tadi barusan, kurang lebih pukul 17.30-an wib, Bu Laksmi, sang pemilik kios di kompleks melahirkan anaknya dengan selamat. Konon, nama panggilannya adalah Emka. Juga dengan tangisan, beriring berpadu dengan suara azhan dari surau yang mengepung dari 3 jurusan, pemberian nama untuk Emka memakai mekanisme voting.

Selamat ulang tahun untuk Nia Ramadhani & Victoria Adams!
Selamat datang di dunia tangis & tawa untuk Emka!

(NB : Notes iseng-iseng)

*******

Dante Che, 16 / 04 / 2012

Rabu, 04 April 2012

BBM

Akhir-akhir ini, sebagian besar anak negeri larut ribut dalam pro kontra wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Melalui BlackBerry Messenger (BBM), elit-elit menebar kicau bangkitkan provokasi. Bambang Boediono Mundur (BBM) menjadi salah satu seruan yang marak, bersanding dengan asa para sepakbola mania; Barca Bantai Milan (BBM) agar terwujud final idaman Barca Battle Madrid (BBM).

Rakyat Benar-Benar Marah (BBM), berhadapan dengan pemerintah yang tampaknya Benar-Benar Manja (BBM), juga kelakuan parpol-parpol di gedung dewan  perwakilan rakyat yang Bikin Bingung Masyarakat (BBM). Susunan kabinet yang lebih tepatnya disebut Birokrasi Bongkar Muat (BBM), menjadi semakin dramatis dengan tarik ulur subsidi yang konon akan dipergunakan sebagai Bantuan Buat Masyarakat (BBM).

Kompromi, deal-dealan, ataupun dagelan yang elit-elit tampilkan, makin tak mampu menyembunyikan wajah mereka yang sebenarnya; Bandit-Bandit Maling (BBM). Perlawanan di mana-mana, Bara Berkobar Menyala (BBM), protes datang dari berbagai kalangan. Rakyat turun ke jalan Berlawan Bersama Mahasiswa (BBM), juga pemogokan , Buruh Bangkit Menggugat (BBM).

Kini keputusan kenaikan harga untuk sementara ditunda, tetapi represifitas Begundal-Begundal Militer (BBM) menyisakan soal. Maka, kepada seluruh rakyat negeri, marilah Berbareng Bergerak Melawan (BBM)!


*******

Dante Che, 04 / 04 / 2012