Minggu, 27 Mei 2012

Pentakosta Pagi Bersama Pelopor Epenisme

Mentari masih mengitari sisi bumi, tanpa lelah memancarkan keperkasaan sinarnya ke segala penjuru jagat, menyisakan bias-biasnya, residu pertarungan angkasa dengan pekat gelapnya mega-mega berlapis-lapis langit. Di balik julangan tinggi gedung-gedung kota metropolis, di pojokan bangunan-bangunan berdarah warisan kota pahlawan, dua anak manusia merenda asa meletupkan vitalitas dalam gairah kawula muda yang membakar menyala-nyala.

Hari minggu pagi ini, umat kristiani merayakan hari raya pentakosta. Hari raya yang panjang kisahnya dengan benturan pergumulan sosiologis di tempat kelahirannya. Mulai dari kemunculan Kristiani, pengikut Kristus, yang berbenturan dengan dua budaya mapan yang telah ada sebelumnya, budaya Yahudi dan budaya Yunani hingga persoalan teologis yang melingkupinya, dan tentu saja ancaman kekuasaan politik dengan segala macam perangkat regulasi beserta alat pemaksanya.

Konon, roh kudus yang turun dalam bentuk api pada hari Pentakosta inilah yang membuat para jemaat awal Kristiani ini tercerahkan kesadaraannya, dapat bercakap-cakap dalam berbagai bahasa, dan merekrut pengikut-pengikut baru dari berbagai belahan ras. Api yang tentu saja tak jauh beda racikannya dengan api yang sedang bercumbu dengan ujung lintingan sigaret subuh ini, membakar tembakau, penghangat raga menanti terbitnya fajar. Api yang sama juga yang dibawa Promotheus atau John Walker.

Mereka tak mengenal Promotheus, sang pembawa api utusan para dewa Olympus. Juga mereka sama sekali tak mengenal John Walker, si kimiawan asal Inggris yang mencampurkan potas dan antimon hingga menghasilkan korek api gesek untuk pertama kali. Dalam pelajaran di sekolah menengah, mereka tahu bahwa api dihasilkan dari oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi, yang menghasilkan panas, cahaya, dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya.

Kontradiksi itu tak mereka persoalkan, mungkin juga telah dilupakan. Mereka punya pegangan baru, namanya epenisme. Sebuah pegangan ala anak-anak anarki, yang bersemai di warung pojok alias wapo yang juga kadang-kadang disebut sebagai rumah tua. Wapo atau rumah tua inilah yang sehari-hari menjadi base-camp anak-anak wapo yang biasa disingkat AW, mirip sebuah tempat makan cepat saji asal negeri dedengkotnya kapitalisme, USA.

Subuh yang hening, sepi. Epenisme ala wapo sedang membawa mereka menapaktilasi jejak langkah sejak kali pertama bertualang ke Jawadwipa ini. Yang seorang berasal dari Sunda Kecil, dan yang satunya lagi berasal dari Mameluk. Dua negeri yang di masa lalu, sebelum kedatangan Olanda dan Jepun,  pernah menjadi perebutan daerah koloni antara Peranggi dan Ispanya, karena kekayaan cendana dan rempah-rempahnya.

Epenisme bisa lahir-tumbuh dan mekar, menjalar ke berbagai ras, terangkai menjadi gugusan kelindan, karena ternyata disatukan oleh pandangannya yang tak ingin dikuasai oleh siapapun, juga tak ingin menguasai siapapun. Hidup bebas seturut jatidiri dan kemauannya sendiri. Mereka sepakat bahwa hidup itu sederhana, sedangkan yang rumit adalah tafsiran-tafsirannya.

Sejauh tangan menggapai, kaki melangkah, mata memandang, nyatalah bahwa kaum epenisme jauh lebih banyak jumlahnya daripada kaum inteletual yang memberikan cap stempel individualistik atau semau gue pada mereka. Kaum intelektual, lebih-lebih 'intelektual-urban', selain kalah kuantitas juga lebih daripada itu, sama sekali tak lebih baik secara kualitas, malah lebih banyak yang gagap menghadapi modernitas dalam praksis. Siangnya berteriak melawan Imperialisme ataupun feodalisme dan malamnya keluyuran menjajal dunia gemerlap alias dugem sembari mencari kupu-kupu malam, bahkan banyak yang melacurkan prinsipnya demi watak oportunisnya.

Begitulah yang terjadi, subuh itu, mereka pulang dari acara in the hoy-nya. Kaum intelektual yang menjadi anggota Gereja, segera bersiap merayakan pentakosta. Dan yang bukan anggota Gereja pun berkumpul, bersiap-siap merayakan peringatan hari ulang tahun idola mereka, Ibnu Khaldun sang filsuf asal Tunisia, dengan menggelar diskusi di lobby kampus. Undangan diskusi mereka yang seharusnya bisa diletakan sebagai pembawa api pencerahan kesadaran, justru malah membuyarkan acara napaktilas kedua anarkis epenisme itu.

Hiruk pikuk muncul dari arah pasar tradisional, pertanda telah bangkitnya penghuni kolong langit dari buaian malam. Perlahan sang Apollo menampakan rupanya dari balik kabut pagi, kaum epenisme pun pamit, wapo pun kembali sepi, merindui senja segera datang membawa malam, karena malam adalah sahabat kaum epenisme.

Terima kasih untuk kaum epenisme, karena pernah diizinkan untuk numpang nongkrong. Selamat hari raya Pentakosta buat yang merayakan! 

*******

Dante Che, 27 / 05 /2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar