Mentari masih mengitari sisi bumi, tanpa lelah memancarkan
keperkasaan sinarnya ke segala penjuru jagat, menyisakan bias-biasnya,
residu pertarungan angkasa dengan pekat gelapnya mega-mega
berlapis-lapis langit. Di balik julangan tinggi gedung-gedung kota
metropolis, di pojokan bangunan-bangunan berdarah warisan kota pahlawan,
dua anak manusia merenda asa meletupkan vitalitas dalam gairah kawula
muda yang membakar menyala-nyala.
Hari minggu pagi ini,
umat kristiani merayakan hari raya pentakosta. Hari raya yang panjang
kisahnya dengan benturan pergumulan sosiologis di tempat kelahirannya.
Mulai dari kemunculan Kristiani, pengikut Kristus, yang berbenturan
dengan dua budaya mapan yang telah ada sebelumnya, budaya Yahudi dan
budaya Yunani hingga persoalan teologis yang melingkupinya, dan tentu
saja ancaman kekuasaan politik dengan segala macam perangkat regulasi
beserta alat pemaksanya.
Konon, roh kudus yang turun dalam
bentuk api pada hari Pentakosta inilah yang membuat para jemaat awal
Kristiani ini tercerahkan kesadaraannya, dapat bercakap-cakap dalam
berbagai bahasa, dan merekrut pengikut-pengikut baru dari berbagai
belahan ras. Api yang tentu saja tak jauh beda racikannya dengan api
yang sedang bercumbu dengan ujung lintingan sigaret subuh ini, membakar
tembakau, penghangat raga menanti terbitnya fajar. Api yang sama juga
yang dibawa Promotheus atau John Walker.
Mereka tak
mengenal Promotheus, sang pembawa api utusan para dewa Olympus. Juga
mereka sama sekali tak mengenal John Walker, si kimiawan asal Inggris
yang mencampurkan potas dan antimon hingga menghasilkan korek api gesek
untuk pertama kali. Dalam pelajaran di sekolah menengah, mereka tahu
bahwa api dihasilkan dari oksidasi cepat terhadap suatu material dalam
proses pembakaran kimiawi, yang menghasilkan panas, cahaya, dan
berbagai hasil reaksi kimia lainnya.
Kontradiksi itu tak
mereka persoalkan, mungkin juga telah dilupakan. Mereka punya pegangan
baru, namanya epenisme. Sebuah pegangan ala anak-anak anarki, yang
bersemai di warung pojok alias wapo yang juga kadang-kadang disebut
sebagai rumah tua. Wapo atau rumah tua inilah yang sehari-hari menjadi
base-camp anak-anak wapo yang biasa disingkat AW, mirip sebuah tempat
makan cepat saji asal negeri dedengkotnya kapitalisme, USA.
Subuh
yang hening, sepi. Epenisme ala wapo sedang membawa mereka
menapaktilasi jejak langkah sejak kali pertama bertualang ke Jawadwipa
ini. Yang seorang berasal dari Sunda Kecil, dan yang satunya lagi
berasal dari Mameluk. Dua negeri yang di masa lalu, sebelum kedatangan
Olanda dan Jepun, pernah menjadi perebutan daerah koloni antara
Peranggi dan Ispanya, karena kekayaan cendana dan rempah-rempahnya.
Epenisme
bisa lahir-tumbuh dan mekar, menjalar ke berbagai ras, terangkai
menjadi gugusan kelindan, karena ternyata disatukan oleh pandangannya
yang tak ingin dikuasai oleh siapapun, juga tak ingin menguasai
siapapun. Hidup bebas seturut jatidiri dan kemauannya sendiri. Mereka
sepakat bahwa hidup itu sederhana, sedangkan yang rumit adalah
tafsiran-tafsirannya.
Sejauh tangan menggapai, kaki
melangkah, mata memandang, nyatalah bahwa kaum epenisme jauh lebih
banyak jumlahnya daripada kaum inteletual yang memberikan cap stempel
individualistik atau semau gue pada mereka. Kaum intelektual,
lebih-lebih 'intelektual-urban', selain kalah kuantitas juga lebih
daripada itu, sama sekali tak lebih baik secara kualitas, malah lebih
banyak yang gagap menghadapi modernitas dalam praksis. Siangnya
berteriak melawan Imperialisme ataupun feodalisme dan malamnya keluyuran
menjajal dunia gemerlap alias dugem sembari mencari kupu-kupu malam,
bahkan banyak yang melacurkan prinsipnya demi watak oportunisnya.
Begitulah
yang terjadi, subuh itu, mereka pulang dari acara in the hoy-nya. Kaum
intelektual yang menjadi anggota Gereja, segera bersiap merayakan
pentakosta. Dan yang bukan anggota Gereja pun berkumpul, bersiap-siap
merayakan peringatan hari ulang tahun idola mereka, Ibnu Khaldun sang
filsuf asal Tunisia, dengan menggelar diskusi di lobby kampus. Undangan
diskusi mereka yang seharusnya bisa diletakan sebagai pembawa api
pencerahan kesadaran, justru malah membuyarkan acara napaktilas kedua
anarkis epenisme itu.
Hiruk pikuk muncul dari arah pasar
tradisional, pertanda telah bangkitnya penghuni kolong langit dari
buaian malam. Perlahan sang Apollo menampakan rupanya dari balik kabut
pagi, kaum epenisme pun pamit, wapo pun kembali sepi, merindui senja
segera datang membawa malam, karena malam adalah sahabat kaum epenisme.
Terima
kasih untuk kaum epenisme, karena pernah diizinkan untuk numpang
nongkrong. Selamat hari raya Pentakosta buat yang merayakan!
*******
Dante
Che, 27 / 05 /2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar