Senin, 16 April 2012

Selamat Ulang Tahun!

Fajar masih bergulat dengan pekat rimbunnya Pipodo, berusaha menaklukkan dingin yang seolah-olah abadi menyelimuti kota kecil Bajawa. Inerie di selatan dan Inelika di utara setia mengapiti, memayungi lembah kota di daerah pegunungan yang terletak kurang lebih 1.100 m di atas permukaan laut ini.


Puncak-puncak Wolongadha menjadi pemantul sedikit kehangatan dari sang surya, menghalau para kawula yang masih asyik menggolekkan diri dalam kain panas (selimut) di tempat tidur atau rutinitas pagi hari; duduk-duduk melingkari tungku api sambil menikmati kopi Bajawa.

Itu selasa pagi pukul 09.15 wita- 17 april tahun 1990, tentu ada yang harus bangun pagi-pagi untuk pergi dheso sapi atau loka ngana, berangkat ke sekolah atau pergi kerja, ataupun sekedar ngeu nata atau weghi ulu, dan macam-macam lainnya. Di sana-sini, beberapa keluarga tampak masih asyik terlelap dalam epik romantisisme berkumpul dengan keluarga besar masing-masing, walau pesta paskah telah lewat seminggu.

Sementara itu, di RSUD Bajawa, tangis bayi memecahkan kesyahduan pagi, membahana memenuhi lembah. Tak jelas motifnya menangis. Yang jelas, tak ada yang mencubit atau memarahinya. Mungkin karena dingin atau karena kenyamanannya selama 9 bulan dalam kandungan harus berakhir. Atau jangan-jangan ada janjian di antara para bayi untuk menciptakan tren menangis saat dilahirkan, dan hanya sesama bayi saja yang mengerti. Entahlah!

Konon, setelah melalui pendiskusian, mungkin juga perdebatan terhadap beberapa opsi yang diajukan, si bayi campuran Turekisa-Mangulewa yang baru lahir itu diberi nama Juanito Cletino Gurado Delano. Jelas tanpa melalui voting, karena sudah ada mekanismenya tersendiri bernama Soro Fena, alias bersin saat pertama kali diberikan nama.

Berdasarkan kepercayaan turun temurun yang diwariskan nenek moyang, kalau bayi bersin atau buang air tepat ketika diberikan sesuatu nama, itu artinya si bayi setuju dengan nama tersebut.

Tentu saja mekanisme ini lain dengan bayi yang sehari sebelumnya juga baru memekikkan tangis pertamanya di dunia. 4 selat ke arah barat kota Bajawa, di tengah-tengah hiruk-pikuk kota Jakarta tepatnya. Juga tak jelas apa motifnya menangis, karena toh tak ada bukit atau pepohonan rimbun yang menghalangi sang surya, tak ada dingin abadi di kota metropolis tersebut. Gedung-gedung pencakar langit yang dibangun di atas penggusuran, darah, dan air mata kaum marjinal pun tampaknya tak menciptakan kepengapan bagi yang mendiaminya.

Yang jelas, juga tak ada voting di sini. Entah bagaimana mekanismenya. Besar kemungkinan, nama tersebut telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Maka jadilah si bayi diberi nama Nia Ramadhani.

Makin bergeser ke arah barat kota Bajawa, melewati 2 samudera, di kota Harlow, Essex-Inggris, seorang gadis remaja bernama Victoria Adams sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke-16. Rambut hitam panjang berpadu kulit cokelat, cemerlang dalam balutan tawa ria Barbeque Party. Tentu ada banyak gadis Bajawa yang lebih cantik daripadanya.


Seandainya nenek moyangnya lebih lama menjajah Hindia (Indonesia), mungkin rutinitas pagi di Bajawa adalah memadukan kopi dengan barbeque, atau Stadion Lebijaga dipermak menjadi stadion dengan kapasitas besar dan PSN Ngada menjadi salah satu raksasa sepakbola, dan Bajawa dipenuhi dengan mansion-mansion mewah para pesepakbola atau selebriti di kampung Bena. Tenunan-tenunan ikat disulap jadi kiblat mode. Mungkin.

Terlalu rumit kalau mengandai-andaikan sejarah. Yang pasti, tadi barusan, kurang lebih pukul 17.30-an wib, Bu Laksmi, sang pemilik kios di kompleks melahirkan anaknya dengan selamat. Konon, nama panggilannya adalah Emka. Juga dengan tangisan, beriring berpadu dengan suara azhan dari surau yang mengepung dari 3 jurusan, pemberian nama untuk Emka memakai mekanisme voting.

Selamat ulang tahun untuk Nia Ramadhani & Victoria Adams!
Selamat datang di dunia tangis & tawa untuk Emka!

(NB : Notes iseng-iseng)

*******

Dante Che, 16 / 04 / 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar