Jumat, 30 Desember 2011

Aksara Patah-Patah

Ingin sekali lagi kutulis tentang malam tanpa bintang yang seolah-olah menyelubungi pekat gelap kala rembulan tak tersenyum seperti lazimnya. Ingin kukirim rima dalam bait-bait tentang hidup. Tapi itu harus kutunda, mungkin di tahun-tahun mendatang, karena toh ternyata siang malam adalah rotasi bulan pada bumi, dan pergantian tahun adalah revolusi bumi pada matahari. Dan itu selalu berulang membentuk siklus, mengiringi sang waktu. Mega-mega angkasa pun menggoda menyibak tabir rahasia yang tersaput. Pijaran bias cahaya lampu-lampu berpendaran menyilaukan tatap pandang juga tak ada. Iringan gitar petikan seorang pemuda urban melantunkan notasi balada, menenggelamkan suara jangkrik dan nyanyian binatang malam. Menyentakkan kesadaran tentang kenyataan. Realita keping sisi lain sebuah kota metropolis. Patah-patah gugusan aksara ini terangkai, menyaji sisi lain dari tatap pandang yang seolah-olah motorik dan sensorik tersaput hingga pesan indera tak tertangkap hard-disk akal kawula negeri.
Di sudut kota yang lain, di samping sebuah kathedral, sepasang insan memenuhi ikrar bersua, merenda asa mengisi hari penghabisan tahun dalam balutan dongeng-dongeng kehidupan. Rambut lurus terurai dengan kulit bercahaya berpadu kulit hitam legam berhias rambut ikal. Benturan dua tipe warisan sejarah bentukan konstruksi yang mengurat mengakar, mewakili hampir semua benturan yang mereka bawa.
Sejarah resmi menulis tentang gejala, tak menulis tentang sebab. Sejarah resmi akan mengisahkan seorang tokoh atau pahlawan dengan seabrek kebajikan, sembari mengabaikan peranan massa kolektif  dan orang-orang pinggiran. Karena yang dilihat adalah gejala, bukan sebab, maka ketika seorang penipu ditipu, si penipu akan berada pada posisi sebagai korban atau bahkan pahlawan. Sebuah generasi akan menciptakan pahlawannya sendiri sebagai icon angkatannya, sebagai pembasuh dosa segala kebobrokannya. Publik dan era demi era menerimanya sebagai kebenaran.
Manik-manik rosario tanpa rapalan darasan doa, menemani gemericik percik air yang seolah-olah membelah kekaburan batas antara fiksi dan realita. Terdiam, berkomunikasi dalam bahasa kalbu, dan tangan terkepal membayangkan ketimpangan di balik julangnya tembok-tembok tinggi biara. Komersialisasi pendidikan dan kesehatan sebagai wujud kapitalisasi hajat hidup orang banyak, kemiskinan yang dikukuhkan represifitas aparatus militer, dan piramida sosial yang membentuk tangga strata masyrakat, membuat goyah kekaguman mereka akan bait-bait pertama guratan St. Yohanes penulis Injil; “Pada mulanya adalah kata, kata-kata itu hidup dan tinggal di antara kita,...”. Logika inkuisisi abad pertengahan yang masih dipakai di era modern seperti saat ini, begitulah kritik yang pernah dilontarkan pada barisan pembuka salah satu injil tersebut. Tapi mereka percaya bahwa itu bukan hanya sekedar tulisan yang berbuih-buih. Seperti mega-mega yang selalu berusaha membungkus angkasa, ada rahasia yang terkandung, ada spirit yang mesti digali. Kata-kata itu harus dipraksiskan, tak sekedar menjadi seruan moral dari altar-altar atau mimbar-mimbar khotbah. Peran kritis profetis dan evangelisasi yang dikumandangkan, mesti berwujud nyata mulai dari lingkungan terkecil seperti kelompok-kelompok doa, legio, komunitas unit basis maupun dalam pelayanan parokial.
Bulan telah berada di atas ubun-ubun, penanda malam makin larut. Misa kedua yang dihelat pun telah kelar. Pintu kathedral yang dibuka membiaskan cahaya kilau, menyentakan sepasang insan yang tenggelam dalam balada petikan pemuda urban yang dibawa angin malam. Pelukan pembawa kekuatan memisahkan mereka pada malam penghujung tahun, menyongsong hari baru di tahun yang baru, dengan spirit menggali rahasia  yang tersaput. Dua sisi metropolis yang berpadu.

*******
Dante Che, 31/12/2011

Rabu, 28 Desember 2011

Pontius dan Claudia!

Dalam bingkai berbalas pesan
Dilatari ruang tempat jemuran
Kala sendiri, apa yang dilakukan
Sentakmu mengalihkanku dari bacaan

Tak semua bisa dijelaskan kata-kata
Seperti obrolan Pilatus dan Claudia
Menggugat rangkaian kata demi kata
Kala bintang malam diselimuti mega


Malam ini langit tanpa bintang
Kata kenapa digugat karena rutin menyerang
Jarak mampu tepiskan pandang
Tapi kepercayaan selalu tergurat terngiang

Selalulah berbuat baik, ujarmu lirih
Jangan membuat orang lain diliputi sedih
Wejangan rutin wujud welasasih
Sederhana tanpa rangkaian berbuih-buih

Pintamu, ceritalah tentang kehidupan Pilatus
Gubernur negara bagian Yudea bernama Pontius
Namun, menelisik sejak Efrata hingga Korintus
Ku tertahan pada kisah masa kaisar Agustus

Tak maukah kau berbagi
Sergahmu dibalut senyum penuh arti
Claudia terlalu agung, terlalu tinggi
Pontius diserang rasa rendah diri

Semua sama dalam dekapan sang hidup
Dari uranus pula nafas kita hirup
Uraianmu mengalahkan kembang api yang diletup
Dan jantung menjadi berdegup-degup

Gaya dan Khronos menurunkan Dewata
Disembah ningrat hingga jelata
Hidup, bagimu adalah menolak melata
Karena bukan persoalan menimbun harta

Dongeng turun temurun warisan verbal
Hadiah peri cantik pada gigi yang tanggal
Zeus, Poseidon, Hades bagai tritunggal
Claudia dan Pontius baru mulai memintal

*******

Dante Che, 28/12/2011

Senin, 26 Desember 2011

Natal Bersama Judes

Parasmu masih mengawang
Belum tertatap mata telanjang
Samar-samar terengkuh dalam terawang
Bagai bayi natal yang dalam bayang-bayang

Judesmu belumlah hilang
Masih setia menemani riang
Sejak pagi hingga petang
Laksa tanyamu setia menerjang

Apa makna natal, tanyaku
Bukan pada hal-hal serba baru
Atau nikmatnya kesenangan semu
Begitulah pekikmu dalam gurau

Dari padang gurun membongkar hal palsu
Persiapkan kedatangan sang guru
Hingga kini masih berseru-seru
Tetap berkobar bertalu-talu

Terngiang percakapan bersama suster Monica
Dalam balutan kemuning senja
Dan momen keterbatasan pulsa
Singkat via seluler yang buat merekah rona muka

Bukanlah pada fiksi atau nyata
Bukan pula kehebatan dalam mencerna
Tapi spirit apa yang dibawa
Dalam rangkaian lika liku cerita

Papua, Tiaka, Bima, hingga Mesuji
Semuanya ditembak mati
Seolah-olah korban buat malam suci
Menyambut kedatangan sang bayi

Penindasan! Kau mengutuk memaki
Seperti Sondang yang membakar diri
Sembari berdoa dalam hati
Kau berkarya dalam sunyi

Tak perlu selalu tengadah ke langit
Seperti tiga majus yang jadi berbelit-belit
Terjanglah birokrasi yang membuncit
Yang lamban mengabdi berjinjit-jinjit

Tumpuklah kebaikan hingga berbukit-bukit
Tetaplah menghampiri kala terdengar jerit
Dalam pelayanan dan doa berbait-bait
Melindungi kaum ibu, kaum lapar dan sakit

Ditulis kala membaca Maria mengunjungi Elisabeth
Ditemani dentuman lantunan cadas Macbeth!

*******

Dante Che, 26/12/2011

Drupadi Berburu Senja

Lereng Merapi (cc: RN)

Senja selalu membuatku ceria. Warnanya yang meremang tembaga mampu mengusir duka dan melupakan takdirku yang merencam. Setiap hari aku akan pergi ke tepi pantai; entah itu Parangtritis, Kuta, Perigi, Ancol, Losari, Sanur, Anyer, Natsepa atau pantai yang lain. Di tempat itu senja membentang tak terhalang gedung-gedung yang berdiri kaku atau asap kendaraan yang membuat langit menjadi kelabu. Di tempat itu mataku akan bebas mencerap cahaya senja hingga hilang di batas malam.

Sambil menatap senja, aku melakukan hal serupa yang dilakukan Seno Gumira: membayangkan hidup di negeri senja[3]. Kubayangkan diriku melompat dari satu pulau senja ke pulau senja yang lain. Seolah memiliki sayap, aku menjelajahi pulau-pulau yang selalu tersepuh warna tembaga itu. Ah, alangkah indahnya. Apa yang lebih indah dari kebebasan selain bisa memilih sesuka hati.

Senja membuatku bisa melupakan tiga laki-laki brengsek dalam hidupku. Takdir ini memang tak terelakkan. Di saat para perempuan selalu terbelenggu cemas memikirkan suaminya yang mungkin berada dalam pelukan perempuan lain, diriku justru sebaliknya. Aku mempunyai tiga laki-laki sekaligus. Ada tiga bilik cinta di hatiku. Aneh memang. Tapi itulah guratan hidup yang kualami.

Dulu kukira dengan tiga cinta akan membuat bahagia. Aku pun berpikir dengan cara ini bisa melampiaskan dendam anak turunan Hawa yang sering diperlakukan tak adil oleh laki-laki. Tapi kenyataan tak seperti yang kubayangkan. Kenyataan telah menampar kedunguanku. Laki-laki sama saja. Mereka hanya mengejar kepuasaan untuk menggapai kekuasaan; kekuasaan menguasai perempuan. Setelah itu, tak segan mereka akan mencampakkannya; persis mencampakkan pakaian bekas dalam keranjang sampah setelah puas dipakai.

***

Sejak kecil aku sadar saat anak-anak seusiaku berteriak girang ketika ada seorang laki-laki yang datang dengan panggilan “ayah”, sebaliknya aku tak pernah mengucapkan panggilan itu. Tak pernah sekalipun. Di rumahku hanya ada Bunda. Tak ada Ayah. Ia seorang diri membesarkanku. Merawatku dengan kasih sayang dan air matanya. Pernah dengan lugu kutanyakan pada Bunda mengapa tidak ada Ayah di rumah ini? Mengapa Upik, Menik, Monik, Arya dan Devon punya ayah di rumahnya, mengapa Arin tidak? Bunda tak pernah memberikan jawaban. Ia hanya mendekapku erat. Dan setelah itu, air mata pasti akan membasahi pipinya. Semakin dewasa, aku tak pernah bertanya-tanya lagi pada Bunda. Aku tak mau hidupnya semakin merana.

Tak pernah mengenal Ayah membuatku dengan mudah menerima cinta Dance. Saat itu, aku sungguh-sungguh bahagia. Usia yang telah setengah abad membuat sosoknya tampak matang di mataku. Ia benar-benar lelaki sempurna dalam penglihatanku; ideal menjadi ayah sekaligus pendamping hidup. Tak kulihat ada setitik noda dalam dirinya. Waktu itu, aku sempat mengira dialah laki-laki suci yang diturunkan Tuhan dari surga; laki-laki yang datang untuk membasuh lukaku. Maka demi lelaki ini aku rela melepas kerudungku, yang kupakai demi mematuhi kata-kata Bunda agar rambutku tersembunyi dari tatapan mata liar laki-laki. Kalau aku rela melepas kerudungku, itu artinya aku rela melepas semua pakaian yang menempel di tubuhku. Dan memang itulah yang kulakukan di hadapan Dance.

Cinta memang buta. Itulah yang kualami. Ketika cinta sedang mekar-mekarnya di usiaku yang masih 21 tahun, aku tak peduli kalau Dance telah menjadi milik perempuan lain. Aku tak hirau dengan dua anak Dance, Kirmizi dan Karang. Kubiarkan kedua anak itu menunggu Ayah mereka pulang ke rumah tatkala senja telah meremang. Kubiarkan mereka tidur tanpa terlebih dahulu mendengarkan dongeng-dongeng sang Ayah. Entah apa yang menguasai diriku waktu itu. Aku telah tega merampas kebahagiaan anak-anak tak berdosa itu demi kebahagianku. Aku hempaskan bahagia masa kecil mereka ke jurang kehancuran. Aku tahu, anak-anak itu pasti akan bertanya pada bundanya kenapa Ayah tak pulang padahal malam telah menjelang. Berhari-hari pertanyaan mereka akan berulang. Mendapat pertanyaan itu, si Bunda pastilah akan seperti bundaku; mendekap erat anak-anaknya sembari meneteskan air mata. Dan persis sepertiku, anak-anak itu tentu tak tahu kenapa bundanya tak bisa berhenti menangis.

Naluriku memang telah tergadaikan. Waktu itu, apapun yang terjadi, aku telah membulatkan tekad untuk mengarungi hidup bersama Dance. Rentang usia tak mampu memisahkan cinta kami. Seperti kumbang dan bunga, kami saling mengisi. Sebagai muda, aku belajar banyak pada Dance yang telah makan garam kehidupan. Salah satunya aku belajar membuat film dokumenter.

Pada masa-masa ini cinta kami begitu membara di hotel yang mewah. Kami bekerjasama membuat film yang akan dikenang sepanjang masa; seperti halnya kisah Romeo dan Juliet. Dan akhirnya kami berhasil. Sebuah film selesai kami buat. Kami memberinya judul Kado Buat Istri. Ya, sebuah film dokumenter tentang suami yang memberikan kado istimewa pada istrinya. Kado itu berupa kabar bahwa si suami telah memiliki perempuan lain yang usianya masih belia. Di luar dugaan kami, film ini mendapat sambutan yang luar biasa di berbagai festival. Kritikus film menobatkan kami sebagai sineas berbakat yang peka terhadap zaman dan berani menertawakan diri sendiri. Kami pun melambung ke awan. Terbang melayang-layang. Akhirnya, kerja keras kami dihargai.

Tapi, apakah semua itu membuatku bahagia?

Tidak! Semua memang indah pada awalnya, namun seiring waktu keindahan itu  sirna. Wajah-wajah murung anak-anak Dance, karena Ayah mereka tak pernah pulang, selalu menghantuiku. Aku bisa merasakan pendiritaan mereka. Aku pernah mengalaminya. Naluriku pun menggugat. Pendirianku luruh. Maka kuijinkan Dance membagi cinta dengan anak-anaknya. Tiga hari ia bersamaku, empat hari ia bersama keluarganya. Dengan begitu aku merasa sedikit terbebas dari beban jiwa yang menggodam rasa.

***

Semuanya berjalan lancar hingga aku sadar kalau separuh ranjangku kosong. Selama empat hari ranjang yang kosong itu hanya ditempati bantal dan guling. Tak ada dekapan lelaki yang membuatku tenang. Terus terang aku mulai kesepian. Tiga hari ternyata tak cukup bagiku. Aku ingin memiliki tujuh hari dalam hidupku. Di saat pusaran sepi membelenggu jiwa, datanglah lelaki muda membawa cintanya. Aku langsung menerimanya. Lelaki itu bernama Dom.

Dom masih muda, seuisaku. Penuh energi dan selalu optimis. Seperti awal melihat Dancebegitulah penilaianku ketika melihat Dom: lelaki sempurna. Cinta kami bersemi, mengebu-gebu. Aku pun tak mau tahu kalau dia sudah mempunyai tunangan di kampungnya. Aku tak peduli apakah tunangannya itu akan menderaskan air mata karena kekasihnya tak ada kabar berita. Persetan dengan semua itu. Yang terpenting separuh ranjangku kini ada yang mengisi kalau Dance tak datang.

Cinta antara diriku dan Dom begitu membara. Semua itu membuatku yakin kalau akan abadi. Setiap hari ia akan menyirami cinta kami dengan puisi cinta buah karyanya; baru kuketahui kemudian kalau puisi-puisi itu ternyata saduran puisi Pablo Neruda, aku ditipunya. Tapi semua itu hanya impianku. Harapan yang mengantang di awan. Cinta itu akhirnya pupus juga.

Semuanya bermula ketika tunangan Dom datang untuk menuntut jawab. Aku pun menuntut Dom memilih. Tapi dia justru hanya bisa menangis dan menangis. Tak kuduga kalau ia lelaki cengeng, tak punya pendirian. Kukatakan padanya aku tak butuh air mata. Itulah untuk pertama kalinya seumur hidup aku menyesal. Ternyata aku telah berbagi cinta dengan lelaki tak bertulang punggung. Lelaki yang tak berani menatap kenyataan di depannya. Lelaki yang tak berani mengatakan aku akan memilih. Aku benar-benar kecewa! Semua kekagumanku ketika melihatnya begitu gagah memimpin para buruh turun ke jalan sirna setelah mengetahui jiwanya yang kerdil. Aneh memang, orang secengeng itu dipilih menjadi pemimpin kaum buruh. Rasa muakku semakin bertambah setelah kuketahui ia meniduri istri sahabatnya sendiri. Sungguh ingin muntah kalau ingat wajahnya. Ingin kuberaki wajahnya!

Rasa kecewa yang menumpuk itulah yang membuatku jatuh pada dekapan Firman. Ia lelaki yang selalu muram; seolah mendung selalu mengelayuti matanya. Memang kemuraman itu yang kucari. Terus terang aku tak pernah mencintai lelaki ini. Aku hanya butuh teman untuk membagi duka dan derita. Sambil menyesap ganja, kami membayangkan diri menjadi Chaves di Venezuela atau Evo Morales di Bolivia. Kami seolah-olah berpidato di boulevard yang dipenuhi dengan massa; menyampaikan kabar gembira kalau penindasan itu telah sirna. Begitulah hari-hari kami, menjemur impian di siang hari.

***

Namun kini aku telah tumbuh jauh lebih matang. Kuputuskan untuk meninggalkan ketiga lelaki itu. Tak ada gunanya hidup dengan mereka. Seolah hanya menumpuk derita demi derita.

Setelah merasa terbebas, aku pun ingin kembali ke masa kecil; duduk di tepi pantai menunggu senja datang. Saat langit mulai keperak-perakan dan air laut tersepuh jingga, itulah saat bahagia hadir dalam hatiku. Masih terngiang kata Bunda, bahwa ayahku akan datang dari balik senja membawa bunga untukku. Maka tak pernah kulewatkan senja datang.

Ayah memang tak pernah datang. Tapi aku tetap senang dengan senja. Ah, andai saja Seno Gumira[4] mau menyerahkan sepotong senja itu untukku, tentu aku semakin bahagia; apalagi kalau di sepotong senja itu ada wajah Ayah yang tersenyum padaku.

Aku masih berharap Ayah akan datang. Setiap senja meremang kutunggu kedatangan Ayah. Suatu saat, kalau Ayah datang aku akan mengadu padanya, “Ayah, akulah Drupadi yang memburu senja karena Pandawa tak bisa membuatku bahagia.”

Sayang, sampai kini aku tak tahu siapa ayahku. Bundaku seorang pelacur yang telah melayani lusinan laki-laki.***


   
[1] Istri Pandawa. Ia perempuan yang memiliki lima suami.

[3] Novel Seno Gumira berjudul “Negeri Senja”.

[4] Cerpen Seno Gumira berjudul “Sepotong Senja untuk Kekasihku”.

Jumat, 23 Desember 2011

Hujan! (Pesan Orang Judes)

Kini hujan menghiasi cakrawala
Kau memintaku mematrinya dalam aksara
Asmakah kau, kubertanya
Hanya alergi saja, begitu kau menyela
Mengapa?
Hujan mengingatkan akan suatu masa
Kisah dua orang anak manusia
Yang sama-sama merajut asa
Sama-sama pula mengidap asma
Berkobar-kobar menantang bahaya
Walau sekarang hanya tinggal kata-kata
Kau orang baik dan bijaksana
Judesmu adalah ungkapan canda ria
Karena hidup adalah mencari bahagia
Penarik tawa yang menurutmu mahal harga
Sajak ini jauh dari keadaan sebenarnya
Walau dikemas dalam bingkai realita
Sebab tak cukup hanya kata-kata
Hendaknya diuji dalam praksis nyata
Bagai hujan membersihkan langit senja
Menenteramkan hati para kawula
Kadang-kadang malah muncul bianglala

Bagi yang piket, selamat bekerja!

*******

Dante Che, 23/12/2011

Refleksi Bersama Suster Monica!

Menyapa pagi
Lincah menyalakan api
Memasak air menyeduh kopi
Hangat dikemas dalam poci
Makin nikmat dengan harumnya roti
Ditutup dengan hidangan nasi
Tak ada kisah orang-orang suci
Juga tak seperti bersama kekasih hati
Tak ada suara yang boleh keluar kali ini
Makan suap sendiri-sendiri
Demikian halnya dengan cuci-cuci
Cerminan hidup mandiri
Selanjutnya walau diwarnai mbuletisasi
Menjelang senja engkau pamit mandi
Siap berangkat ke tempat berbakti
Terima kasih telah temani
Hari-hari pendalaman rohani
Dalam proses retrospeksi diri
Mencintai kemanusiaan yang hakiki
Dan menjadi manusia sejati
Semoga perkawanan kita abadi
Hingga dijemput ilahi!


*******

Dante Che, 23/12/2011

Kamis, 22 Desember 2011

Hari Ibu Bersama Suster Monica!

Ketika gemericik air gua,
Berpadu kicau burung gereja
Rosariomu yang berkilau berseri,
Iringi kisah orang-orang suci
Aku bukan orang baik,
Sementara engkau adalah orang bajik
Rapalan doa mengalir lancar,
Tapi pikiranku melanglang liar
Di tempat ini mimpi pernah tergurat,
Maria saksi ikrar hingga kiamat
Kau berkisah tentang Monica dan Ignatius,
Tentang dua orang kudus
Kisah pelindung kaum ibu,
Dan martir yang tak lelah berseru
Orang-orang yang lalu lalang,
Dan sudut gereja yang lengang
Membangkitkan nyeri mengenang rosario,
Yang kini diapiti Don Pablo dan Hugo
Tak banyak yang engkau ceritakan,
Karena kembali tekun ke dalam kebaktian
Pada sesama yang terserang sakit,
Agar segera sembuh dan bangkit
Kita sama-sama telah tahu kisah tersebut,
Sehingga tak perlu berulang sahut menyahut
Hari ibu yang diperingati setiap tahun,
Engkau daraskan dalam doa yang dilantun

Selamat Hari Ibu Buat Mama Monica,
ibu dari semua orang yang sakit, pelindung kaum Mama!
*******

Dante Che, 22 Desember 2011

Gajah Sama Gajah Bercinta

Gajah Sama Gajah Bercinta
Pelanduk Mati di Tengahnya
  
cc: RN (Penggemar Valentino Rossi dan Dieogo Maradona)

Senja telah pecah di ufuk Barat. Lapangan bola di samping kontrakanku sudah ramai oleh penonton. Laki-perempuan, tua-muda, menyemut jadi satu. Pertandingan bola yang akan segera dimainkan hanya pertandingan tingkat kampung, tapi semua mata tak mau melewatkannya.

Kedua tim sudah bersiap. Dua orang pelatih—Jabo Arwana pelatih dari club ABJ FC dan Roy Wardana, pelatih dari S3OR FC—berdiri di pinggir lapangan. Si Jabo dengan botol bir di tangan kanan memerintahkan anak buahnya untuk segera bersiap. Sementara itu, si Roy dengan merangkul perempuan muda, tak kalah tangkas, memberikan komando agar pemainnya tak loyo di lapangan.

Bersama anakku, aku segera berbaur dengan yang lain. Anak lelakiku yang duduk di atas pundak berjingkrak sambil memegangi rambutku. Para pemain ABJ FC (Anak Buah Jabo) dan S3OR FC (Susah Senang Sama Om Roy) telah berjajar di tengah tanah lapang. Nama-nama pemain club ABJ FC dari kiri ke kanan: Jiko1, Dorce2, Liek3, Mang Odon4, Arlo Katropul5, AA’6, Lalu Mati7, Si Item8, Si Upik9, Kananda10, dan Tiwik11. Sedangkan pemain cadangan mereka Ahmad12 dan Bung Tomo13.

Sedangkan pemain club S3OR dari kanan ke kiri adalah: Ki Mojo14, Doyok15, Toni16, Kisti17, Arin18, Widya19, Ginanjaran20, Kumar21, Suk22, Lis23 dan Paul24. Mereka tidak memiliki cadangan karena dana yang compang-camping.

Kini semua pemain sudah berada di tengah lapangan. Wasit pertandingan ini—Bung BY dibantu asisten wasit Sarif dan Usup—telah siap. Peluit pun ditiup. Bola bergulir di lapangan. Club ABJ FC segera melakukan serangan. Pemain mereka yang penuh nafsu—baik nafsu seksnya maupun nafsu memburu uwang—mengepung pertahanan club S3OR FC yang tampak loyo-loyo karena sudah tiga hari belum makan.

Penonton bersorak-sorai. Orang-orang berseragam doreng bertempik sorak, begitu dengan pula yang berkacamata hitam dan berpeci hijau. Lapanganpun bergemuruh. Anak lelakiku semakin bertingkrak-jingkrak ketika Si Upik berhadapan satu lawan satu dengan Paul. Keduanya yang bertubuh tambun berebut bola. Karena terlalu bernafsu akhirnya terjatuh terguling-guling di tengah lapangan. Paul menindih Si Upik. Pada detik berikutnya Si Upik menindih Paul. Penonton semakin bergemuruh.

Bola bergulir ke kaki Mang Odon. Doyok mencegat Mang Odon. Kaki ketemu kaki, tangan bertemu tangan. Keduanya adu kuat mencari simpati. Bola lepas, menggelinding ke kaki Arlo. Bak Maradono ia mengocek bola menuju gawang. Bola dioperkan ke AA’ yang menerimanya dengan dada. Ketika bola akan menyentuh tanah kaki kanan AA’ menendangnya. Bola meluncur melengkung menuju mulut gawang. Sebagai penjaga gawang Ki Mojo berusaha menjemput bola yang melaju. Tapi bola tak mau, hingga menerobos ke dalam gawang.

Penonton berbaju doreng bertempik sorok.

Begitu juga dengan yang berpeci hijau.

Skor 1-0.

Bola kembali berada di tengah. Bung BY meniup peluit. Bola kembali melaju. Paul mengiring bola tapi Mang Odon menarik celananya. “Barang istimewa” dalam celana Paul bergelantungan tak menentu. Penonton memalingkan muka karena malu. Bola terus melaju. Dorce menggiring bola. Ginanjaran menghadangnya. Seru mereka berebut bola. Istri Ginanjaran yang berada di pinggir lapangan tampak ragu. Bola di kaki Ginanjaran, Dorce merebutnya. Bola kembali direbut. Dorce tak mau kena malu, bola diserobotnya lagi. Ginanjaran yang kalah nafsu tak mampu mengejar. Dorce terus melaju. Ada Arin menghadangnya. Ia tampak ragu. Gundukan bukit kembar di balik kaos Arin membuatnya pilu. Dulu ia pernah mendaki gundukan bukit itu, tapi itu masa lalu.
Bung BY meniup peluit tanda babak pertama berakhir.

***

Melihat jalannya pertandingan pada babak pertama sebetulnya sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Perlu engkau tahu, dulu sebelum beradu mereka sebenarnya satu tim, yaitu AKM FC (Aku Kalah Melulu). Karena kalah melulu akibatnya semua anggota club miskin melulu. Siapa yang sanggup miskin sepanjang waktu? Tak ada itu. Maka club AKM FC mencari modal baru. Seorang makelar pun datang menawarkan modal dari orang terkuat di negeri ini—seperti halnya Machester City mendatangkan pemodal baru, mantan PM Thailand. Gayung pun bersambut. Lewat Jabo Arwana modal itu berlalu ke club AKM. Sejak saat itu nasib pun berbalik arah. Miskin mulai menjauh. Dari sini masalah bermula.

Modal yang mengalir tak terbagi rata. Hanya orang-orang tertentu yang merasakannya. Akibatnya, yang tidak kececeran mulai meradang. Perpecahan pun tak terhadang. Maka AKM FC pecah menjadi dua, ABJ dan SO3R. Bila ada yang bilang perpecahan karena perbedaan filosofi dalam pertandingan, strategi penyerangan, dan organisasi pertahanan, itu hanya baju. Pokok persoalan sebanarnya hanya satu: modal yang tak terbagi rata alias masalah perut. Tak ada yang lain selain itu.

***

Pertandingan kembali akan dimulai. Bung BY kembali ke lapangan. Anakku yang habis jajan pulang kepundakku. Penonton pun menatap tanah lapang. Pemain club ABJ sudah masuk lapangan namun pemain S3OR tak kelihatan ujung hidungnya. Penonton pun menunggu. Tanpa terduga Roy Wardana masuk ke lapangan dengan memeluk perempuan muda. Di tengah tanah lapang ia melepas kaos putihnya. Kaos itu kemudian dilemparkan ke udara tanda menyerah. Wasit pun langsung meniup peluit panjang tanda pertandingan usai. Tak terduga memang, club ABJ FC meraih kemenangan mutlak dengan skor 10-0. Mereka berjingkrak-jingkrak riang. Lawan mereka menyerah kalah sebelum pertandingan sebenarnya usai.

“Hidup ABJ! Hidup ABJ!” teriak penonton berbaju doreng.

“Engkaulah abdi kami sejati!” teriak penonton perpeci hijau.

Basru, komandan penonton berpeci hijau maju ke depan. Ia meletakkan karangan bunga beruntai rangakaian tai kering ke leher Jabo Arwana. Mendapatkan penghormatan itu Jabo Arwana tersenyum riang. Ia tuangkan bir ke kepalanya hingga meleleh ke seluruh tubuhnya.

Begitulah pertandingan usai. Dan, aku pun bersama anak lelakiku pulang ke rumah menemui istri. Cerita usai sampai di sini. Sampai jumpa lagi!

***



1 Pemuda kelahiran Boyolali ini selain gemar menenggak alkohol juga gemar vagina perempuan Cina. Sebagai penjaga gawang ialah benteng terakhir club ABJ. Tanpa kehadiran Jiko maka bisa dikatan kalau Jabo Arwana akan seperti alat kelamin yang impoten, ada barangnya tapi tak berfungsi.
2 Pemuda jebolan dari perguruan tinggi tidak ternama di Surabaya ini, ibarat kuda sumbawa alias mempunyai alat kelamin yang liar. Perjalanan hidupnya memang berliku, dari vagina satu ke vagina lainnya—kasus terakhir secara illegal ia memakai vagina istri temannya. Sebagai bek tengah ia berfungsi seperti Maldini di AC Milan, menjaga lawan sebelum berhadapan dengan penjaga gawang.
3 Mantan penjual bakso ini tak perlu diulas lebih panjang karena semuanya sudah tahu sejarah hidupnya.
4 Anak turun Siliwangi ini penyuka gelek. Hirup napasnya adalah asap gelek. Oleh karena itu, tak salah kalau kemudian ia berlabuh pada club ABJ yang banyak modalnya agar kebutuhan akan gelek terpenuhi. Awalnya dia memang miskin, hanya mempunyai satu celana dalam. Dan sekarang dengan bergabung dengan tim asuhan Jabo Arwana, ia berharap garis hidupnya bisa berubah. Demi hal ini ia rela satu tim dengan Dorce yang pernah dijulukinya Tomi J Pisa karena kecengengannya.
5 Pemuda yang dulunya hanya seseorang yang buta huruf dan diambil dari jalanan ini sekarang telah menjadi tenar. Dulu memang hanya seorang loper koran Pembebasan, tapi kini menjadi tukang loper uang. Sudah biasa kalau dalam masa ketenaran ini ia lupa akan jati dirinya, alias kacang lupa akan kulitnya. Dengan berjualan rakyat miskin ia mereguk keuntungan demi keuntungan. Inilah generasi kere munggah bale (jembel yang naik ke istana) yang bisa menikmati hidup dengan menjual para jembel.
6 Karena ijazah STM Pembangunan tak memungkinkan untuk hidup di Jakarta maka ia memilih bergabung dengan club ABJ yang memang bisa menghasilkan banyak rupiah. Awalnya, ketika di Jogja dan belum setenar sekarang, ia hanya seorang loper koran jalanan dengan sepeda motor pinjaman. Dari anak jalanan yang tak jelas rimbanya ini kemudian “di asuh” oleh Kamcrut di Sleman dan mendapat didikan dari Aples di Kricak, Jatimulyo. Sejak saat itu ia mulai bertumbuh menjadi pemain yang piawai. Kini setelah menjadi pemain tenar—seperti halnya Arlo Katropul—berubah menjadi kacang yang lupa kulitnya. Ialah tipe pemain paling ideal dari generasi Malin Kundang. Salah satu pengalaman menarik yang pernah dilaluinya adalah bersama cerpenis/esais Pathut KA mengadu pada patung Roro Jongrang di Candi Prambanan sambil meremas-remas payudara Roro Jonggrang—dari peristiwa ini ia mengalami orgasme mistis untuk pertama kalinya, dan sejak saat itu mengubah dirinya dari jembel jalanan menjadi ksatria. Secara kejiwaan ia sedikit menderita penyakit oidipus complex. Kabar terakhir konon kabarnya ia sedang menjalin hubungan dengan perempuan setengah baya (WSB).
7 Hampir sama dengan AA’. Jebol dari universtitas kecil di selatan Jogja tak akan mungkin bisa hidup di kota metropolis Jakarta. Oleh karena itu, ia bergabung dengan club ABJ. Sewaktu datang ke KPW Jogjakarta tiga tahun yang lalu bersama satu temannya, ia masih seperti kucing yang sakit-sakitan—mata beleken dan ingusan dengan bulu yang dekil—sangat berdeda dengan sekarang. Sama seperti Arlo dan AA’, ia generasi kader Malin Kundang. Terakhir ia terlihat jualan Tuhan diacara Kizal Kamli CS. Konon kabarnya dari jualan ini berlembar-lembar rupiah masuk dalam rekeningnya.
8 Bergabung dengan club ABJ semata-samata satu selera dengan sang pelatih: sama-sama penyuka bir. Dididik di seminari, kemudian direkrut dalam Kasbul (Kaderesasi Sebulan), menempatkan sosoknya seperti Pater Beek—sang penggagas Kasbul untuk menandingi komunis.
9 Sebagai peraih Maksasay ia merupakan salah satu penarik rupiah terbesar dalam club ABJ. Perannya sama seperti David Beckham, sudah tidak terlalu terampil bermain tapi masih bisa dijual.
10 Lelaki kelahiran Aceh ini bergabung dengan club ABJ karena takut kalau dosa-dosanya dibongkar oleh Jabo Arwana.
11 Pemuda desa yang tak tamat kuliah ini merantau ke Jakarta. Mengingat sosoknya maka akan memaksa memori terbawa pada penggalan lagu darah juang: Pemuda desa tak kerja. Punya satu istri dan tidak punya kerja membuat dirinya menambatkan pilihan pada club ABJ. Ada yang unik dari dirinya, tak pernah baca buku tapi menduduki jabatan pendidik di salah satu organ tani. Kabar terakhir selain sebagai pemain bola ia juga berprofesi sebagai tukang pukul.
12 Ia memang ditakdirkan oleh sejarah untuk menjadi pemuda yang peragu. Lompat dari satu perempuan ke perempuan lain, akhirnya kembali ke perempuan pertama. Memang sayang kalau rakyat Aceh mempunyai pemimpin masa depan seperti bung yang satu ini.
13 Mengingat lelaki satu ini akan membawa kenangan pada masa lalu yang suram. Suaranya mengingatkan pada deburan ombak di senja hari. Tatapan matanya laksana sungai yang tenang tapi menghayutkan. Bos Paman ini akhirnya mau tak mau bergabung dengan club ABJ karena takut tak punya teman.
14 Yang perlu dijelaskan dari lelakinya ini bahwa nasibnya sepahit namanya.
15 Lelaki ini ibarat buldoser, apa saja diterjang, termasuk kawannya sendiri. Hidupnya memang tak beranjak dari satu derita ke derita. Makanya ia bergabung dengan club yang berisikan orang-orang yang menderita karena tak dapat ceceran uang.
16 Murid dari almukarom BeG ini konsisten di jalur tani. Walaupun beberapa periode menjadi pepunden kaum tani tapi hidupnya belum secerah Arlo atau AA’ dari club ABJ.
17 Sebagai alumus Fakultas Filsafat maka jelas ia menambatkan pilihan pada club S3OR. Karena di club tersebut ada sahabat karibnya, Ki Mojo.
18 Tentang kenapa mojang Priangan ini bergabung dengan S3OR tentu tidak perlu dijelaskan.
19 Bergabungnya dengan S3OR juga tidak perlu dijelaskan.
20 Nasibnya memang sedikit tragis, istrinya pernah “dipakai” oleh Dorce. Karena berjiwa ustadz peristiwa itu ia lupakan walaupun masih mengganggu mimpi malamnya dan saat ia bersetubuh dengan istrinya.
21 Karena istrinya mau melahirkan ia kembali ke Jogja, dan sekarang setelah istrinya melahirkan untuk kedua kalinya ia tak pernah kembali lagi ke Jakarta. Kedekatan dengan pelatih S3OR FC membuat dirinya bergabung dengan club yang compang-camping ini.
22 Ia terpaksa jebol dari UGM karena terlalu asyik bermain bola. Dulunya sahabat akbrab AA”, tapi karena masalah “ideologi” maka sekarang harus berhadap-hadapan.
23 Buruh berkrah putih ini tak jelas riwayat hidupnya.
24 Inilah bintang di club S30R FC. Sudah hampir tujuh bulan ini sedang hamil genjik diperutnya. Nah, dia ini sama-sama seperti AA’, penderita oidipus complex. Jalan hidupnya memang berliku. Penghuni LP (Lembaga Perempuan) Sarkem ini telah bertualang ke mana-mana. Tak peduli siang dan malam ia akan mencari mangsa.

Deja Vu!

Seikat kirimanmu telah diterima
Terlalu mahal meski dikemas bersahaja
Dengan maksud penerima tak kehilangan muka
Tetap mampu tegakkan kepala

Bintang lima habitatmu
Usia belia gelimang sukses menyerbu
Lalu apa yang membuat galau
Dan kalut tak menentu

Masa depanmu masih panjang
Sukses menanti bergelimang
Hiduplah dengan riang
Tak usah membuat duka berkubang

Kita memang satu generasi
Tapi kau telah mampu berdikari
Sementara ku masih dengan seabrek asa diri
Yang sedang dan akan terus dititi

Di ruang studi pun kau tak kalah
Gencar menggugat absolutisme benar-salah
Yang kulihat kau selalu ilmiah
Dan elegan dalam kemasan risalah-risalah

Lalu apa yang membuat wajahmu mendung
Tak keberatan jika kau ingin bergantung
Tapi tak bisa selamanya berlangsung
Kau haruslah berseri seperti pipimu yang lesung

Hampir segala padamu adalah pujian
Manajemen yang dikelola dalam kebijaksanaan
Inovasi rutin sebagai wujud kecerdasan
Tertib dan sistematis semuanya berjalan

Ku cuma seorang yang bisa mengutuk-ngutuk
Dalam debat teori muluk-muluk
Menelaah mulai dari seluk-beluk
Sampai pada persoalan mahalnya lauk-pauk

Aku menghormatimu sebagai sahabat
Berharap senantiasa tangan berjabat
Kau, tetaplah kuat
Dan makinlah hebat

Di luar hujan turun
Isi bingkisan membuat tertegun
Walau ucap terima kasih telah dilantun
Tetap membuat menerawangi halimun

De Javu!

*******

Dante Che,  19/12/2011

Perempuan Hebat! (Tribute to Ebong)

Ku tak pandai tentang rasi bintang
Belum pernah kulihat benua-benua seberang
Hanya pikiranku saja yang tak tentu rimba terbang
Dari satu ke lain kisah melayang

Sebaliknya kau telah menjelajah
Telah paham karakter berbagai macam wajah
Lalu kau menafikan hal-hal mewah
Dan belajar bersamaku sang bocah

Kan kukisahkan tentang kau
Tentang perempuan bermata sendu
Yang selalu kokoh tak mudah galau
Yang selalu berani hadapi lara pilu

Kau tipe perempuan masa depan
Yang menolak hidup dalam kungkungan
Yang senantiasa menggugat penindasan
Berjuang merebut kemerdekaan

Darimana memulai menebas
Organisasi, pergerakan, dan solidaritas
Harus dijaga dan dipupuk itulah asas
Dipraksiskan secara cerdik dan cerdas

Kaulah perempuan penggugat konstruksi
Menggalang dan berseru hadapi patriarki
Ganti sistem dan gulingkan tirani
Hidup setara tanpa klas borjuasi

Sebelum pijar-pijar redup
Bongkah buncah harus diletup
Tuk merebut kemerdekaan di sisa hidup
Bebas mencari udara tuk dihirup

Di sisa usia,
Raihlah asa yang tersisa
Jauhlah dari segala mara bahaya
Semoga kau bahagia senantiasa!


******* 

Dante Che, 18 Desember 2011

Kabar Seberang!

Punya dua wajah tanpa bentuk
Kawan terbaik sekaligus musuh terburuk
Tak peduli disemat terkutuk
Tenang menarik pelatuk

Janganlah menabuh genderang
Bukanlah menang pertempuran, tapi perang
Cukup kukuh saja dan tak gamang
Syarat menjadi pemenang

Pagiku ditemani napak tilas Don Pablo
Kau masih tetap dalam kesyahduan Rosario
Seperti dahulu dalam selimut kabut Mataloko
Bagai konspirasi Consigliere dan Don Vito

Myrmidon dari semut
Selalu berulang kau sebut
Selalu berulang pula tak kusahut
Kita sama-sama tahu, di situlah tertaut

Bersua lewat rangkaian sandi
Menjaga asas kesetiaan pada janji
Telah jauh dititi
Akankah ini abadi?

Lonceng gereja ditabuh, diiringi gema adzan subuh,
Amando Dante, Odiando Che!

*******

Dante Che, 14/12/2011

Filsafat Lubang

cc: RN (pengamat lubang dari lereng merapi)

Filsafat Lubang:
Sebuah Percobaan Kecil Menjawab Problem Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia

1/
             Filsafat Lubang mengenal gagasan: sejarah perjuangan umat manusia adalah sejarah perjuangan membebaskan lubang dari penindasan dan penghisapan.

2/
            Sebagai salah satu cabang dari filsafat, Filsafat Lubang kurang popular bila dibandingkan dengan cabang-cabang filsafat yang lain, misal, Filsafat Politik, Filsafat Hukum, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Ilmu maupun Etika. Keberadaan Filsafat Lubang tertutup selaputtipis kesadaran palsu masyarakat, sehingga ia hanya dibicarakan dalam lingkaran-lingkaran kecil. Ia sebetulnya dirindukan, tapi masyarakat malu untuk membuka seluas-luasnya. Tak mengherankan kalau Filsafat Lubang mengalami hambatan-hambatan dalam perkembangannya. Konsekuensinya, belum ada konsep yang utuh tentang Filsafat Lubang; belum ada buku yang ditetulis; belum melahirkan filsuf. Dengan kondisi seperti itu,  dalam tulisan ini aku terpaksa meraba-raba dalam gelap yang sunyi, tanpa ada bintang yang menerangi cakrawala, tanpa nyayian kelelawar. Dalam suasana yang gulita dan sedikit mistis, aku mencoba menguraikan Filsafat Lubang.

3/
            Filsafat Lubang sebenarnya berangkat dari ujaran umum yang sudah dikenal luas: teruslah terperosok lubang yang sama sepanjang hidupmu. Ujuran ini sudah sangat kuno, yang dalam perkembangan historisnya ketika sampai  corak produksi kapitalis dibungkus dengan seperangkat etika yang rumit. Sederhananya, kapitalisme menempatkan pada problem individualisme, memisahkan dari problem kolektivitas; dalam politik melahirkan anarkisme, liberalisme dan eksitensialisme, dalam kebudayaan mengejawantah dalam humanisme universal, dalam Filsafat Lubang mengokohkan adagium: bolonganku duwekku dewe.ojo mbok ganggu.yen mbok ganggu tak kaplok raimu (terjemahan bebasnya: lubangku miliku sendiri.jangan diganggu.kalau kau ganggu tak tempeleng mukamu). Adagium yang dikokohkan oleh corak produksi kapitalisme inilah yang kemudian melahirkan kontradiksi dalam masyarakat.

4/
            Sebetulnya, dalam sejarah masyarakat Indonesia, Filsafat Lubang telah menemukan keberhasilan yang gemilang dibandingkan yang terjadi di belahan dunia lain. Arok—seorang pemuda tanpa asal usul—dengan konsep Filsafat Lubang telah berhasil membangun pondasi baru bagi masyarakat Indonesia—yang setelah era Atlantis mengalami kemunduran yang dahsyat. Arok adalah satu-satunya dalam sejarah masyarakat Indonesia yang sukses membebaskan lubang (milik Dedes) dari penindasan dan penghisapan Tunggul Ametung.
            Perjuangan Arok dalam membebaskan lubang (milik Dedes) menggunakan senjata yang dikenal 4 kaki nandi: front, massa, senjata dan dana. Dengan senjata tersebut Arok berhasil membongkor sistem masyarakat yang usang dengan menggantinya dengan masyarakat baru (penghapusan pengkastaan, pengakuan agama dan usaha menyatukan Jawa dalam kesatuan ekonomi politik). Usaha Arok ini bermuara ketika terbentuknya imperium Majapahit. [Sekedar selingan, jangan dimaskukkan di hati: pada masa Arok perjuangan sudah sedemikan majunya. Padahal ini terjadi beratus-ratus tahun sebelum Marx lahir. Anehnya, kini, gerakan justru mundur kebelakang dengan meniru metode topo pepe zaman Mataram; ketika perlawanan dilakukan dengan duduk-duduk di alun-alun depan kraton Mataram].
            Periode Arok juga menandai patahnya adigium bolonganku duwekku dewe. Arok berani melakukan pemberontak pada kepemilikan lubang yang dikuasai Tunggul Ametung. Arok memberontak karena melihat kondisi objektif bahwa kepimilikan lubang Tunggul Ametung telah menyebabkan Dedes tertindas dan terhisap. Pemberontakan yang dilakukan Arok—dengan perspektif yang berbeda—telah memberikan keberanian pada pemberontakan-pemberontakn yang lain—PKI ’26, Agustus ’45, PKI ’48.

5/
            Filsafat Lubang juga pernah terpuruk. Ini terjadi pada era Mataram. Temenggung Wiroguno ingin menguasai lubang (milik Mendut). Tapi hasrat ini gagal ketika Ponocrito muncul. Karena gagal, tumenggung tua itu membunuh Mendut dan Ponocrito. Peristiwa ini membawa dampak yang panjang dalam sejarah masyarakat Indonesia. Pembunuhan Mendut merupakan pembunuhan terhadap munculnya bibit-bibit borjuasi lewat industri rokok. Sementara pembunuhan Ponocrito merupakan pembunuhan terhadap kebudayaan pesisir yang dilakukan oleh kultur agraris. Kedua pembunuhan ini membawa dampak yang merusak. Pembunuhan pertama menyebabkan tidak munculnya borjuasi yang tangguh karena bibit-bibit kemunculannya selalu dibunuh. Pembunuhan kedua membawa akibat terbelahnya metal masyarakat Indonesia: di satu sisi menerima modernisme, di sisi lain tidak mau meninggalkan kebudayaan agraris (contonya: kemana-mana pegang BB, Ipad dan perangkat-perangkat modern lainnya, tapi masih percaya pada hal-hal mistis (tuhan), melakukan ritual-ritual sisa-sisa kebudayaan agraris (pusa, shalat, dll).

6/
            Sepertinya memang takdir historisnya kalau Filsafat Lubang hanya berhasil ketika masa Arok-Dedes. Ini bisa dilihat ketika Filsafat Lubang ini coba dianut oleh gerakan kiri di Indonesia, mengalami kegagalan. Berangkat dari berita di koran-koran kiri, seorang aktivis revolusioner dipecat karena kedapat tidak menjalankan falsafah: teruslah terperosok lubang yang sama sepanjang hidupmu. Sang aktivis yang sudah memiliki lubang berusaha mendapatkan lubang yang lain. Karena tidak sesuai dengan pakem organisasi di mana dia bernaung, maka dipecatlah aktivis tersebut. Inilah yang kemudian menimbulkan perpecahan di dalam organisasi revolusioner tersebut.
            Pandangan klasik mengenal corak produksi masyarakat menentukan supra struktur. Dalam organisasi revolusioner, lubang yang menentukan supra struktur. Problem lubang ini kemudian berimbas pada problem idiologi dan politik. Kemudian terjadi perdebatan yang  berujung pada perpecahan. Yang sayangnya, perdebatan dan perpecahan dalam supra struktur tersebut tidak berhasil berdialektika dengan memajukan basinya. Tidak berhasil sebagaimana masa Arok-Dedes.

7/
            Sebagai penutup, kegagalan Filsafat Lubang dalam gerakan kiri menurutku diakibatkan materi pendidikan Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis (MDH) masih memakai contoh 1 kg gula. Contoh seperti ini masih diamini sampai saat ini. Sekadar saran, contoh 1 kg gula sebaiknya diganti dengan BB, Ipad atau sejenisnya.***


Percakapan Minggu Pagi!

Wejangan bijak seorang kawan:
tak ada asap kalau tak ada api
gunakan pikiran dan hati
selesaikanlah secara baik-baik
kumenunggu hingga keadaan membaik
kembali normal seperti semula
agar indah seperti sediakala
demi kebaikan semua pihak
begitulah kira-kira tindakan bijak

Balasan pada sang kawan:
kubukan orang pandai
apalagi menggunakan pikiran dan hati
pandangan hidupku sederhana
senantiasa berusaha mengabdi sesama
ku tak suka mencari lawan
tak juga mengenal istilah mantan kawan
semuanya adalah sahabat
yang senantiasa berjabat erat

Intensi hari sabat:
semoga kasih karunia dewata
senantiasa menyertai kita
tetap kokoh dalam badai
kala asa dan cita dititi
rintangan dan hambatan hanyalah cobaan
konon sebagai ujian kehidupan
yakinlah selalu
pada apa yang kan dituju

Selamat hari minggu semuanya!
*******

Dante Che, 11/12/2011

Kabar Dari Jalanan!

Teriakan
Kepalan
Acungan
Umpatan

Parade pergerakan
Membelah jalanan
Massa beriringan
Saling bersisian

Panji-panji kemanusiaan
Pejuang-pejuang perempuan
Pegiat-pegiat perubahan
Cita-cita kesetaraan

Satu komando satu tuntutan
Terorganisir terpimpin dalam perjuangan
Inilah kabar dari jalanan
Ditulis saat turun hujan

Selamat hari HAM sedunia, lawan!


*******

Dante Che, 10/12/2011

Puisi Imajiner Buatmu!

Parasmu bersembunyi dalam bayangan
Dituntun penasaran,
kunyalakan suluh pencarian
Walau dalam kegelapan,
ku menangkap tersirat kegalauan,
yang terpolarisasi kegetiran,
sekaligus binar-binar kemarahan,
yang lama rapi tersimpan
Belum lama kita berkawan,
Masih banyak tantangan,
sekelumit hambatan,
aneka rintangan,
rinai-rinai kesulitan,
dalam goresan kehidupan
Bagaimana dengan Tuhan?
Seperti katamu, kita adalah boneka mainan
yang diaturnya bagai dalam pewayangan
Rintih cengengan,
air mata tangisan,
tak menyelesaikan persoalan
Bahkan pekik perlawanan,
gema teriakan,
atau arakan pergerakan,
pun bakal jadi sekedar bualan,
kalau tak dipraksiskan
Sampai nanti dalam perjumpaan,
perbincangan ini kan kita teruskan!


*******
Dante Che, 9/12/2011

Tukang Ngeledek!

Ini kukirimkan untukmu:Sajak akhiran -a,
seperti yang kau pinta
Random dalam alam maya,
kita bersua
Belum berjumpa,
tapi kita bagaikan sahabat lama
Sama-sama beratapkan terik Surabaya,
kita isi dengan obrolan ria
Menjemput impian hidup bahagia,
kau bertanya;
bagaimanakah caranya?
Bukannya mengelak atau tak bisa,
tapi aku belum menyelami yang kau jadikan asa
Aku akan menjawabnya kala kita bersua
Masih dalam proses menuju ke sana,
tergantungku sendiri batasannya,
begitulah kira-kira kau melanjutkan berkata-kata
Setiap keisenganku yang membuatmu marah atau merona,
bahkan hampir di setiap kuberkata-kata
kau membalasnya dalam ledekan gembira
Menyenangkan, walau tak sempat bertatap mata
Selamat melanjutkan kerjaannya,
kalau udah selesai bilang-bilang ya
Sekian dulu guratannya!


*******

Dante Che, 9/12/2011

Buat Kampung Halaman Kedua!

Masih kenalkah kau kepadaku?
Yang menantang padangmu kala hujan
dan petir menyambar
Yang menaklukan matahari tropismu
Kala terik siang menggelegak
Yang beradu jago merobohkan batangan pisangmu
Beramai-ramai dengan kepalan tinju kanak-kanak
Buat dipakai latihan renang di bendungan
buatan Orba.
Masih kenalkah kau kepadaku?
Lama kita tak berjumpa
Sejak kumenamatkan sekolah dasar
Telah 10 tahun kita tak bersua.
Kau bukan tanah kelahiranku
Bukan pula tanah warisan leluhurku
Tapi aku tumbuh kembang dari saripatimu
Kau sahabat masa kanak-kanakku
Masih kenalkah kau kepadaku?
Akupun rasa-rasanya tak bisa mengenali lagi
rupamu kini
Kau pasti tambah renta.
Aku hanya samar-samar mendengar kabarmu
Penguasa negeri telah berganti
Tapi tak ada yang berubah darimu
Kecuali makin banyak orang pandai dari rahimmu
Yang ramai-ramai terhegemoni
Menjual dan menggadaikan tanah serta harga diri
warisan leluhur mereka sendiri.
Mereka tak sedang beradu jago denganmu
Kau sedang diinjak-injak
Tak ada keriangan dan ketulusan kanak-kanak di sana.
Sebentar lagi aku pulang
Masih kenalkah kau kepadaku,
wahai kampung halaman keduaku? 


*******

Dante Che, 1/12/2011

Vesper Privat!

Pelan-pelan sang rembulan menampilkan romannya di kaki langit,
mengapit sandiwara yang diam dalam kesendirian,
mencari secuil makna di balik kemegahan mikrokosmos
yang mengapik indah di balik bukit-bukit suram
yang melanda seantero jagat
yang beku dalam tebaran kesunyian
yang tak henti-hentinya berceloteh.
Kutelusuri taman-taman indah
dengan hiasan bunga-bunga bermekaran
yang terus tersenyum dalam rekahan mahkota asmara
yang ranum menatapku.
Dari kejauhan,
kemegahan gereja tua itu terpancar abadi
dengan hiasan lilin-lilin kecil
yang mencipta estetika mungil
di balik paparan semu seantero insani.
Langkah demi langkah kuayun bebas tanpa rintangan
dengan irama sendu mengisi kesunyian
yang terlelap angkuh
hingga saat ku memasang wajah tersenyum ramah
di depan pintu sang kekasih abadi
yang terpampang dalam hiasan kaca dwiwarna di atas pintu.
Lalu, kutelusuri lorong tengah
menuju deretan bangku berkode nomor sekian
dan bersimpuh di hadapan sang kekasih jiwa
yang tersalib bisu sembari menatap wajahnya, dalam.
Tak ada doa, tak ada sakramen maha kudus di sana,
sepi, sunyi!

******* 

Dante Che, 30/11/2011

Cerita Ringan Tentang Berkhmawan

Semburat lembayung bukit sasa
rumah kaca kisah laskar berkhmawan
Malanuza sampai Mangulewa
Wogo hingga Dolupore
kabut abadi senantiasa membayangi

Ada kesunyian di tengah keramaian
kampung Toda dan Belu, syahdu
bercokol pula bukit wolo sasa
candradimuka laku tapa berkhmawan

Setapak langkah berjalan, tampak
membakar semangat menggalang cita, tapak
menjadikan berkhmawan kumbara iman, menapak
sampai kelak berkhmawan tetap berkhmawan, lapak

Jauh dari hingar bingar keramaian, syahdu
berkumpullah bocah-bocah polos, lugu
ada kisah senandung alunan hati, haru-biru
coba mengelak arus zaman, kalbu

Kisah tunas muda mencari identitas
belajar miskin dan bijaksana
menanti seteguk air dan segenggam nasi
 demi jasad diri dalam diary usang hidup ini

Tatkala gejolak kalbu mendamba kebebasan
dengan kerja dan doa penuh abdi
demi suci lahir batin
terpatri dalam hati
lembah sunyi Todabelu selalu abadi!

---Mawar putih mekar berseri, berselimut kabut di lembah, Todabelu jaya selamanya. Selamat memasuki masa Adventus buat para seminaris, alumni, dan umat Katholik di seluruh dunia! Immanuel, God Bless Us!---

******* 

Dante Che, 29/11/2011 

Kabar Sepekan

Ada jembatan raksasa rubuh di Kutai
di Freeport Papua ada tentara dari seberang negeri
di Cipanas ada perkawinan Andalas-Jawi
konon pertautan kebesaran sebelum era Samudera Pasai

Ada Occupy di berbagai belahan bumi
duduki! duduki! duduki!
tak peduli latar belakang ideologi
kanan ataupun kiri

99 % rakyat vs 1 % pemilik korporasi
bersukaria dan bernyanyi
bebas bawa tuntutan sendiri-sendiri
kuberharap itu bukan anarki

Di Batam, bermula dari tuntutan ekonomi
buruh bersatu menuntut kelayakan gaji
hingga akhirnya berkobar bara api
melawan, miskin, atau mati!

Bosan mendengar berbagai berita dari seluruh pelosok negeri
tentang kemiskinan dan ketimpangan yang makin menjadi-jadi
membuatku muak menonton televisi
dan memutuskan tak mau lagi membaca koran pagi

Kepulan uap air kopi
di kala merekahnya sang mentari
menjadi hambar tatkala dibentangkan data-data korupsi
membuat tak lagi nikmat legitnya roti

Tak boleh lagi menjadi bangsa kuli
mari bersatu dan berorganisasi
lawan dan robohkan borjuasi
rubah sistem dan gulingkan tirani!

*******
Dante Che, 27/11/2011

Kisah Seorang Dara (Puisi Fiksi)

Ini kisah tentang anak dara,
yang terlahir sebagai bara
selama hidup selalu diselimuti duka lara
setiap orang pun pasti kan iba

Usia muda kehilangan bapa,
sejak kanak-kanak tak punya saudara
ibu mengisi malam dengan gelora
serenade di ujung kota

Kini ia pun menjadi ibu,
suaminya tak mau tahu
hidup sang dara malah bertambah pilu
selalu digores luka sembilu

Bagai orang dungu,
ia selalu berusaha mencari guru
malah akhirnya dari pintu ke pintu
semuanya sekedar pemuas nafsu

Dengan bungkusan ingin belajar,
ia menjadi pribadi yang liar
tak bisa dikendalikan apalagi dikejar
semakin menggila kalau ditatar

Bagai matinya mercu suar,
ia tak sadar kalau telah mencemar
menghalangi anak-anaknya berpijar
dengan tingkahnya yang kurang ajar

Ia menjadi petualang,
mulai dari lelaki hidung belang
hingga yang hanya pembalut tulang
semuanya disapa sayang

Pipih-mimih, mamah-ayah, menjadi mudah dan gampang,
diucapkan pada lelaki yang ingin diajaknya terbang
konon, meniti langit meraih bintang-bintang
toh, akhirnya berbugil ria di hotel berbintang

Pelik berbagai macam penderitaan,
diseduhnya dalam berbagai ramuan
lalu bermimpi tentang kebebasan
kala masifnya penindasan

Genit, liar, dan murahan,
ia menikmatinya dalam rintihan
baginya senggama adalah tuhan
dan itu dikatakannya sebagai keindahan

Ia tak mengeluh,
walau kadang terdengar melenguh
dengan berkorban peluh
ia hadapi mulut-mulut mirip tukang teluh

Mulai dari yang setajam buluh,
hingga yang menjadi suluh
ia rela berbagai bagian tubuhnya disentuh
dijalaninya selingkuh demi selingkuh

Konon ia tengah menanti senja,
semoga ia segera menemukan bahagia
menikmati hakikinya sayang dan cinta
serta rukunnya keluarga

Kembali menjadi bara,
yang suka menarikan pena
menggoreskan kuas-kuas aksara
merangkai kata-kata! 

******* 

Dante Che, 23/11/2011

Kamis, 17 November 2011

Tanca, Kekasih Racun!

Pernahkah kau dengar kisah Tanca?
     Samar-samar pengetahuanku tentangnya.    
     Ada apa?

Menurutmu, apa artinya seorang Tanca di hadapan Trowulan? 
     Tak ada arti apa-apa, dia cuma seorang Rakrian.
Tentu, semua kawula kan berkata begitu, membenarkan.
     
     Oh ya, bukankah dia adalah kesayangan Jayanegara,
     sang maharaja?
Ya, itu berawal dari kisah penyembuhan penyakit misterius sang dara.
      
     Tentang Tanca, belum kau jawab pertanyaanku tadi?
Dia tabib terpandai di seluruh negeri.
Seluruh penyakit dapat dia obati.
     Itu telah kuketahui!
Satu lagi, baginya racun adalah kekasih hati.
    
     Hah, racun?
     Itu monster turun temurun,
     penyebab hidup berhenti mengalun.
Tak mempan padanya, walau muncul bejibun.
      
     Selanjutnya?
Naas baginya, dia mencintai kekasih para dewa,
diam-diam mengagumi dan memuja sang dara,
hingga akhirnya diketahui maharaja.
Dihadiahilah padanya sumpah serapah hina dina.

     Sungguh naas!
Iya, dan luka itu menimbulkan bekas.
Pembalasan kan dia retas,
karena dendam menuntut balas.
     Bukankah pada akhirnya para Rakrian berhasil ditebas?

Itu persoalan lain,
urusan Tanca bukan main-main.

     Dia ikut sang kakanda Kuti, kan?
Iya, dan sejarah menulisnya sebagai pemberontakan,
mereka menyebutnya sebagai perlawanan.
     Lalu, bagaimana dengan sang puteri kiriman khayangan,
     yang selalu ada dalam bayangan?
Bagaskara manjer kawuryan!
Itulah kirimannya untuk para pangeran,
disampaikan dengan gaya telik sandi dari kegelapan.

     Apa maksudnya?
Bahwasanya ada terang yang kan bercahaya,
selalulah berjaga-jaga.

     Dia mengkhianati Kuti?
Tidak! Dia sedang melindungi sang dewi,
pujaan hati.
Istana dan seisinya boleh hancur binasa oleh Kuti,
tapi sang dewi harus tetap berseri.
     Lho, bagaimana dengan dirinya sendiri?
     Bukankah pada akhirnya Kuti menolak berserah diri,
     kala tumbang panji-panji?
Jayanegara punya penyakit, sekarat hampir mati.
Tak ada satupun tabib yang mampu obati.
     Bagaimana mereka bisa percaya padanya, adiknya Kuti?
Dia disuruh meminum ramuannya sendiri.
Dilihat dia tak mati,
maka obatnya bisa dipercayai.

     Apa kandungan dari ramuannya?
Racun! Racun semuanya.
     Racun yang membantunya membalaskan dendamnya?
Racun, ya.
     Luar biasa!
     Monster turun temurun justru jadi media, 
     memenuhi asa.
Berbagi dan bersisianlah bersama racun, senantiasa.
Belajarlah dari Tanca!

*******

DC, 17/11/2011

Padi dan Ular Sawah!

Ini kukisahkan kehidupan sawah di pelosok negeri,
bagaimana kubisa tahu rahasia para petani
Perihal jalak yang rajin menemui kerbau,
dan pipit yang selalu riuh berkicau
Kuda yang bersahabat dengan anjing,
hidup pula lintah, jangkrik, dan kalajengking

Di awal, api membakar menyisakan unsur-unsur hara,
dan petani bersiap saat musim penghujan kan tiba
Di atas tanah yang kan diluku, dibajak
air kan diupayakan dalam jumlah banyak
Dan di kala rumput-rumput kan disiang,
anginlah yang kan meniup padi berkembang

Itu berlangsung 3 bulan lamanya setiap tahun,
Karena petani telah bersahabat dengan alam turun temurun

Tapi, hanya petani yang tahu rahasia ketika panen tiba,
itulah saatnya padi berpisah dengan kekasih hatinya
Padi diangkut pulang dengan tatapan syahdu ular sawah,
hendak ditahannya tapi tak bisa, namun dia tak kalah
Itulah sebabnya, ular sawah disayangi petani
setia menjaga sejak kemarau hingga musim semi

Kisah kasih padi dan ular menghasilkan karbohidrat,
singkat waktu bersua, tapi tahukah kalau mereka telah bersepakat
Walau cuma bakal bersama 3 bulan,
mereka kan selalu kembali bersua di awal musim penghujan
Memang tak ada yang peduli dengan itu,
tapi itu membuatku teringat sesuatu

*******

DC, 16/11/2011

Buat Sahabat Sejati dan Tuhan! (Imajinasi Menulis Iseng)

Sudah seminggu ini, aku mendadak rutin ke Gua Maria, setiap malam menjelang dini hari. Bukan untuk memperoleh kesucian diri, bukan! Apalagi, waktu-waktu sebelumnya hampir-hampir tak pernah ke sana, selain hari Minggu.
Aku lahir dari keluarga Katholik taat, dan tumbuh di tengah lingkungan Katholik yang kental, di pulau Flores, pulau yang mendapat julukan tak resmi sebagai "Vatikan Kedua", karena populasi Katholiknya yang hampir 100 % dan pencetak biarawan/i terbesar di dunia.

Pendidikan dasar kumulai dari sekolah dasar Katholik, walau akhirnya harus diselesaikan di sekolah dasar inpres. Pendidikan menengah pertama dan menengah atas pun kuhabiskan di seminari menengah, sebuah kawah  candradimuka, persemaian calon-calon Imam/Pastor yang siap diutus sebagai Misionaris ke segala penjuru dunia. Sejak usia 11-16 tahun, ku merelakan diri "dikarantina" di salah satu sekolah paling prestisius di Propinsi Nusa Tenggara Timur ini. Setahun hanya diberi 2 kali kesempatan bertemu dengan keluarga. Digembleng mandiri dan taat beragama. Hingga kini, aku tak yakin, apakah aku taat beragama atau tidak. Rutinitasku ke Gereja semata-mata mencari keheningan dan bertemu dengan sesama. Baru sesederhana itu kucoba terjemahkan bejibun dogma tentang agama dan Gereja.

Bermodalkan pengalaman itu, pada usia 17 tahun, aku memutuskan datang ke tanah Jawa. Aku memilih Surabaya, kota idolaku sejak aku mulai dengar kisah sejarah bangsa. Sejak zaman purba, penjajahan, dan zaman bergerak; Surabaya selalu menawarkan tantangan dan senantiasa menyuguhkan kisah-kisah kepahlawanan. Aku datang dengan cita-cita tinggi, sangat tinggi untuk ukuran pemuda pelosok negeri, sepertiku. Tak tanggung-tanggung, aku ingin menjadi pengacara beken sekaligus dosen. Karena keduanya bakal membuatku tetap menjadi manusia bebas, tanpa tersandera berbagai kepentingan pragmatis pihak lain. Yah, hidup harus punya-punya cita, agar tak mudah terseret-seret arus kehidupan. Kira-kira begitulah nasihat sahabat terbaikku sejak kecil, yang tak lain adalah Opa-ku.

Perihal cita-cita, untuk diketahui, pada tahun 1999, tepatnya tanggal 17 april, kalender di rumahku menampilkan kata-kata mutiara dari Bung Karno, "Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit". Itu hari ulang tahunku, dan kata-kata itu membekas dalam diriku hingga ku beranjak menjadi pemuda. Ketika membaca kata-kata itu, dengan keluguan seorang anak kecil, aku sontak mengatakan ingin menjadi seorang Uskup. Karena beberapa waktu sebelumnya, Mgr. Donatus Djagom SVD, Uskup keuskupan Agung Ende berkunjung ke paroki tempat kami tinggal, Paroki Hati Yesus Hati Maria Boanio. Aku melihat, semua umat juga pastor-pastor mencium tangannya dengan penuh hormat dan bangga. Kepolosan seorang anak kecil merekamnya.

Kala itu krisis ekonomi baru melanda seluruh pelosok negeri, perekonomian keluarga makin mebaik. Ibuku menanggapi cita-citaku dengan nada guyon ketika itu, "Kalau kau jadi Uskup, Wololele(bukan gunung berapi) bisa meletus". (Di kemudian hari, ketika aku berhasil menjadi seminaris, aku mengingatkan kembali mereka semua akan obrolan lama ini. Walau mungkin tak jadi Usup, tapi paling tidak, aku pernah berada di jalurnya). Tapi Ayahku yang selalu optimis dan tenang di segala situasi itu mengatakan bahwa tak ada yang tak mungkin. "Di atas langit masih ada langit, yang penting rajin belajar, pasti bisa lolos masuk seminari nanti". Ya, selain biayanya yang mahal, seminari dengan ketat "menuntut" kecerdasan dan budi yang perfect.

Kalau "hanya" sekedar urusan membaca dan menulis, menurutku, aku kayaknya tak kalah dengan anak-anak yang lain. Sejak usia 5 tahun, aku sudah bisa menuliskan huruf tali, dilatih oleh Ibuku yang dengan sabar mengulang-ulang 2 kata yang menjadi mantera belajar huruf tali, "naik halus turun kasar, naik halus turun kasar, dst". Di usia 5 tahun itu pula, aku sudah mulai bisa membaca dan mempersoalkan huruf "ɑ" yang sering kutulis, berbeda dengan huruf "a" yang ada di koran-koran atau buku-buku. Usia 6 tahun aku telah mempunyai New Testament sendiri, walau masih berbentuk Kitab Suci Anak-Anak, dan di usia 7 tahun aku telah berlangganan "Kunang-Kunang", majalah anak-anak yang sangat terkenal di daratan pulau Flores (mungkin juga NTT) ketika itu. Namun, itu semua tak serta merta membuatku menjadi taat beragama atau sangat beriman.

Hamparan latar belakang di atas, bukanlah faktor yang membuatku rajin ke Gua maria yang sudah berlangsung seminggu ini. Aku bahkan, tak jarang, sering menyangsikan adanya Tuhan. Aku selalu yakin dengan diriku sendiri, pada pikiranku sendiri. Tak pernah mau terlihat lemah di hadapan siapapun. Hingga sampailah akhir Oktober kemarin, Opa-ku yang adalah sahabat terbaikku sejak kecil itu, pergi menghadap sang khalik, pergi dari dunia bersatu dengan alam semesta. Aku tak bisa datang ke pemakamannya, dan sungguh menyisakan kegetiran yang luar biasa. Aku sungguh merasa kehilangan.

Akan tetapi, belum selesai kubereskan puing-puing kesedihan, datang sahabat sejati berharap memohon pamit. Itu sungguh tak menyenangkan, dan sangat menguras energi. Aku lelah, lelah, selelah-lelahnya. Bahkan mungkin juga sakit jiwa, karena beberapa kali hampir membulatkan tekad mengakhiri hidup ini. Sesuatu yang sangat dilarang dan dikatakan dosa besar, begitulah rekaman dogma yang masih terekam. Tetapi aku tak peduli dengan larangan ataupun dosa, sama sekali tak peduli. Kegelisahanku hanyalah bahwa aku belum lama hidup, belum pula menerjemahkan berbagai "cetak biru" di otakku ke dalam sesuatu yang nyata.

"Aku ingin pulang, aku lelah", begitu kataku pada Ibu-Bapak. Gurat-gurat ketuaan menyimpan kebijaksaan di sana atau mungkin mereka sudah rindu karena telah sekian tahun aku belum kembali, mereka dengan tenang menyanggupi permintaanku. Diceklah harga ticket pesawat Surabaya-Kupang-Ende, kurang lebih sekitar satu juta empat ratusan. Tetapi aku menjadi ragu untuk pulang, karena memang tak ada keperluan. Lagipula, harga ticket itu bisa kupakai buat beli HP BB, bukan? Begitulah, kala konsumtif, matematis, dan narsis bergumul. Ntahlah, mula-mula Jack Daniels, Vodka, dan jenis alkoholic lainnya yang dipakai tuk coba menemani malam-malamku. Lama kelamaan, itu tak mempan. Kegelisahan tetap menyergapku. Kala mengobati rasa rindu pada sahabat sejati, tak sengaja kulihat foto Gua Maria di folder HP-ku, yang pernah kurekam.

Jadilah rutinitasku kini, setiap malam menjelang dini hari, aku sendirian bersama patung Maria dan St. Antonius dari Padua, ditemani api lilin yang bercinta dengan angin malam. Biasanya tak lama aku berdoa, (mungkin) pula tak berdoa. Karena kala berdoa, selalu merasa ditelanjangi Tuhan. Toh, setiap apa yang ingin atau akan kita katakan telah diketahui semua oleh-Nya. Lalu, untuk apa kita ucapkan lagi, -memenuhi kewajiban sebagai wayang agar sesuai dengan naskah sutradara kah? Aku membutuhkan dialog, bukan hanya sekedar ucapan syukur dan permohonan yang keluar dari mulutku dan didengar sendiri oleh telingaku.

Namun, tak ada yang berdialog denganku di sana. Atau mungkin, hati dan pikiranku terlalu kafir dan tak pantas merasakan kehadiran atau mendengar suara dalam keheningan, karena sejauh yang kudengar, cuma gemericik air jualah yang bersuara. Engkau tak hadir di Gua, mungkinkah Tuhan sedang bersembunyi di facebook, menggunakan akun palsu dan berteman denganku, - maka bacalah pesanku ini Tuhan; 
"Aku lelah Tuhan. Kau telah ambil satu sahabat terbaikku tuk berpulang ke hadiratmu. Kini kembalikanlah sahabat sejatiku, jangan buat apinya padam atau ambillah nyawaku!"

******* 


Dante Che, 16/11/2011

Angin Pada Api!

Kau adalah api
Baramu terhempas tersembunyi
di kedalaman kerak bumi

Tersungkur, terjungkal kau mencari
Hingga lupa kalau ada matahari,
yang setia tegak berdiri,
Sejak pagi hingga senja hari

Ada tanya dalam diri
Matahari yang membuatmu jadi,
ataukah engkau pengkokoh sang mentari

Hingga sampailah pada awal musim itu,
masa awal januari

***

Aku adalah angin kecil, bayu
Mega-mega di angkasa adalah sahabatku
Kalau besar dan tak terkendali, bisa mencemarkan segala sesuatu

Tapi bukan itu yang kutuju
Aku belajar mengepalkan tinju

Ketika aku bertemu kau,
kala itu,
Baramu hampir menjadi abu

Sepoi-seoi ku meniupmu
Perlahan-lahan merah baramu
Menghajar gosong abumu

***

Lalu kita sadar tentang kekuatan kita
Angin kecil dan api yang masih sebesar bara
Kelak bisa menantang keangkuhan langit, suatu ketika

Kembali mendudukan matahari sebagai pusat tata surya
dan bumi sebagai habitat segala makhluk sebagaimana sedia kala

***

Kita memandangi laut lepas
Di sinilah bumi dan langit tak berbatas
Melalui laut, jalan kita retas

Laut dingin dan luas
Aku meniupmu agar tetap panas
dan kau membuatku tak kedinginan lemas

Kita menjalaninya dengan kasih yang saling berbalas
Tak ada kepalsuan, tulus ikhlas
Bulat tekad, kebatilan kan kita tebas

***

Kita telah melihat langit, angkuh nian
Kini pasir pantai mencium sampan
Kayuhmu telah menjadi patahan

Yang menjadi saksi arus laut, penumbuh kehidupan
di atasnya kita menimba pengalaman
kita sudah petik banyak pelajaran

***

Kini, kita memang harus turun
di bumilah kekuatan kan dihimpun

***

Gunung yang kekar,
yang pernah menghempaskanmu ke bumi luar
Kini mungkin memandangmu nanar
Baramu, kini telah mulai berpijar

Aku-pun bukan lagi angin kecil yang mencemar
Beberapa kali kau tatar,
aku telah banyak belajar
Aku kini makin besar

Tapi tanpa alasan, kau berniat membuatku liar
Kau mengusirku dengan gencar
Kau menganggapku hanya pantas di semak belukar
Traumamu pada bumi, seolah membuatmu lupa avatar

***

Tanpamu, aku bakal pelan-pelan terkulai
Tanpaku, baramu-pun bakal mati
Persekongkolan kita harus tetap berseri
Persekutuan kita harus punya rasa percaya diri

Ini bukan hanya sekedar kesetian pada janji,
atau pemaksaan kehendak diri,
tapi masa depan dan harga diri
Angin dan Api di bumi

***

Buatmu Api,
dari Angin yang selalu menanti!

***


DC, 15/11/2011

Pemahat, Paris, dan Arok (Sumbangan Buat Diriku)

Seingatku, di Seminari Menengah dahulu, aku pernah meminjam buku Existensial Metaphsychiatry  karya Thomas Hora di perpustakaan Seminari St. Yohanes Berchmans Todabelu-Mataloko, tempatku menempuh study, untuk mengerjakan tugas bulanan yang diwajibkan Romo Prefek (Bapa Asrama di Seminari Menengah), Romo Benedictus Lalo, Pr. Tugasnya adalah meringkas minimal 5 buku setiap bulan.

Salah satu cerita yang kuingat dari buku itu, Hora menulis tentang seorang pemahat yang bekerja keras dengan palu di tangan, menggarap sebongkah batu marmer yang sangat besar. Seorang anak kecil berdiri di dekatnya sambil melihatnya bekerja. Sang anak tak melihat apapun selain pecahan-pecahan batu marmer yang meloncat ke kiri dan ke kanan. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Beberapa minggu kemudian, ketika sang anak kembali ke tempat yang sama, ia terkejut, karena melihat patung seekor singa duduk di tempat yang dulunya ia melihat sebongkah marmer. Dengan rasa penuh keheranan, anak itu berlari menemui pemahat itu, dan bertanya, “Bapak, bagaimana mungkin bapak tahu bahwa di dalam bongkahan marmer itu ada singa?”

Demikianlah, seni memahat adalah seni melihat. Dalam sebongkah marmer, seorang Mikhael Angelo melihat seorang ibu yang dengan penuh kasih (sayang) memangku puteranya yang sudah tak bernyawa. Muncullah patung Pieta yang terkenal itu. Kemampuan seni adalah kemampuan melihat, dan praksis adalah jalan untuk memperlihatkan yang dilihat itu.

Akulah sang anak dalam kisah itu. Aku suka mengagumi kisah-kisah hebat dari para pendahulu, mulai dari Dante Alighieri, Cicero,  dan Lenin dari Eropa, Che Guevara dari Amerika (Latin), Nelson Mandela dari Afrika, serta Gandhi dan Soekarno dari Asia, dan masih banyak lagi orang-orang hebat yang kukagumi dan berulang-ulang kutelusuri hidupnya. Mereka adalah “pemahat-pemahat” di masanya. Mata mereka mampu melihat rintangan, kesulitan, maupun krisis sebagai hamparan peluang, sebagai titik lompatan menuju suatu bentuk yang lebih baik, lebih maju.

Dari kisah hidup mereka, seringkali heroisme-pun melandaku. Perpustakaan Seminari Menengah  tempatku belajar, adalah salah satu perpustakaan terbesar di propinsi Nusa Tenggara Timur. Aku lahap semua kisah mitologi,  epos-epos kuno, para penyair, hingga novel-novel cinta, di samping bacaan favoritku tentang kisah-kisah detektif, dan berbagai macam bacaan-bacaan lain yang disediakan perpustakaan itu.

Hingga kini, kisah yang paling membekas dalam diriku adalah kisah Troy. Dengan tokoh utama Paris. Hampir semua orang mengagumi sang pemberani, Achiles, putera Testis yang terkenal kebal itu, karena dimandikan di air ajaib pada masa kecilnya. Paris sendiri lahir sebagai putera raja, yang dititahkan harus dibuang (dibunuh) pada masa bayi karena diramalkan bakal membawa bencana. Dewa-dewa menghendaki lain, Paris tetap hidup, tumbuh-kembang di tengah hutan bersama binatang-binatang, alam raya adalah sahabatnya, sekaligus gurunya.

Pada suatu ketika, Juno, Minerva, dan Venus bertengkar tentang siapakah yang paling cantik di antara dewi-dewi Olympus. Lalu mereka bersepakat memberikan apel emas pada Paris, untuk menjadi juri penentuan dewi tercantik. Juno mengiminginya bakal menjadi manusia paling berkuasa di kaki Olympus, Minerva memberinya rayuan bakal menjadi manusia paling bijaksana, dan Venus menjanjikannya bakal memperisteri seorang wanita tercantik di dunia. Paris-pun memberikan apel emas itu pada Venus.

Matanya mungkin tak secemerlang para “pemahat” di atas, atau mungkin kekuatan dan kebijaksanaan telah ada padanya hingga ia berani memihak pada sang dewi cinta itu, yang artinya membangkitkan kemarahan Minerva dan Juno. Tetapi, pelajaran yang bisa dipetik adalah keteguhan hati dan konsistensi menjalani pilihannya dengan berani dan sadar, yang membuatku menjadikan Paris sebagai pahlawan masa remajaku. Ia berani membebaskan dan membawa Helena keluar dari kungkungan Menelaus, walaupun ia tahu Menelaus lebih kuat darinya, yang dilindungi Minerva dan Juno. Ia berani membayar dan menantang konsekuensi dari sebuah pilihan hidup.

Di akhir-akhir masa sekolahku di Seminari Menengah, secara samar-samar, aku membaca Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Arok seolah-olah memadukan Minerva, Juno, dan Venus dalam dirinya. Imajinasiku membayangkan keberanian dan kekeraskepalaan Paris berpadu dengan kecerdasan dan kecerdikan Arok yang luar biasa, maka Paris akan menjadikan Agamemnon sebagai Belakangka, Odiseus sebagai Gandring, Achiles sebagai Kebo Ijo, dan memperkuat Hector sebagai Tanca baginya, membangun dan menumbuhkembangkan kisah cintanya bersama Helena, sebagaimana Arok bersekutu dengan Dedes. Tetapi Paris lebih adil, tak seperti Arok yang menduakan Umang dan Dedes,  yang tanpa sadar justru membangun basis-basis kehancuran anak cucu di masa depan.

Akulah anak kecil dalam kisah itu. Kali ini aku tak lagi terheran-heran atau termenung-menung. Aku telah mempunyai rencana, akan menggoreskan kisah. Menjadi Paris yang memadukan Minerva, Juno, dan Venus dengan kecerdasan dan kecerdikan seperti Arok, dan hidup dalam kejernian memandang bagai sang Pemahat.


---Dante Che, 14/11/2011