Dini hari menjelang subuh, ada yang mengendap datang. Di halaman,
gerbang tak terkunci. Suasana hening sepi, pertanda para penghuninya
sedang dibuai mimpi dalam lelap tidur. Keadaan yang damai dan tenang
seperti itu, rupanya menggoda insan yang lewat untuk mendongakkan kepala
melihat-lihat keadaan di dalam, sekedar iseng-iseng mengamati atau
bahkan untuk maksud-maksud tertentu yang lebih khusus dan serius.
Itulah
yang terjadi pada pagi hari 19 Mei itu. Dewo Dawo, seorang anak
kost-kostan yang sedang dalam kesulitan keuangan, mencoba bermusafir ria
dari satu ke lain tongkrongan, mencari sedikit pengganjal perut dari
kawan-kawan yang mungkin berbaik hati membagi rejeki.
Sampailah
ia di depan kostnya Etus Atus, kawan sefakultasnya yang berasal dari
kepulauan Sunda Kecil. Gerbang kost yang tak terkunci, suasanan kompleks
yang tenang, dan keadaan kost yang sepi, memudahkan Dewo Dawo untuk
dengan bebas mendatangi kamar kawannya di lantai dua. Tekadnya sudah
bulat. Ia akan berpura-pura datang berkunjung atau meminjam buku,
kemudian meminjam uang.
Sesampainya di depan kamar Etus,
didapatinya kamar dalam keadaan terbuka.Etus sendiri telah lelap
tertidur dengan sebuah buku tebal masih terhampar terbuka di hadapannya.
Kamar tampak rapi, walau beberapa buku, baju, dan gelas bekas minum teh
tampak belum dibereskan. Mungkin Etus ketiduran, begitulah Dewo mencoba
menerka-nerka. Di samping bantal pembaringan, tepat di depan pintu,
dilihatnya ada tiga buah handphone teronggok pasrah.
Rasa
lapar yang membuncah, mendorongnya untuk segera membangunkan Etus dari
nikmatnya lelapan. Akan tetapi, sejurus kemudian, ia tampak ragu.
Mendadak pikiran liarnya bergemuruh, menghujam nurani mengobrak-abrik
logika. Kesempatan emas yang terbentang telah melahirkan ide brilian
mengatasi krisis yang dialaminya.
Diredamnya teriakan rasa
bersalah dalam dirinya, disingkirkannya sentimen kesetiakawanan. Segera
dengan gesit ia mengambil dua dari tiga handphone tersebut, yang
dianggapnya paling gres, dan dengan gesit pula segera meninggalkan kamar
dan kost kawannya tersebut. Semuanya berlangsung cepat, dan keadaan
tetap hening sepi, tenang dan damai.
Segera Dewo Dawo
menjualnya pada orang yang mampu menebusnya, berapapun harganya. Ia
membutuhkan uang dalam waktu cepat. Malam nanti ada pertandingan final
Liga Champions antara Bayern Muenchen vs Chelsea. Walau bukan penggemar
fanatik sepakbola, ia juga butuh dana untuk terlibat dalam euforia masal
ini.
Satu dua hari berjalan setelah kejadian tersebut,
Dewo Dawo tak melihat adanya tanda-tanda adanya respon di kalangan
kawan-kawannya atas kehilangan handphone yang dialami oleh Etus Atus.
Kawan-kawannya pun tampak tenang-tenang saja, sambil menduga
jangan-jangan kedua handphone tersebut justru dijual oleh Etus Atus
sendiri.
Dengan demikian, Dewo Dawo merasa aman. Tak ada
yang mengetahui perbuatannya. Itu telah menjadi rahasia dalam penggalan
sejarah. Apalagi dilihatnya Etus Atus tampak bersikap baik-baik dan
wajar sebagaimana biasa kepadanya.
Dalam kegelapan
aksinya, ia lupa pada bumi tempatnya berpijak, pada langit yang
diterangi rembulan tempatnya bernaung, menjadi saksi, juga dalam keadaan
hening sepi, tenang, dan damai. Akan selalu ada mata yang memandang,
mengamati segala gerak-gerik tingkah laku setiap makhluk. Baik yang
hanya iseng-iseng ataupun yang punya maksud khusus dan serius.
Mendengar
penuturan dari semua saksi mata maupun sukma, Etus Atus tampak tenang
dan tak terburu-buru meresponnya. Ia tahu bahwa handphone-nya telah
dijual, tapi sim card masih disimpan oleh Dewo Dawo. Rupanya kawannya
Dewo Dawo itu tak tega untuk membuang sim card tersebut, dan masih
mencari-cari peluang untuk mengembalikan sim card tersebut.
Etus
hanya berharap bahwa tak perlu mengganti rugi handphone tersebut, tapi
segeralah kembalikan sim card-nya, karena ia sangat membutuhkan.
Selebihnya, biar bagaimanapun, mereka tetaplah kawan.
*******
Dante Che, 31 / 05 / 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar