Sabtu, 09 Februari 2013

Belum Ada Judul


Pagi dini hari, 1 januari 2013, pukul 03.00 pagi. Dunia larut dalam euforia pergantian tahun, berbagai resolusi yang disusun ditumpahkan dalam ledakan kembang api dan panasnya perapian pemanggang ikan yang dibeli dari daerah Pabean. Dipadu dengan arak dari daerah Tuban. Sukacita global yang dinikmati ala lokal. Duduk melingkar beralaskan tanah beratapkan langit.

"Sejarah adalah gerak melingkar maju. Ibarat sebuah titik pada ban, dia akan berulang bergerak dari atas ke bawah ke samping dan seterusnya, kemanapun seturut putaran ban melaju", Erwin yang tampaknya sudah agak oleng tiba-tiba berfilosofis membuka bahan obrolan, mungkin terinspirasi dari ember ikan dan botol-botol yang terguling terkena ayunan kakinya.

"Ah, apakah si Jemblung yang jago panggang ikan ini, suatu saat bisa jadi presiden?", Sekar menyela sekenanya mengalihkan pembicaraan, membuat Erwin mendelik. "Paman Ho alias Ho Chi Minh sebelum menjadi presiden revolusioner karismatis Vietnam, dahulunya adalah juga seorang tukang masak seperti Jemblung ini. Hahaha".

"Ngeledek sekali lagi, aku ga mau panggang lagi ikan-ikan ini lho".

"Bagiku, sejarah itu seperti lampu spion pada kendaraan men. Kita bebas zig-zag atau ugal-ugalan di jalan, tapi kita tetap butuh spion untuk lihat kendaraan lain di belakang kita", sela Mbah pada Erwin, agar si Jemblung tak memperpanjang polemiknya.

"Think globaly, drink localy". "Ngomong tok, mending ngombe ae, ojok abot-abot"(omong tok, mending minum saja, jangan rumit-rumit), Ratna dan Sekar cerocos protes bersamaan, kesal karena topiknya terlalu berat.

Langit Dukuh Kupang diselimuti awan tebal, pendaran kilatan cahaya kembang api ciptakan semburat jingga. Aku sendiri terdiam menyaksikan serunya orang-orang ini berdebat khas Suroboyoan. Baru seminggu kukenal, karena baru seminggu pula kutempati kost-kostan di gang ini.

"Jancok, arek-arek iki gateli. Ga keren blas", seseorang yang kulupa namanya menyela, tampaknya dia tertarik dengan obrolan berat yang sedang berjalan.

Arak Tuban telah ludes, si Jemblung datang lagi dengan Cukri, minuman khas kota ini. Minuman yang membuatku berancang-ancang akan pamit. Tapi, diamku ternyata tak membuatku beruntung, karena mereka menahanku. Pepatah, diam itu emas, tampaknya kadang-kadang tak menguntungkan.

"Sejarah menurutmu bagaimana bung Juan?" Erwin bertanya padaku.

Erwin ini konon kabarnya, mahasiswa yang aktif di gerakan mahasiswa kampusnya. Juan adalah panggilanku sehari-hari di gang ini, setidaknya selama seminggu ini.

"Sejarah itu tergantung bagaiamana masyarakah menerimanya", kucoba pragmatis-diplomatis agar tak berlama-lama.

"Wah, jeru iki" (wah dalam nih), Erwin mencoba mengembangkan percakapan.

"Kami, khususnya saya kurang paham, bisa dijelaskan lebih lanjut?" Mbah memancing.

Sialan, batinku dalam hati. Kuakui juga duet keduanya bagai duo Che-Castro muda yang sedang panas-panasnya belajar agitasi propoganda. Hahaha.

Akhirnya kuteruskan, "tergantung masyarakat atau massa menerimanya. Kalau mereka menerima kisah Arak Tuban, jadilah sejarah Arak Tuban, sebaliknya kalau mereka menerima kisah Cukri, jadilah sejarah Cukri. Begitulah sejarah, tergantung siapa yang membuatnya dan bagaimana orang menerimanya".

"Hahaha, jadi bung mau bilang kalau bung tidak suka Cukri, dan sekarang mau pamit?"

"Hahaha, kurang lebih begitulah"

"Oke, sampai ketemu besok. Hahaha"


*******

Kala perusahaan-perusahaan kartu selular gencar mengeksploitasi euforia pergantian tahun para kawula, ku pernah dengan sedikit kesal menulis, "siang malam hanyalah rotasi bulan pada bumi, dan pergantian tahun adalah revolusi bumi pada matahari. Dan itu selalu berulang membentuk siklus, mengiringi sang waktu". Jadi tak perlulah terlalu ribet dibuatnya. Seperti kata Pramoedya, "hidup itu sederhana, yang rumit hanya tafsiran-tafsirannya saja".

Atau seperti yang Ragil Nugroho tulis, "sejarah resmi menulis tentang gejala, tak menulis tentang sebab. Sejarah resmi akan mengisahkan seorang tokoh atau pahlawan dengan seabrek kebajikan, sembari mengabaikan peranan massa kolektif  dan orang-orang pinggiran. Karena yang dilihat adalah gejala, bukan sebab, maka ketika seorang penipu ditipu, si penipu akan berada pada posisi sebagai korban atau bahkan pahlawan. Sebuah generasi akan menciptakan pahlawannya sendiri sebagai icon angkatannya, sebagai pembasuh dosa segala kebobrokannya. Publik dan era demi era menerimanya sebagai kebenaran".

Sampai di sini, ku-teringat seorang teman tukang ciu asal Maumere yang sangat mengagumi Pablo Escobar dan Che Guevara, karena keeksentrikan dan keeksotisan keduanya. Dia selalu antusias kala Don Pablo atau El Che kusebut-sebut.

USA membangun image buruk tentang Don Pablo sebagai seorang pemimpin kartel Narkoba dan obat-obat terlarang lainnya. Slogan Don Pablo pada saingan-saingannya, " Plata o plomo" (perak atau suap) gencar dikampanyekan AS sebagai sebuah hal yang buruk dan pantas dihancurkan. Sehingga publik internasional merasa sah-sah saja kala Kartel Medellin dan dirinya dihabiskan oleh USA. Tapi berbeda dengan masyarakat kota kelahirannya. Bagi mereka, Don Pablo adalah santo, malaikat, ataupun pahlawan. Hal itu terbukti tak kurang dari 25.000 orang mengantarkannya ke pemakaman, berebut untuk membawa petinya, atau guratan abadi hingga kini Amando Pablo Odiando Escobar.

Publik internasional pun lupa atau seolah tak tahu, selepas Don Pablo masih ada kartel Cali dan perusahaan-perusahaan farmasi USA yang melanjutkan kegiatan ala Don Pablo.

Sebaliknya, USA tak mampu membangun image buruk tentang El Che. Pesonanya terlalu kuat dan besar. Tapi USA memang selalu panjang akal dan tampaknya tak pernah hilang akal. El Che dikapitalisasi. Spirit dan ideologi kiri anti kemapanannya pun hilang tergerus. El Che pun tenggelam dan hanya selesai pada level tattoo, poster, sticker, pernak-pernik, atau kata-kata heroiknya, dll.

Sejarah memang tergantung siapa yang membuat dan bagaimana masyarakat menerimanya. Itu sebenarnya kata-kata milik Yang Du Hee dari film Fugitive: Plan B yang sering kunonton jam 03.00 dini hari di Indosiar. 

*******

Bagi siapapun sekalian yang suka  pada hal-hal yang berbau teori konspirasi, pasti sangat yakin kalau setiap sejarah modern yang terjadi di berbagai belahan bumi saat ini, di baliknya pasti ada Israel atau Mossad. Setidak-tidaknya, itulah yang saya dengar dalam berbagai obrolan kalau sudah bersentuhan dengan isu-isu konflik jalur Gaza saat ini.  

Mossad dikisahkan begitu saktinya, mirip kisah dalam film Wanted yang dibintangi Angelina Jolie. Apa saja yang kemudian terjadi telah diatur sedemikian rupa oleh invisible hand, meminjam istilahnya Adam Smith.

Kisah-kisah teori konspirasi itu sesungguhnya membuat kita terlena dan terlelap dalam alam ketidak-kritisan. Kita menjadi cepat mengambil konklusi dengan metode suudzon alias tanpa bukti, bertindak tanpa strategi dan taktik, menjalani proses dalam limbung hingga mudah terbawa ke sana kemari dalam alam advonturisme.

Seperti halnya publik yang sah-sah saja kala Don Pablo atau El Che ditembak mati, atau yang oke-oke saja kala disodori Cukri.

Tak ubahnya remaja-remaja ababil-labil yang mudah disihir demam K-Pop atau yang memposting status-status galau saban hari di jejaring sosial.

"Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan klas", begitulah kata-kata awal Marx dalam Manifesto Komunisnya. Klas tertindas tidak akan memperoleh haknya kalau tak berjuang. Atau seperti kata kaum agamawan, "Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum tersebut tak berusaha".

Sejarah ditulis oleh pemenang, dan tentu saja tak mewakili keseluruhan dan kebenaran ceritanya.

Euforia Natal dan tahun baru masih menjalar, renungan-renungannya masih belum lekang dari ingatan. Tulisan tanpa judul ini sebenarnya ingin diperpanjang ke hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini di negara dan lingkungan terdekat kita. Akan tetapi berita kebakaran ruang arsip gedung Kemenkumham membuat buyar ingatan kasus-kasus awal tahun tentang perang saudara di Syuriah tak kunjung berakhir, penembakan brutal di USA dalam sebulan, pemerkosaan sadis di India, kasus sodomi di Gresik, tabrakan sang anak menteri, kekerasan seksual berujung kematian anak perempuan pemulung di Jakarta, rumah sakit yang dijadikan sebagai tempat syuting sinetron, dll.

Tampaknya benar apa yang ditulis oleh AS Laksana, "inilah seni menjadi bodoh". Orang-orang bodoh yang menjadi penguasa, mengajak kita untuk ikut menjadi bodoh. Suatu kebodohan yang menjadi seni, dan luas diterima masyarakat.

Yang Du Hee, si pemimpin mafia itu tidak bodoh, tapi kata-katanya diterima luas oleh orang-orang bodoh.

*******

Dante Che, 07 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar