Rabu, 21 Maret 2012

Cerpen Tanpa Dialog

Pengunjung mulai tampak penuh ketika Juan dan Evita memasuki kafe ini. Kafe bernama X-tra Large. Nama yang mirip dengan brand sebuah kartu seluler yang sedang tren, kartu seluler tersebut yang juga kebetulan menjadi media berkomunikasi Juan dan Evita hingga akhirnya janjian untuk bertemu di kafe yang terletak di pinggiran kota yang cukup panas ini. Kota yang beberapa waktu lalu baru saja menghentakkan pentas nasional dengan menampilkan kecerdasan dan kreatifitas anak-anak SMK dalam membuat mobil.Yang entah kenapa pula, ditolak sebagai mobil nasional dan tak bisa diproduksi massal.


Juan dan Evita yang ini tentu saja bukan Juan dan Evita Peron, pasangan beken dari Argentina, negara favorit mereka setelah Indonesia, karena trinitasnya; Evita, Maradona, dan Che Guevara. Juan dan Evita Peron yang legendaris itu, kini tinggalah menjadi legenda yang dikenang sebagai pemimpin yang membela kepentingan rakyat marginal, yang berkuasa pada dekade 1940-an sampai 1970-an. Juan dan Evita Peron tentu saja adalah idola mereka, tepatnya sejak mereka duduk di kelas 1 SD, medio tahun 1996. Tahun di mana film Evita yang dibintangi Madonna, Antonio Banderas, dan Jonathan Pryce laku keras di pasaran. Walau kini Argentina telah memiliki pasangan baru dan menjadi pemimpin yang membela kepentingan rakyat dalam diri Nestor dan Christina Kirchner, tetap saja pesona Juan dan Evita Peron tak lekang dari keduanya.

Juan dan Evita bersama melewati masa kanak-kanak mereka di daerah Dukuh Kupang, Surabaya Selatan. Kala itu, Dukuh Kupang belumlah seramai dan sepadat sekarang, yang kini diapiti oleh beragam bangunan dan corak budaya. Sebelah selatan ada kawasan prostitusi Dolly di jalan Jarak yang menjadi kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara dan menjadi salah satu sumber terbesar pendapatan daerah, ada perkuburan Kristen-Belanda di Kembang Kuning yang kini ramai dipakai sebagai tempat mangkal kaum waria kala malam menjelang, di utara ada deretan sekolah-sekolah mulai SD sampai SMA, di bagian timur ada wilayah Simo yang sore hari selalu ramai dengan pasar rakyat yang menjual berbagai macam barang dengan harga terjangkau, di bagian barat ada Ciputra World yang superlengkap sebagai sarana rekreasi, ada Vida Triple Seven sebagai tempat menonton film dan arena permainan billyard, ada juga julangan hotel yang salah satunya adalah Shangri-La; yang biasa dipakai elit-elit untuk mengkonsolidasikan kekuatan sekaligus memacetkan jalanan Mayjend Sungkono, ada juga berbagai apartemen, tempat karaoke, dan restoran cepat saji Mc Donald yang berhadapan dengan citarasa Ikan Bakar Cianjur.

Karena di Dukuh Kupang ketika itu hanya ada Supermarket, Islamic Centre, Gereja, Kampus, Kantor Polres, dan deretan berbagai macam warung, maka akhir pekan masa kecil mereka biasanya diisi dengan nonton film di Tunjungan Plaza atau jalan-jalan ke Taman Kenjeran. Ada banyak tempat, baik sebagai tempat rekreasi maupun tempat-tempat bersejarah yang bisa dikunjungi untuk menambah pengetahuan ataupun memaknai perjuangan para pahlawan. Ada Tugu Pahlawan, Bambu Runcing, Hotel Majapahit (dulu Hotel Oranje/Yamato), Jembatan Merah, Balai Pemuda, Gedung Cak Durasim, dan masih banyak lagi tempat-tempat lainnya. Tapi mereka seringkali memilih mengunjungi Taman Kenjeran untuk melihat Patung Liberty tiruan di pintu masuk taman tersebut, atau Patung Buddha dan Dewi Kwam Im di kuil yang terletak di tepi pantai. Tentu saja dengan ditemani kedua orangtua mereka. Taman yang pantainya kini tak lagi indah, karena sering tercemar, dan kini lebih sering dipakai sebagai tempat pacaran bebas ala anak-anak ABG kala malam gulita.

Ketika kelas 4 akan memasuki caturwulan (cawu) ke-2, Evita pindah ke Jakarta, mengikuti orang tuanya. Saat itu, usia 9 tahun dan hubungan di antara orang tua keduanya yang hanya diikat oleh kepentingan usaha dan pekerjaan, membuat keduanya putus komunikasi sama sekali. Hingga akhirnya usia mereka memasuki 21 tahun. Mark Zuckerberg, orang Yahudi-Amerika yang tak pernah mereka kenal itu, menolong mereka untuk kembali merajut tali komunikasi melalui media buatannya yang bernama facebook. Selanjutnya telephone, sms, dan BBM-an menjadi media perantara untuk menghilangkan jarak jauh yang membentang antara Jakarta dengan Surabaya, media yang meminimalisir rindu yang membuncah di antara mereka.

12 tahun tak pernah bersua, ada banyak perubahan yang mereka rasakan. Demikianlah, alam beserta isinya akan selalu berubah dan berkembang maju seturut lajunya sang khronos, waktu. Dulu, makanan favorit mereka adalah AW paket 1; sekepal nasi, 2 potong ayam, dan root-beer dingin. Kini, Juan yang menderita asma dan tak tahan dengan udara atau cuaca dingin, punya teori sendiri yang diyakininya, yakni cukup meminum air putih tanpa es, sedangkan Evita yang menderita kolesterol pada usia muda ini, dilarang untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung minyak, termasuk buah duren yang menjadi kesukaannya.

Suasana kafe yang tenang meski lagi ramai pengunjung, iringan lantunan spesial lagu-lagu Oldies milik Nike Ardilla yang kebetulan adalah penyanyi Indonesia yang sangat diidolakan Evita, membuat percakapan di awal sua menjadi lebih santai. Karakter tanpa basa basi say hello ba-bi-bu ciri khas mereka ternyata tak pernah hilang. Dalam sebentar saja, mereka sudah pindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mulai dari kisah Gesang sang seniman kerakyatan yang menguraikan kisah aliran sungai yang mengaliri bagian bawah kafe ini lewat lagu kroncongnya, wacana kenaikan BBM dan isu pelarangan rok mini, pemilukada wilayah pusat yang melibatkan walikota daerah ini, kilasan film Pak Belalang yang jadi trending topic obrolan masa kecil mereka di sekolah dasar, diskusi filsafat tentang pertarungan materi versus ide, tentang menteri yang mengamuk di pintu tol, hingga perebutan Gunung Kelud antara Blitar dengan Kediri, dan ngalor-ngidul berbagai macam obrolan lainnya. Tak kalah keceriannya dengan seorang perempuan berkebaya dan sekelompok seniman lokal yang mengalunkan tembang demi tembang di sudut kafe ini.

Menjelang senja mereka pamitan pulang, berpisah. Juan harus segera kembali ke Surabaya, karena besok paginya dia ada jadwal kuliah. Tugasnya sebagai mahasiswa fakultas hukum yang melakukan penelitian di kota ini telah selesai sejak seminggu yang lalu. Sebaliknya, Evita harus kembali ke Jogja, menjemput anaknya yang baru berumur 2 tahun untuk kembali ke Jakarta.


Sekian.

*******

Dante Che, 21 / 03 / 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar